Baca cerita sebelumnya di sini.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, ayah Bari mati meninggalkan toko servis elektronik, secarik kertas berisi tulisan yang tak terpahami, dan seekor kucing yang hobi menggaruk-garuk sofa.
X2 = K6 + Y9
T7 = M22 + K3
Bari sudah duduk di sofa ruang tamu selama tujuh jam. Tangan kanannya mengurut-urut pelipis, sementara tangan kirinya memegangi kertas berisi tulisan tangan ayahnya. Selama duduk, ia tak banyak melakukan variasi gerak: memandangi tulisan di surat, bergumam sendiri, mengurut-urut pelipis, bergumam lagi. Ia sudah menyiapkan pulpen dan kertas kosong untuk memecahkan teka-teki yang ditinggalkan ayahnya, tetapi ia belum menuliskan apa pun.
Matanya pelan-pelan terpejam, lalu bunyi telepon genggam mengejutkannya. Satu pesan singkat baru masuk. Ia hanya menengok sekilas, kemudian merebahkan kepala di lengan sofa dan memejamkan mata. Dua pesan singkat masuk, matanya terbuka lagi. Tiga pesan. Empat pesan. Dan di pesan kelima, ia baru menyadari bahwa ia bisa mematikan suara ponsel.
K6 = P3 – Xr
Y9 = (H30 – T4) + U6
M22 = L7 + (Q4 + Q5)
K3 = F1 + D54
Di ambang tidur dan terjaga, ia mendengar suara seperti seseorang sedang memarut kelapa. Ia mengintip sedikit. Di dekat kakinya, di ujung sofa, kucing kesayangan ayahnya menggaruk-garuk kulit sofa. Suara yang malah mengantarnya tidur semakin lelap dan kian lelap.
Ia terbangun akibat merasakan sesuatu menindih dadanya. Ketika membuka mata, kucing itu sedang menjilat-jilati kakinya sendiri lantas menatap Bari tanpa rasa bersalah. Bari menajamkan fokus matanya dan menangkap foto ayahnya berseragam Pegawai Negeri Sipil bersama tiga murid SMA berfoto di depan instalasi spektrokoskop sederhana; terbuat dari kardus mi instan yang dicat hijau. Di sebelah foto itu terdapat foto ayahnya bersama puluhan murid berpose seperti pemain sepakbola di depan kelas. Di sebelah foto itu terdapat foto ayahnya lagi, yang terlihat muda, bersama Bari kecil. Bari memegang piala dan ayahnya memegang kamera lubang jarum buatannya.
Di bawah rangkaian foto itu terdapat rak tiga tingkat. Pada tingkat teratas berderet sejumlah sertifikat dan penghargaan: Guru Fisika Teladan, Olimpiade Fisika SMA Tingkat Kabupaten, dan sebagainya. Pada tingkat kedua, berjajar kamera-kamera range finder Yashica yang diurut berdasar tahun. Dan pada tingkat paling dasar, terdapat enam tumpuk album foto.
Telepon genggamnya bergetar, kali ini lebih lama. Sebuah panggilan telepon. Foto ibunya terpampang di layar.
“Aku nggak tahu apa yang dipikirkan dia sebelum mati,” ujar Bari, “Ayah boleh membenciku karena aku tolol buat urusan fisika. Ayah boleh membenciku karena aku nggak mau berurusan dengan hal-hal berbau optik yang dia sukai. Tapi, ayah macam apa yang cuma mewariskan toko elektronik sialan buat anaknya? Yang benar saja, Bu, zaman begini siapa pula yang masih pakai televisi tabung? Ayah mungkin sudah pikun dan gila, tapi tolonglah jangan ajak-ajak.”
Ia diam sebentar, mendengarkan seseorang di ujung telepon berbicara, lalu berkata, “Sudah, aku sudah periksa. Tak ada apa-apa di kamarnya, tak ada surat tanah atau segepok uang. Sekarang aku baru mengerti kenapa Ibu pergi. Ayah benar-benar nggak punya apa-apa.”
“Ibu yakin?”
Bari mengangguk-angguk, “Aku akan ikuti saran Ibu. Siapa tahu dia menyimpan semua hartanya di brankas itu.”
