Simpang Hati Seto Nurdiantoro: Antara PSIM dan PSS

MOJOK.CO – Seto Nurdiantoro dibina oleh PSS Sleman dan dibesarkan oleh PSIM Yogyakarta. Kini, sebagai pelatih PSS, hatinya tengah berkecamuk menjelang Derbi DIY.

Pernah berjuang bagi suatu klub, berarti sempat manautkan hati dengan lambang kesebelasan tersebut. Sebagai manusia yang berperasaan, mengganti isi hati selalu menguras emosi. Dan hanya ada dua pilihan untuk itu: berpamitan dengan menyisakan perasaan cinta atau menyeberang dengan rasa amarah yang berkecamuk.

Cristiano Ronaldo adalah contoh pemain yang selalu meninggalkan sebagian hatinya pada klub yang ia tinggalkan. Golnya ke gawang Manchester United dalam ajang Liga Champions adalah contoh nyata. Setelah menyelesaikan asis Gonzalo Higuain, ia berjalan ke belakang gawang David De Gea sembari mengangkat kedua tangannya mengisyaratkan rasa hormat kepada publik Old Trafford.

Sebaliknya, Emanuel Adebayor menghabiskan tenaganya untuk berlari menyeberangi lapangan hanya untuk berselebrasi di depan suporter Arsenal. Pemain asal Togo tersebut memang dipenuhi kemarahan saat meninggalkan Arsenal. Ia merasa dibuang begitu saja setelah memberikan gelontoran gol bagi tim London Utara itu.

Di Yogyakarta, salah satu pemain yang pernah menceploskan bola ke gawang mantan klubnya adalah Seto Nurdiantoro. Pada akhir tahun 2008, saat berseragam Persiba Bantul, dua kali Seto mencetak gol ke gawang PSIM Yogyakarta hanya dalam rentang waktu kurang dari sebulan. Pada dua kesempatan itu, tak ada selebrasi berlebihan darinya.

Sebagai petualang di Bumi Mataram, mantan pemain bernama lengkap Matheus Seto Nurdiantoro tersebut memang kerap berpindah-pindah klub. Lahir di Sleman, ia merupakan pemain binaan PSS Sleman ketika muda, setelah sebelumnya membela klub amatir di sekitar tempat tinggalnya, PSK Kalasan.

Namun, kariernya justru melejit setelah menyeberang ke tim rival, PSIM Yogyakarta. Pelita yang kepincut dengan kemampuan Seto Nurdiantoro, kemudian meminangnya untuk bermain di Jakarta dan Solo. Ia juga mendapat panggilan timnas Indonesia. Akan tetapi, rumah baginya tetaplah Sleman. Selepas dari Pelita Solo, Seto pulang kembali ke dekapan Super Elja dan berhasil membawa PSS Sleman ke masa keemasannya.

Seto Nurdiantoro kembali menyeberang ke Laskar Mataram pada tahun 2005. Kemudian, Seto merintis karier kepelatihan sebagai asisten pelatih sekaligus pemain di Persiba Bantul yang menjadi juara Divisi Utama pada musim 2010/2011. Sebelum akhirnya mengakhiri ceritanya sebagai pemain sepak bola di PSIM Yogyakarta.

Tercatat ada tiga periode Seto membela PSIM Yogyakarta. Waktu yang sangat cukup untuk membuat hatinya terpaut di sana. Jika tidak seluruhnya, setidaknya sebagian dari perasaannya. Sementara sebagian lain masih tertinggal di Bumi Sembada, tempatnya tumbuh dan dibina menjadi petualang tangguh oleh PSS Sleman.

Rasa cintanya kepada kedua tim tak hanya berjalan satu arah. Seto Nurdiantoro merupakan sosok yang dihormati oleh suporter PSS Sleman maupun PSIM Yogyakarta. Buktinya, ia tetap diterima oleh fans meskipun sudah bolak-balik menyeberang ke dan dari klub yang notabene rival tersebut.

