Email Pertama untuk Kamu di Masa Depan

I believe you.

From: Witfana Aulia <fanawit.aulia@gmail.com>

Date: Mon, 4 Feb 2019, 14:09 WIB

To: Andangsaki Kalasan <as.kalasan@gmail.com>

Kamu datang dari masa depan? Jelas, aku nggak percaya saat kamu bilang begitu. Kita, atau at least aku, hidup di dunia nyata, bukan film science fiction. Hal-hal kayak gitu mustahil banget terjadi. Di dunia nyata, paling mentok kalimat yang kayak kamu bilang itu cuma diucapkan buat bercandaan, atau gombalan. Aku datang dari masa depan, iya, aku masa depanmu.

Dulu, ada cowok yang pernah bilang kayak gitu ke aku. Aku pikir ya, dia ini orang atau Doraemon, sih? Either way, aku ilfil dan langsung nge-unmatch dia. Bukannya aku tipe yang bakal langsung mempan dengan gombalan, tapi c’mon, kreatif sedikit, lah, kalau mau ngegombalin cewek.

Jadi, waktu kamu bilang kamu datang dari masa depan, aku pikir: oh my God, harus berapa cowok yang aku temuin di app ini sampe dapet yang pinteran sedikit? I thought you were just another mediocre guy with mediocre brain! Aku sampai ngerasa give up mainan app ini. Aku udah hampir nge-uninstall dari hapeku, sampai kamu ngirimin foto-foto itu.

It’s a digital world, I know, I’m fully aware of that. Jadi aku pikir, mungkin foto-foto yang kamu kirim itu sengaja kamu bikin pakai Photoshop atau apalah. Kamu edit-edit, sampai jadi foto-foto yang meyakinkan, yang bikin aku percaya bahwa kamu bener-bener ada di masa depan.

Tapi habis itu aku mikir lagi; buat apa ngerjain hal seniat itu kalau motivasinya cuma buat mendukung gombalan kamu—aku datang dari masa depan? Aku sempat mikir: oh mungkin kamu memang hobi photo editing aja. Aku punya temen fotografer yang juga hobi ngeditin foto-fotonya sampai orang-orang pada percaya fotonya itu nyata: Trump makan bakso sama Rhoma Irama,Rihanna jualan angkringan, atau bahkan Soekarno dipijetin Snoop Dogg.

Temenku itu jadi terkenal gara-gara fotonya viral. By the way, di masa depan, di zaman kamu, masih ada nggak, sih, istilah ‘viral-viralan’? Asli, aku muak banget rasanya sama orang-orang sekarang. Udah nggak ada mutunya lagi. Semua hal bego dan nggak penting bisa jadi viral. Katanya, tivi dan sinetron membodohi bangsa. Padahal, Instagram juga sama-sama bikin goblok.

I don’t easily trust anything, you know. Boro-boro soal manusia yang datang dari masa depan. Orang yang udah jelas-jelas ngelakuin hal baik ke aku aja, masih aku curigain. Segitu nggak percayanya aku sama semuanya. Sama manusia. Jadi, kamu pasti ngerti waktu aku lama nggak bales message-mu. Aku bete aja. Obrolan kita fun, aku enjoy bales-balesan sama kamu, tapi kamu ngerusak semuanya dengan kalimat itu:

“Aku datang dari masa depan.”

But then I scrolled back to where we began. Semoga kamu nggak tersinggung ya, tapi saking penasarannya, aku sampai ngirimin foto-foto itu ke temenku yang suka ngedit foto. Are they legit or manufactured just like everything else in this Instagenic, heavy-filtered, fucked up world? Just like men with pretty, empty words, just like women with super-heavy make up?

Tapi, temenku bilang, foto-foto itu asli.

Asli, bukan rekayasa.

At this point, I have to admit that I’m shocked. I’m still young, I’m just 17, I know, but I don’t easily get surprised. Aku udah terima kalo dunia ini nggak jelas banget bentukannya. Isinya juga nggak jelas banget. And it doesn’t even start with The Creator, The Intelligent Designer, and so on. Buatku gampang aja: kalau makan nasi goreng rasanya absurd, yang masak jelas lebih absurd. Jadi, yah, aku udah terima kalau hidup ini absurd, so nambah satu hal absurd lagi udah nggak mengagetkan buatku.

Tapi yang kamu kirim itu mengagetkan. Foto-foto itu mengagetkan. Aku bahkan belum fokus ke kejadian yang ada di foto itu. Aku se-shocked itu sampai nggak berani nanya ke kamu: itu apa? Gimana? Siapa? Aku belum berani. Aku fokus sama frame di dinding ruangan.

Ada dua frame; satu di sebelah kanannya burung Garuda, satu lagi di sebelah kiri. Aku pikir mungkin aku terlalu shocked, jadi mataku refleks mengelak dari kejadian yang pengin ditunjukin sama foto itu. Tapi, wajah di dua frame itu yang bikin aku menghubungi temenku buat nanya are they legit or Photoshopped.

Dan, akhirnya aku mulai percaya kamu memang datang dari masa depan.

Aku percaya kamu nggak sedang bercanda.

Kamu nggak sedang menggombal.

You’re showing me a truth. A piece of truth. Significant, yet bizarre truth.

Aku belum tahu gimana ini bisa terjadi. Aku belum bisa mikir yang jernih. Kepalaku rasanya masih keguncang. Maybe it’s something with the app? Jelas, it has something to do with the app. Tapi, wajah di dua frame itu yang buatku lebih penting. App tadi cuma ngejelasin kenapa kita bisa berkomunikasi, tapi yang lebih penting adalah foto yang kamu kirim: dua frame di kiri-kanan burung Garuda yang aku lihat.

Itu bukan presidenku. Itu bukan wakil presidenku.

Kamu tidak hidup di zaman sekarang.

So, I’m writing this email to you because it’s not enough to chat about this kind of thing. That’s why I asked for your email address.

Once again, I believe you. I believe that you’re not lying about everything you said to me. About future years. About the new president. About the photograph.

Kamu bilang, kamu sendiri yang ngambil foto itu. Tell me, what is happening in the picture, in the future?

 

The girl from your past,

Fana.

 

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version