Tiga Bekal Liverpool Untuk Final Liga Champions Setelah Mengalahkan AS Roma

MOJOK.COJika Liverpool bisa memperbaiki kelemahannya, babak final Liga Champions nanti bisa menjadi laga pamungkas yang paling kompleks bagi Real Madrid.

Tahun 2007, tahun pahit itu tentu masih terasa bagi fans Liverpool. Final Liga Champions menjadi duka untuk The Reds setelah misi balas dendam AC Milan atas “Malam Terang di Istanbul” sukses besar. Setelah babak final itu, Liverpool bahkan kesulitan untuk bisa lolos ke babak putaran grup Liga Champions.

Di bawah asuhan Jürgen Klopp, perubahan terlacak di rona Liverpool. Manajer asal Jerman tersebut mengubah cara bermain anak-anak asuhnya secara drastis. Liverpool diubah Klopp menjadi mesin pressing yang begitu efektif. Meski memang masih punya kekuarangan, tim ini punya potesi untuk merepotkan siapa saja.

Buktinya di babak perempat final dan semifinal Liga Champions, ketika Liverpool menyingkirkan Manchester City dan AS Roma. City, adalah salah satu favorit juara Liga Champions musim ini setelah proses kerja Pep Guardiola mulai menampakkan hasil. Sementara itu, Roma dianggap punya kekuatan yang bakal merepotkan Liverpool setelah mengalahkan Barcelona sebelumnya.

Boleh dikata, ketika menyingkirkan City, anak asuh Klopp bermain lebih stabil ketimbang ketika menyingkirkan Roma. Memang, ketika menghadapi skuat asuhan Eusebio Di Francesco, Liverpool menunjukkan semua kelemahan mereka. Situasi inilah yang harus menjadi perhatian utama di kerja Klopp menjelang laga final melawan Real Madrid.

Mojok Institute mencatat, setidaknya ada tiga bekal penting yang didapat Liverpool dari dua laga ketat melawan Roma. Inilah mereka.

1. Liverpool harus belajar mempertahankan keunggulan.

Boleh dikata, inilah bekal paling penting untuk laga final nanti. Real Madrid memang tak selalu bermain baik di laga-laga penting. Namun, pada titik tertentu, juara bertahan Liga Champions itu punya kekuatan untuk tidak kalah. Pun, meskipun ditekan sedemikian rupa, Madrid selalu bisa membuat peluang, terutama dari serangan balik, yang sama merepotkannya seperti kekuatan Liverpool.

Liverpool, meski menang besar dengan skor 5-2 di leg pertama, bermain begitu lemah di penghujung pertandingan. Roma jadi bisa mengejar dua gol tandang. Sementara itu, ketika bermain di Olimpico, The Reds membuang dua kali keunggulan dan akhirnya menyerah kalah dengan skor 4-2.

Bayangkan, apabila Roma lebih efektif memaksimalkan peluang, bisa jadi, Klopp yang akan terisak di pinggir lapangan. Kebiasaan tidak bisa menjaga keunggulan inilah yang bisa menjadi ganjalan bagi Liverpool di laga final. Menghadapi lawan yang fasih membuat peluang, unggul gol tak akan ada artinya apabila sebuah tim tak bisa menjaga situasi “unggul” tersebut.

2. Liverpool harus punya alternatif ketika trio Firmansah tak berfungsi.

Serangan balik Liverpool memang sangat mengandalkan trio Roberto Firminho, Sadio Mane, dan Mohamed Salah. Ketiganya punya dasar untuk menyajikan serangan balik yang dirancang oleh Klopp, yaitu akselerasi, kreatif, dan tajam. Ketiganya terbukti bisa mencetak gol melawan berbagai macam cara bertahan lawan.

Namun, tetap saja, semuanya di dunia ini ada batasnya. Ada kalanya, ketiganya tidak maksimal. Misalnya di leg kedua ketika menghadapi Roma, Mohamed Salah tidak maksimal karena inisiatif pressing yang diperagakan tuan rumah. Oleh sebab itu, ketika salah satu atau mungkin saja ketiganya tidak maksimal, Liverpool butuh alternatif di laga final nanti.

Masih ketika melawan Roma, rival satu kota tim Everton tersebut bisa mencetak gol dari kaki Giorginio Wijnaldum. Namun, hanya Wijnaldum, pemain dari tim utama yang “bisa” mencetak gol selain trio Firmansah.

Melacak hasil-hasil pertandingan Liverpool ke belakang, hanya ada nama Alex Oxlade-Chamberlain yang rajin membuat gol selain trio mematikan di atas. Sementara itu, Danny Ings, striker yang lain, adalah pemain pelapis saja. Ketiadaan alternatif, bisa sangat berbahaya, terutama Madrid cukup jago meredam pemain andalan lawan di laga puncak. Bisa Anda tanyakan kepada Antoine Griezmann dan Paolo Dybala, yang mati kutu ketika Madrid menemukan momentumnya.

3. Mengurangi pelanggaran tidak perlu, umpan silang, dan situasi bola mati.

Di kandang Roma, Liverpool kebobolan dengan cara yang paling ceroboh. Ragnar Klavan, si pemain pengganti justru melakukan handball di dalam kotak penalti ketika berduel dengan Cengiz Under. Wasit memberi hadiah penalti. Sementara itu, Liverpool boleh dikata beruntung ketika sepakan Stephan El Shaarawy, yang membentur tangan Trent Alexander-Arnold, tidak diganjar hukuman yang sama.

Intinya adalah, jangan membuat pelanggaran tidak perlu, atau kecerobohan-kecerobohan di dalam kotak penalti. Madrid punya pemain dengan daya penciuman yang tajam akan potensi peluang. Bayern yang tangguh itu saja bisa dipaksa membuat kesalahan di lini pertahanan.

Selain itu, yang perlu diwaspadai dari Madrid adalah umpan silang mereka. Dua hal yang membuat Madrid dominan di dua babak final adalah kedisiplinan lini pertahanan dan efektif memaksimalkan peluang yang berasal dari umpan silang. Sialnya, Liverpool cukup lemah mengantisipasi bola-bola yang masuk ke kotak penalti.

Roma, misalnya, bisa dengan mudah masuk ke kotak penalti Loris Karius. Jika Roma saja mampu, masuk akal apabila membayangkan Madrid akan berpesta ruang di babak final nanti. Apalagi, Los Blancos punya dua bek sayap terbaik di dunia saat ini, Marcelo dan Dani Carvajal.

Terakhir, Madrid juga superior ketika situasi bola-bola mati. Pemain-pemain seperti Sergio Ramos, Karim Benzema, Cristiano Ronaldo, bahkan Gareth Bale, punya kekuatan untuk memenangi bola-bola lambung. Jika Edin Dzeko bisa dominan di tengah kotak penalti, maka Ronaldo dan Benzema pun tentu bisa.

Tiga bekal pelajaran di atas adalah pelajaran-pelajaran penting bagi Liverpool untuk laga final nanti. Jika bisa memperbaiki kelemahan tim, babak final nanti bisa menjadi laga pamungkas Liga Champions yang paling kompleks bagi Real Madrid. Bisa jadi, ambisi menjuarai Liga Champions tiga kali berturut-turut akan kandas.

Exit mobile version