Kepribadian Seto Nurdiantoro yang cenderung hangat dan humoris menjadi salah satu penyebabnya. Ia bukan pemain bengal seperti Mario Balotelli yang dicaci-maki suporter Inter Milan saat bergabung dengan tetangga satu kontrakan mereka. Kepindahan Seto juga tidak kontroversial sehingga kejadian serupa dengan pelemparan kepala babi kepada Luis Figo tidak menemukan tempat dalam kisahnya.

Perjalanan Seto Nurdiantoro di PSIM Yogyakarta berlanjut saat ia didapuk menjadi juru taktik Laskar Mataram. Bersama tim asal kota gudeg tersebut, ia sempat dua kali meraih hasil imbang menghadapi PSS Sleman pada 2014. Sejatinya, ada dua laga lagi yang rencananya digelar pada tahun 2015, sayang sekali liga dibatalkan karena kisruh PSSI.

Pada 2016, kakak kandung dari pesepakbola Fajar Listiantoro tersebut kembali menyeberang ke tim yang membinanya, PSS Sleman. “Sebagai pemain yang lahir dan besar di Sleman, saya ingin membawa nama harum PSS Sleman dengan prestasi sebagai pelatih,” ujar Seto dilansir dari laman resmi PSS Sleman.

Menyadari kepindahannya ke tim rival dapat menyebabkan suasana menjadi keruh, terutama di kalangan suporter, Seto angkat bicara lewat media resmi PSS Sleman. “Saya ucapkan kulo nuwun kepada PSS Sleman, khususnya suporter, dan manajemen karena telah mempercayakan posisi pelatih kepala kepada saya,” ungkap mantan pemakai nomor 8 di timnas Indonesia itu.

Sementara kepada media lain, ia menitipkan pesan untuk pendukung PSIM Yogyakarta. “PSS dan PSIM jadi bagian perjalanan saya sebagai pemain dan pelatih. Saya menjalani dengan profesional. Kami berharap suporter bisa memahami keputusan ini,” tutur pelatih yang kini sedang mengambil lisensi Pro AFC tersebut dikutip dari Sindonews.

Kemampuan Seto dalam memupuk hubungan seperti itulah yang menjadi alasan kubu Laskar Sembada dan Laskar Mataram tetap menghormatinya. Dan hingga sekarang, ia masih tetap dapat menjaga agar cintanya kepada kedua tim yang sejatinya bertetangga tersebut tidak bertepuk sebelah tangan.

Hati Seto Nurdiantoro memang terbagi dua dan posisinya yang kini menjabat sebagai pelatih PSS Sleman membuat pelatih berusia 44 tahun tersebut berada dalam persimpangan perasaan. “(Menghadapi PSIM) kita mencoba, apa, ya… (terdiam sejenak). Aduh, susah, ya,” ujar Seto menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers seusai pertandingan PSS Sleman melawan Blitar United.

Ucapannya mengindikasikan betapa berat hati Seto Nurdiantoro ketika harus memilih salah satu di antara kedua tim tersebut. “Alangkah baiknya, berbagi itu indah,” katanya berkelakar membuat wartawan seisi ruangan tertawa. “Kalau kita bermusuhan itu tidak bagus. Ini hanya sebuah silaturahmi kemesraan,” sambung mantan pemain Pelita itu.

Laga bertajuk Derbi DIY itu sendiri akan digelar di Stadion Sultan Agung, Bantul pada Kamis, 26 Juli 2018. Di sanalah sikap profesional Seto Nurdiantoro kembali diuji dengan target poin penuh untuk PSS Sleman. Di sisi lain, ada secuil perasaan tak tega untuk menyakiti mantan tim yang pernah melejitkan namanya. Namun, dalam dunia sepak bola, bukankah suara hati dan tuntutan profesional memang kerap berbenturan?

Exit mobile version