Takmir Masjid Harusnya Lebih Jago Nyanyi ketimbang Penyanyi Gereja

MOJOK.CO – Sebenarnya ada banyak penyanyi masjid berbakat yang mampu bersaing dengan penyanyi-penyanyi gereja. Sayang, kebanyakan nyanyi nggak pernah latihan sih.

Beberapa waktu lalu, saya bertanya pada kawan saya yang Kristen: kenapa penyanyi-penyanyi gereja suaranya bagus-bagus? Mereka latihannya gimana ya kok suaranya bisa bagus semua gitu?

Pertanyaan saya itu lalu dijawab dengan bercanda:

“Padahal kami di gereja hanya nyanyi-nyanyi seminggu sekali, lho. Latihan juga paling seminggu sekali. Harusnya kalian yang penyanyi masjid yang suaranya lebih bagus, nyanyi tiap hari, itu pun sehari bisa sampai lima kali.”

Sontak saya geli dan tertawa.

Pertama, saya geli dengan istilah “penyanyi masjid” yang digunakannya. Kedua, saya tertawa karena ucapannya bahwa penyanyi masjid sehari bisa nyanyi sampai lima kali memang ada benarnya.

Bernyanyi setiap hari di masjid yang dimaksud kawan saya, tentu saja adalah melantunkan puji-pujian di jeda antara azan ke iqamat sebelum salat. Bukan kemudian nyanyi betulan di masjid kayak penyanyi gereja.

Budaya ini, konon hanya ada di Nusantara. Tidak sama seperti penyanyi gereja, “penyanyi masjid” tujuannya selain mengisi waktu luang sebelum salat dengan zikir (dari pada bergosip atau mikir jorok, kan mending melantunkan puji-pujian), juga memiliki manfaat praktis yaitu mengajak orang-orang muslim di sekitar masjid/surau untuk melaksanakan salat berjamaah.

Maka tidak heran jika teks pujian yang dilantunkan mengandung dua bentuk: pertama, berbentuk doa, mulai dari zikir, shalawat kepada Nabi, dan lain sebagainya; kedua, berbentuk nasihat atau peringatan, seperti ajakan salat berjamaah, pahala salat berjamaah, dan ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan salat.

Menariknya, karena puji-pujian itu dikumandangkan dengan pelantang suara (speaker), seakan terjadi persaingan terselubung antar masjid/surau. Setiap surau berlomba-lomba menawarkan qasidah-qasidah terbaru, lagu qasidah yang baru dirilis akan segera dihafalkan agar bisa dilantunkan setelah azan, dan qasidah yang sudah dilantunkan di suatu surau seakan pantang dilantunkan surau lain.

Satu surau melantunkan Syair Tanpo Waton, sementara surau-surau lain melantunkan Tombo Ati, Yaa Habibal Qalbi, Shalawat Asyghil, atau qasidah dan doa-doa lain. Itulah sebabnya jika memasuki waktu salat, terutama selepas azan maghrib, puji-pujian di surau-surau sekitar rumah akan semarak, nyaris tidak ada yang melantunkan qasidah yang sama, dan pelantunnya pun beragam, mulai dari anak-anak, remaja, orang tua, hingga mbah-mbah.

Meski tidak pernah ada penelitian tentang dampak merdunya puji-pujian terhadap peningkatan jumlah jamaah salat, persaingan itu ajeg. Bagi para takmir masjid/surau, melantunkan pujian dengan qasidah yang berbeda itu seakan sebuah prestasi.

Saya berpikir, mungkin akan menarik meneliti religiusitas masyarakat sebuah kampung dari lirik puji-pujian yang dilantunkan si takmir di surau-surau kampung itu.

Misalnya, kampung yang surau-suraunya lebih sering melantunkan pujian dengan lirik berbentuk doa dan shalawat Nabi, barangkali lebih religius daripada masyarakat kampung yang surau-suraunya lebih sering melantunkan pujian dengan lirik berbentuk nasihat atau ancaman.

Bisa jadi, saking sepinya jamaah yang datang ke suatu surau, membuat si takmir terpaksa memberi ancaman dengan melantunkan qasidah Kereto Jowo yang liriknya tentang kematian:

Ditutupi anjang anjang, diuruki disiram kembang, sing sholate arang arang, mertandake imane kurang (ditutup papan, dikubur dan disiram kembang, yang salatnya jarang-jarang jadi tanda imannya kurang).

Masjid dan surau di sekitar kita sebenarnya punya potensi menjadi kawah candradimuka lahirnya vokalis-vokalis handal.

