MOJOK.CO – Bukayo Saka, di usia yang masih sangat belia sudah sadar akan tanggung jawab. Dia mau terus belajar dan berkembang. Sebuah tamparan untuk para senior Arsenal.
Saya sudah lupa berapa kali menulis soal Bukayo Saka. Mungkin sudah tiga kali jika menghitung tulisan ini. Ya maaf saja, menulis pemain muda berusia 18 tahun ini seperti sedang berkaca kepada diri sendiri. Sebuah kesempatan langka untuk belajar lebih lanjut.
Pemeluk Hindu punya satu kebijaksanaan yang menyentuh hati saya. Kebijaksanaan itu berbunyi tat wam asi. Artinya, setiap manusia adalah cermin. Jadi, apa yang diperbuat ke orang lain adalah pantulan hati sendiri. Di sanalah saya memandang Bukayo Saka.
Mungkin Bukayo Saka tidak akan berpikir sejauh itu. Sebagai pemain muda yang mendapatkan kepercayaan dari Mikel Arteta, dia cuma mengerjakan apa yang seharusnya. Mulai dari belajar dengan banyak bertanya, memikirkan setiap aksi di lapangan, dan memahami tanggung jawab yang sudah dia rasakan.
Menjadi pemain Arsenal, terkadang, kamu berususan dengan ekspektasi yang tidak masuk akal. Apalagi ketika kamu termasuk sebagai generational talent. Status itu memaksa siapa saja yang menyandangnya merasakan beban ekspektasi. Dan cara Bukayo Saka memikul ekspektasi adalah tamparan halus ke pipi para pemain senior. Sebuah kerja yang mempermalukan. Terutama mereka yang lali.
Kamu bisa menemukan tekad Bukayo Saka untuk terus berkembang lewat wawancara post match setelah Arsenal mengalahkan Newcastle United. Ditemani Aubameyang, dia bicara seperti ini:
“Lalu soal nutmeg kecil yang saya lakukan, kami menyebutnya “little chilli”. Sebetulnya saya ingin mengumpan ke arah Eddie (Nketiah) karena saya lebih suka mengirim umpan silang di belakang bek lawan, tetapi saat itu saya melihat di tengah cukup padat dan saat itu peluang melakukan cut back terbuka jadi saya memanfaatkan ruang itu. Pepe menyelesaikannya dengan baik.”
Omongan Saka menggambarkan visi bermain yang semakin berkembang. Dia bisa mengukur situasi. Menilai perubahan posisi pemain dan memanfaatkannya. Banyak pemain muda yang langsung membusung dadanya setelah melakukan trik seperti nutmeg. Namun, Bukayo Saka menunjukkan kontrol diri yang sangat baik.
Sikap sempurna seperti itulah yang disukai oleh Mikel Arteta, pelatih Arsenal. “Dia bisa belajar bahwa kamu selalu bisa beradaptasi dan berkorban untuk tim. Dan seiring waktu kamu juga akan belajar kegagalan dari proses itu,” kata Arteta.
“Maka ketika kamu dimainkan di posisi yang berbeda, lalu berkata, “Oke, sekarang jika tidak bermain baik, saya punya alasan karena tidak bermain di posisi asli saya.” Seharusnya kamu berpikir sebaliknya. Cobalah untuk belajar dan lebih produktif untuk tim dan saya rasa Saka sudah melakukannya dengan sangat baik,” tambahnya.
Penegasan Arteta itu seperti menampar beberapa pemain yang lebih senior dari Bukayo Saka. Misalnya mulai dari Ainsley Maitland-Niles (22 tahun). Ainsley selalu merasa dirinya adalah seorang gelandang. Tidak ada yang salah dengan kepercayaan itu. Namun, kamu tidak bisa egois dengan menomor satukan dirimu sendiri di dalam tim.
Mungkin kita tidak melihatnya ketika Ainsley bermain di pertandingan. Kita selalu melihat Ainsley bermain baik sebagai inverted right back yang bergerak ke tengah ketika Arsenal menguasai bola. Namun, kita tidak bisa melihat performa pemain di lapangan latihan. Padahal, pelatih tidak hanya menilai pemain dari hasil pertandingan saja. Sikap ketika latihan juga punya porsi penting.
Mikel Arteta bukan pelatih yang subjektif. Dia tidak gampang lembek kepada pemain senior atau mereka yang sudah bermain baik di sebuah pertandingan. Kita melihatnya ketika Arteta tidak memasukkan nama Matteo Guendouzi ketika melawan Newcastle. Setelah laga, kita tahu kalau sikap Guendouzi membuat Arteta tidak berkenan.
Kita juga melihatnya ketika Ainsley tidak bermain di Liga Europa. Mikel Arteta memasrahkan sisi kanan kepada Sokratis. Selain kebutuhan taktik, Sokratis selalu menunjukkan komitmen. Sikap sempurna di semua keadaan itu yang membuat semua pelatih berkenan. Ketika ego menyeruak, bangku cadangan yang bakal jadi peraduanmu.
Bukayo Saka masih 18 tahun. Mungkin, beberapa waktu ke depan kita akan melihat egonya. Saka sudah menegaskan kalau dirinya adalah seorang winger. Namun, Saka masih bisa menutupi egonya dengan manis. Dia bilang kalau menjadi bek kiri membuatnya bisa membaca cara berpikir pemain yang bermain di posisi ini. Kelak, ketika kembali ke posisi aslinya, Bukayo Saka sudah punya modal berharga.
Ego adalah sisi manusia yang lumrah muncul. Namun, Bukayo Sadar kalau dirinya harus berkorban untuk tim. Dia berkaca kepada dirinya sendiri. Sekali dia “memberontak”, Mikel Arteta bakal tahu dan tidak punya ampun. Saka memperlakukan situasi ini seperti dirinya ingin diperlakukan.
Sederhanya saja. Ketika Saka bermain bagus di situasi ini, dia akan terus mendapatkan kepercayaan. Dia membayar kepercayaan dari sebuah situasi yang membuatnya bisa terus bermain. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi pemain selain mendapatkan dua hal: kepercayaan dan menit bermain.
BACA JUGA Bukayo Saka dan Resonansi Awal Karier Bellerin di Arsenal atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.