MOJOK.CO – Persebaya ini pintar dan kaya. Sebenarnya, ini kombinasi ideal menuju juara. Sayang, mereka tidak punya orang dalam.
Suatu hari ada pengajian tak jauh dari tempat saya memancing. Sayup-sayup terdengar suara penceramah dari pengeras suara. Beliau mengisahkan surga dan amalan-amalan apa yang bisa membuat jemaah bisa menggapainya.
Lalu, sang ustaz bertanya, ”Siapa yang ingin jadi penghuni surga?”
”Sayaaa,” jawab jemaah serempak. Terdengar kompak dan bertenaga melebihi skuat Liverpool asuhan Jurgen Klopp mempraktikkan gegenpressing.
Ustaz kembali bertanya,”Sudah siap?”
”Sudah!”
Kali ini suara jemaah yang tak selantang sebelumnya. Intonasinya menurun seperti prestasi Manchester United.
Gaya ceramah ustaz ini terdengar interaktif. Beliau bertanya kembali, ”Kalau sudah siap, adakah yang mau berangkat sekarang juga ke surga?”
Dan, jemaah pun terdiam membisu. Sepi. Lebih sepi ketimbang lemari trofi Tottenham Hotspur.
Eh, maaf pembaca. Ini bukan mimbar Jumat. Jadi, sudahi basa-basi, kita menuju ke topik utamanya, yakni pengaturan jadwal Liga 1 yang hobinya bentrok dengan agenda timnas Indonesia, baik senior maupun U-23, dan kemarin ramai ketika “merepotkan” Persebaya.
Terus, apa hubungannya dengan kisah soal ceramah di atas? Begini, adalah impian para pemain sepak bola di Indonesia untuk dipanggil ke timnas. Tapi, kalau jadwalnya berbarengan dengan jadwal tanding klub yang dibela di Liga 1, tentu saja jadi dilema.
Tidak jauh beda dengan jemaah yang saya kisahkan di atas, semua pada mau jadi penghuni surga, tapi momentumnya bukan saat itu juga. Bukan seketika seusai dengar ceramah.
”Kalau seandainya kompetisi ini berhenti karena ada agenda tim nasional, jangankan empat pemain, 10 pemain saya kasih. Sepuluh pemain yang diminta, semua saya kasih. Ini bukti bahwa saya mendukung timnas,” ujar pelatih Persebaya, Aji Santoso, sebagaimana dikutip Okezone.
Ya, ini soal momentum. Soal waktu. Tabrakan jadwal kompetisi dengan agenda timnas ini sudah jadi keluhan sejak lama. Persebaya bukan korban pertama. Mungkin sama lamanya dengan kali terakhir Arsenal juara Liga Inggris.
Kalau benar-benar taat akan aturan, klub hanya wajib melepas pemainnya untuk FIFA matchday. Problemnya, bahkan saat FIFA matchday, kompetisi bangsat yang kita cintai ini tetap jalan. Sialnya lagi, ada banyak agenda di luar FIFA matchday yang membuat klub terpaksa melepas pemainnya.
Dilematis bagi klub seperti Persebaya. Mereka melepas pemain ke timnas, otomatis kekuatan tim berkurang. Apabila tidak dilepas, tak jauh beda dengan menghambat karier pemain. Plus, dianggap tidak nasionalis. Padahal problemnya adalah: JADWAL.
Ketika menang atas PSS Sleman dengan skor 1-0 (29/1), Persebaya tidak bisa memainkan Ernando Ari, Rachmat Irianto, Marselino Ferdinan, Ricky Kambuaya, dan Rizky Ridho. Mereka absen karena dipanggil timnas yang bertanding dengan Timor Leste dalam FIFA Matchday.
Nahasnya, saat itu ada tiga pemain lainnya yang juga kudu absen karena positif Covid-19. Karena itulah, pelatih Aji Santoso sempat memainkan Koko Ari yang baru pulih dari cedera panjang dan pemain muda 19 tahun, Dicky Kurniawan.
Untungnya, ketika badai Covid-19 menjangkiti skuat Persebaya jelang melawan PSIS Semarang (2/2), para pemain timnas sudah dipulangkan. Sebab, total Aji hanya punya stok 15 pemain yang fit. Selain 11 di lapangan, Aji hanya punya tiga gelandang dan satu kiper di bangku cadangan.
Terlepas dari itu, sebelumnya pada Piala AFF 2020 yang terlaksana pada akhir Desember 2021 hingga 1 Januari 2022, Persebaya menyumbang empat pemain. Dan, berpotensi menyumbang jumlah yang sama atau lebih pada Piala AFF U-23 pada 14-26 Februari.
Tentu saja, ini bukan situasi yang ideal bagi Persebaya yang berada di papan atas dan punya potensi juara dalam perebutan gelar juara musim ini. Tidak memungkinkan bagi mereka turun dengan kekuatan terbaik. Tak heran, Presiden Persebaya, Azrul Ananda, sampai menyebut timnya ”dipenalti” untuk menggambarkan pemanggilan pemain ke timnas.