Bari mondar-mandir di depan sofa sambil terus mengeluh kepada ibunya. Setengah jam berbincang, ia menjauhkan telepon genggam dan mengaktifkan kamera. Ia memotret kertas di tangannya lantas mengirimkannya kepada ibunya. Ia menggulir nama-nama di kontak telepon, berhenti pada huruf G.
“Ya, cuma itu: (X2 + T7) + P2. Begitu soal yang ditulis,” kata Bari, menggeleng, “Keterangan lain cuma corat-coret yang aku kira tak ada artinya.” Bari mengacak-acak rambutnya sendiri.
Ia menutup telepon kemudian menyusuri nama-nama di kontak telepon genggamnya sambil duduk. Ia menatap foto-foto di rak, tersenyum. Ia kembali memanggil nomor terakhir di panggilan teleponnya.
“Kau kan murid kesayangan ayahku, masak soal mudah begini nggak bisa kau selesaikan? Kalau kau bisa memecahkannya nanti kita bagi dua.”
Kucing kesayangan ayahnya mengeong, lalu menggaruk-garuk sofa lagi. Bari menelepon seseorang, dan setelah sekian menit, ia bangkit dengan begitu bersemangat, berlari kecil ke kamar, lalu keluar dengan membawa ransel besar.
Ia berkeliling rumah, mengunci pintu belakang, pintu toko, dan semua jendela. Setelah mengunci pintu rumah, ia mematikan KWH meter—nasihat ayahnya yang kemudian berubah menjadi kebiasaan kecil seperti berdoa sebelum makan.
Bari berjalan kaki sambil membaca kertas warisan ayahnya. Di tepi jalan, ia melihat bangkai tikus. Ia kembali melihat catatan ayahnya, lalu meludahi bangkai tikus tadi.
P1 = Tikus (Rattus)
P2 = Kucing (Felis catus)
P3 = Menjangan (Cervidae)
P4 = Lalat (Diptera)
Ada bayang-bayang berkelebat di balik lemari. Kucing itu berlari cepat, berusaha menyelipkan kepalanya di antara celah lemari dan dinding. Kucing itu menunggu dengan sabar sembari menjilat-jilat tubuhnya sendiri. Ia berkeliling rumah, naik meja makan, memain-mainkan ujung tisu, lalu berbaring.
Sinar matahari sore masuk melalui celah ventilasi, menyinari seekor kecoa yang berlari ke belakang lemari lagi. Kucing itu dengan sigap berdiri dan meloncat, mengejar, dan kembali mendapati kepalanya tak bisa masuk celah lemari. Ia berjalan pelan ke arah rak tiga lantai dan memutuskan tidur di lantai dasar. Kilat lampu kendaraan dari luar membangunkannya. Ia mengendus-endus udara, matanya menatap tajam celah pintu. Ketika tak ada kendaraan lewat, ruang itu gelap sepenuhnya, tetapi mata kucing terlatih untuk kondisi seperti itu. Ia berusaha memanjat rak kedua untuk naik ke rak ketiga dan menabrak-nabrak foto. Bayang-bayang itu lenyap.
Kucing itu sekarang berjalan ke sebuah mangkuk yang diletakkan di dekat pintu belakang, bersebelahan dengan tempat sampah. Mereka biasanya mengocok toples berisi makanan yang wanginya tak bisa ia tolak. Namun, khusus malam itu, hanya ada detak jam dan knalpot kendaraan di kejauhan, serta sesuatu yang bergerak-gerak di balik lemari.
Kucing itu mengendus-endus benda apa pun yang ia lewati. Ia naik jendela, meregangkan badan, lalu tidur dan terbangun saat ekor matanya melihat bayang-bayang berkelebat di balik lemari.
Enam hari kemudian, ia tak lagi bergairah dengan bayang-bayang atau suara-suara di balik lemari. Ia masuk kamar mandi, mencari air. Sementara di kota lain, empat puluh delapan kilometer dari kucing yang sekarat, Bari dan mantan murid ayahnya mencorat-coret sesuatu di kertas.
H29 = Kelenjar keringat (sudoriferous)
H30 = Kulup (præputium)
H31 = Melanin kelabu (phaeomelanin)
H32 = Mata kanan (Occuli dextra)
H33 = Mata kiri (Occuli sinistra)
Baca cerita berikutnya di sini.