Jelas dong. Di masjid/surau, takmir dibebaskan mengumandangkan azan dengan cengkok atau langgam apapun. Sudah begitu, takmir atau siapapun orang yang melantunkan puji-pujian bebas memilih lirik qasidah kesukaannya, dengan nada lagu kesukaannya pula.

Penyanyi masjid bebas berimprovisasi, berlatih vokal hingga ke oktaf yang mampu mereka capai. Sebab kalaupun fals, masyarakat sekitar tidak akan berani protes, paling juga kalau suaranya ambyar betul cuma bisa menggerutu di dalam hati.

Karena saking bebasnya para takmir berimprovisasi, kita akan dengan mudah menemukan shalawat dilagukan dengan nada lagu Meraih Bintang-nya Via Vallen dikumandangkan di surau-surau.

Jauh sebelum Almarhum Ustaz Jefri al-Buchori rekaman lagu shalawat dengan nada lagu Jablay milik Titi Kamal yang menjadi soundtrack film Mendadak Dangdut, kami sudah jauh lebih dulu melakukannya di musala, dengan iringan rebana ketika membaca Diba’ di malam Jumat. Sambil membentur-benturkan bokong ke teman yang berdiri di sebelah layaknya berjoget dangdut ketika mahallul qiyam.

Improvisasi nada barangkali masih bisa diterima, namun yang paling fatal adalah salah memilih lagu.

Beberapa hari yang lalu, di surau dekat rumah kontrakan baru saya di Ngaliyan, Semarang, saya yang akan mengikuti salat jamaah maghrib terkejut ketika si takmir melantunkan lagu El Bint al-Shalabia dari Fairouz sebagai pujian selepas azan.

Lagu yang dipopulerkan penyanyi legendaris Lebanon itu terjemahan liriknya kurang lebih begini El Bint al-Shalabia (Gadis Sevilla): O gadis dari Sevilla, dengan mata berbentuk almond, aku mencintaimu setulus hatiku, O cintaku, engkau adalah sepasang mataku.

Saya tersenyum geli sepanjang takmir itu melantunkan El Bint al-Shalabia, yang barangkali disangkanya mengandung doa atau pujian kepada Allah hanya karena liriknya berbahasa Arab. Namun saya berusaha berbaik sangka, mungkin takmir itu sedang jatuh cinta, pada gadis dari desa tetangga yang—tentu saja—bukan gadis Sevilla, mungkin gadis Kliwonan Raya.

Keesokan harinya, saya datang lagi ke surau itu, kali ini dengan membawa ponsel kamera. Saya ingin merekam ketika takmir itu melantunkan El Bint al-Shalabia setelah azan, untuk saya kirimkan ke Bapak saya yang penggemar berat Fairouz dan Ummi Kalthoum.

Sayangnya, hari itu si takmir memilih komposisi Yaa Habibal Qalbi yang dipopulerkan Grup Sabyan Gambus. Saya yang agak kecewa rasanya ingin protes saja. Tapi saya sadar bahwa takmir kan bukan penyiar radio. Masa iya saya request lagu di masjid?

Ketika mendapat pertanyaan balik tentang kenapa penyanyi masjid (baca: takmir) banyak yang kemampuan menyanyinya biasa-biasa saja padahal dalam sehari bisa menyanyi sampai lima kali, saya hanya bisa menjawab sekenanya: justru karena terlalu banyak tampil menyanyi setiap selesai mengumandangkan azan itulah takmir masjid banyak yang suaranya biasa-biasa saja (untuk tidak mengatakan fals), karena nyaris tidak pernah latihan.

Kemudian kawan saya itu punya usul: bagaimana kalau puji-pujiannya seminggu sekali saja? Setiap Jumat saja—misalnya, jangan di setiap waktu salat.

Hm, mungkin karena cuma bisa seminggu sekali maka akan maksimal kualitas suaranya kayak penyanyi gereja. Nggak yang kebanyakan nyanyi kurang latihan, tapi dibalik: banyakin latihan kurangi nyanyi.

Maka di masa depan tak perlu kaget kalau audisi penyanyi di The Voice Indonesia atau Indonesian Idol tidak lagi didominasi penyanyi gereja, tapi nimbrung juga satu dua penyanyi masjid.

Lalu ketika ditanya waktu audisi.

“Nama? Umur?” tanya Ari Lasso.

“Muhammad Lutfi. 22 tahun.”

“Lutfi dari mana, Lutfi?” tanya Ari Lasso lagi.

“Dari perwakilan pengurus Masjid Miftahul Ulum, Sragen, Pak.”

Exit mobile version