Protes resmi pun dilayangkan Persebaya. Setelah sebelumnya Aji berulang kali mengeluhkan itu dalam keterangan di media massa dan Bonek berteriak di media sosial.
Wajar itu dilakukan. Sebab, dalam konteks perburuan gelar, pemanggilan ke timnas bisa disebut sebagai ”gangguan.” Kekuatan dan opsi pemain jelas berkurang. Kebetulan pula, para pemain yang dipanggil, meski masih berusia muda, tapi punya peran vital dalam skema main yang diracik Aji Santoso.
Selain Persebaya, Arema FC juga jadi tim penyumbang kedua terbesar. Ada empat pemain. Mereka adalah Achmad Figo, Rizky Dwi, Dedik Setiawan, dan M. Rafli. Kebetulan, kedua tim itu berada di empat besar klasemen sementara hingga pekan ke-22 Liga 1.
Sejak Piala AFF 2020, Persebaya dan Arema tergolong penyumbang terbesar skuat timnas Indonesia. Ketika itu, Persebaya dengan empat pemain dan Arema tiga pemain. Hebatnya, kedua tim tetap bisa konsisten performanya di Liga 1.
Nah, pada pertengahan Februari nanti, di tengah situasi naiknya jumlah pemain yang positif Covid-19, juga harus berbagi tenaga dengan panggilan ke timnas. Skuat asuhan Shin Tae-yong harus bertarung di Piala AFF U-23.
Tidak mau berpolemik, Shin Tae-yong menanggapi keberatan dan tuntutan pembatasan jumlah pemain yang dipanggil ke timnas. ”Jadi, semua jadwal dibicarakan ke PSSI. Saya berharap tidak ada salah paham untuk ini. Saya punya pengalaman menjadi pelatih klub. Saya tahu susahnya seperti apa,” ujar pelatih asal Korsel tersebut.
Sebagai pelatih, STY tentu memahami situasi sulit yang dihadapi para pelatih klub Liga 1 yang pemainnya dipanggil ke timnas. Masalahnya, tugas dia juga adalah memanggil talenta-talenta terbaik dari klub-klub Liga 1. Jadi, balik lagi, seperti kata STY, bicarakan soal jadwal dengan PSSI.
Justru, bicarakan dengan PSSI inilah problem peliknya. Mereka dan operator kompetisi, PT Liga Indonesia Baru (LIB) juga punya target waktu untuk menyelesaikan Liga 1 musim ini.
Pagebluk ini memang menyulitkan bagi kita semua. Sebelum pandemi Covid-19 bentrokan jadwal kompetisi dan agenda timnas Indonesia sering terjadi. Apalagi di situasi seperti sekarang.
Kesulitan yang dialami Persebaya bukan hanya itu. Sudah pemain andalannya dipanggil ke timnas, ada pula yang positif Covid-19 dan harus karantina, eh di lapangan sering kena prank wasit dan asisten wasit.
Protes resmi pernah dilayangkan manajemen Persebaya pada November tahun lalu. Ketika itu, keputusan wasit Musthofa Umarella saat pertandingan melawan Persela (21/10) yang dipersoalkan. Tapi, itu hanya satu dari sekian kasus dan setelah itu tetap berlanjut kesalahan demi kesalahan dari perangkat pertandingan.
Teranyar, ketika ditahan imbang tanpa gol oleh PSIS (2/2), asisten wasit mengangkat bendera offside ketika Ricky Kambuaya melepas umpan kepada Taisei Marukawa yang meneruskannya ke Marselino Ferdinan di area penalti. Marukawa berada dalam posisi onside dan bola yang diceploskan Ferdinan masuk ke gawang. Tapi, apa boleh buat, bendera tanda offside diangkat.
Memang, bukan hanya Persebaya. Nyaris semua tim di Liga 1 pernah kena prank dari perangkat pertandingan. Termasuk Persib Bandung saat melawan Borneo FC (18/1). Ketika itu, David da Silva yang dianggap offside meski masih berada di area permainan sendiri.
Namun, kalau ada tim yang secara berulang-ulang kena prank, banyak pemain andalannya dipanggil ke timnas padahal jadwal Liga 1 tetap jalan, maka wajar publik bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya?
Lalu saya ingat obrolan dengan tukang parkir depan kantor Samsat. Saya lupa berawal dari apa, tapi dia berkata, ”Orang pintar kalah dengan orang kaya. Orang kaya kalah dengan orang dalam. Orang dalam hanya kalah oleh orang gila.”
Persebaya ini pintar dan kaya. Sebenarnya, ini kombinasi ideal menuju juara. Sayang, mereka tidak punya orang dalam. Jadi, siapa yang mau berperan sebagai orang gila?
BACA JUGA Persebaya 93 Tahun, Menerjemahkan Rivalitas Sebagai Aktualisasi Diri, Bukan Sekadar Cinta dan Benci dan artikel menarik lainnya di rubrik BALBALAN.
Penulis: Mohammad Ilham
Editor: Yamadipati Seno