Ridwan Kamil, Jangan Terlalu Serius dengan Habib Rizieq

Ridwan Kamil, Jangan Terlalu Serius dengan Habib Rizieq

Habib Rizieq terlihat on fire. Duduk di sebuah kursi kayu, dikelilingi pengikutnya yang sebagian besar mengenakan kopiah putih, Rizieq memegang ujung bawah mik nirkabel dengan tangan kirinya, menceramahkan pemurnian Islam, badannya meliuk ke kanan ke depan ke kiri, tangan kanannya sesekali mengepal sesekali melambai.

“Assalamu ‘alaikum itu tradisi Arab. Assalamu ‘alaikum itu budaya Arab. Hey, umat Islam Indonesia, mau ngapain kamu dijajah sama Arab? Mau ngapain kalian diarabkan? Ambil Islamnya, buang Arabnya. Ambil Islamnya, buang assalamu ‘alaikum, ganti selamat pagi selamat siang!” kata Rizieq berapi-api, menirukan pendapat orang-orang yang berlawanan dengan pandangannya.

Bereaksi atas ucapannya sendiri, Rizieq memegang dahi selama beberapa detik. Seolah ia ingin berkata, “Capek deeeeh…” seperti anak-anak gaul Jakarta.

“Kalau di Purwakarta diganti dengaaan?” Lanjutnya setelah puas memegang jidat.

“Sampurasuuun…” jawab jamaah.

“Sampurasun,” kata Rizieq mengulangi,  lalu diam sebentar. Tanpa aba-aba, suara yang kemudian keluar dari mulutnya mirip geledek di siang bolong, “Campuracuuuun! Campuracuuuuun! Campuracuuuun!” Jamaah tertawa terbahak-bahak.

Kalau Anda penggemar garis keras Arya Wiguna, mungkin Anda akan terhibur dan tidak merasa terganggu dengan teriakan Rizieq. Anda yang mencintai cara Wiguna memekikkan “Demi Tuhan!” tentu akan senang sekali mendapati ada orang yang mewarisi kemampuan Wiguna berteriak sehebat itu. Semoga para produser infotainmen terketuk hatinya agar menayangkan teriakan “campuracun” Rizieq seperti mereka menyiarkan Wiguna berbulan-bulan. Sudah lama pemirsa Indonesia tidak disuguhi pemandangan seperti itu.

“Betul?” tanya Rizieq kepada jamaah. Setelah terdengar koor betul, Rizieq teriak lagi: “Takbir!”. Allahu Akbar menggema.

Entah siapa yang pertama kali mengunggah video ceramah Rizieq itu di Youtube, tahu-tahu muncul protes dari banyak kalangan di Jawa Barat. Angkatan Muda Siliwangi melaporkan Rizieq ke polisi karena dianggap menghina masyarakat Sunda dan melecehkan nilai-nilai budaya Sunda. Mereka bahkan menginisiasi terbentuknya Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat dan melarang Rizieq masuk Jawa Barat. Mereka juga menuntut Imam Besar The Panas Dalam Front Pembela Islam (FPI) itu minta maaf secara terbuka.

Tak mau kalah dengan anak muda, Walikota Bandung, Ridwan Kamil pun turut menyesalkan ceramah itu dan meminta Rizieq minta maaf. Dengan ini, sekali lagi Kang Emil menunjukkan bahwa dirinya adalah walikota yang terlalu serius.

Kita perlu persyukur ada walikota seterlaluserius Kang Emil. Berkat beliau, Rizieq akhirnya dapat panggung lagi, dan terutama, anak muda perkotaan selain Jawa Barat, yang setiap hari intim dengan gajet, jadi tahu bahwa di Sunda ada salam yang seindah dan semerdu “sampurasun”. Tanpa beliau ikut campur, tentu anak muda generasi viral ini tak akan pernah tahu bahwa “sampurasun” kurang lebih artinya sama dengan assalamu ‘alaikum.

Tapi tetap saja tuntutan permintaan maaf itu terlalu serius. Minta maaf kok pakai disuruh-suruh. Terlebih apabila yang dituntut ternyata tidak merasa bersalah.

Habib Rizieq sedang bercanda dalam ceramahnya, dan jamaah menganggap itu lucu, apanya yang salah? Kalau Kang Emil menganggap itu tak lucu, ya sudah jangan tertawa. Simpel, kan? Kalau Kang Emil menganggap ada sesat pikir dalam becandaan tak lucu itu, ya tinggal diluruskan, atau balas dengan candaan yang lebih lucu. Kenapa harus menuntut permintaan maaf?

Atau itu sudah tertulis sebagai salah satu tugas pokok walikota?

Rizieq hanya sedang merasa gerah, belakangan ini, setelah kampanye massif Islam Nusantara yang dilakukan Nahdlatul Ulama, dan Islam Berkemajuan dari Muhammadiyah, gelombang penolakan terhadap Arabisasi menguat lagi. Rizieq tentu tak bisa tenang melihat anak-anak muda mulai banyak yang menelan mentah-mentah slogan “Islam bukan Arab.”

Rizieq teringat lagi perdebatan lamanya dengan Gus Dur perihal “Pribumisasi Islam”. Ia tentu tak habis pikir, bagaimana mungkin gagasan Gus Dur—yang ia sebut buta mata dan buta hatinya itu—lebih diterima banyak orang. Padahal Gus Dur tidak bisa pidato seberapi-api dirinya, padahal Gus Dur bisanya cuma melucu nggak jelas.

Untuk menyerang gagasan “Islam bukan Arab”, Rizieq menggunakan jurus lama, menghajar titik yang paling kontroversial: penggantian assalamu ‘alaikum dengan selamat pagi, dan campuracuuun.

Rizieq tentu tak mau tahu bahwa poin utama Gus Dur bukan itu. Ia tak mau dengar pandangan Gus Dur tentang universalisme Islam yang shalihun li kulli zaman wa makan, yang relevan kapan saja di mana saja, yang terbuka terhadap akulturasi, yang mengakomodasi dan dapat diserap budaya setempat, dan tampil dalam ekspresi budaya yang beragam. Rizieq tidak menganggap hal-hal demikian bisa memperkaya peradaban Islam, melainkan justru merusak Islam.

Di sisi lain, Rizieq juga menganggap bahwa “Islam bukan Arab” itu sama artinya dengan anti budaya Arab. Logika Rizieq sederhana saja: jika Si A tidak sama dengan Si B, berarti A anti B; jika roti buaya bukan buaya, maka roti buaya itu anti buaya.

Anda tentu tak perlu lagi mengajak debat atau diskusi Rizieq, karena bisa-bisa Anda diteriaki “campuracuuun!”. Anda tak bisa berkata bahwa “Ana-antum, jubah, dan sorban tidak serta-merta membuat seseorang menjadi lebih Islami” kepada Sang Habib, salah-salah Anda malah kena fentung. Hadapilah dengan cara Dedi Magelangan Mulyadi, Bupati Purwakarta. Setelah dituduh Rizieq menikahi Nyi Roro Kidul, Dedi dengan santai bertanya, “Di KUA mana?”.

Oh iya, untuk Kang Emil, santai saja, tak perlu terlalu serius. Ingatlah, masih terbuka kemungkinan 2017 nanti Anda akan maju di Pilkada Jakarta, baik sebagai cagub maupun cawagub. Bersiaflah menghadafi konfoi tanfa helm dan, yang faling fenting, fentungan FPI.

Exit mobile version