Belajar dari Kisah Mas Pur dan Novita: Mustahilkah Cinta Beda “Kasta”?

MOJOK.CO Apakah kandasnya kisah Mas Pur dan Novita menjadi simbol betapa cinta beda “kasta” alias status sosial adalah kutukan tak berujung?

Cerita cinta Mas Pur dan Novita belakangan menjadi viral lantaran adegan kandasnya cinta mereka tersebar di media sosial. Penyebab utama putusnya pasangan dalam serial Tukang Ojek Pengkolan itu adalah orang tua Novita yang telah menjodohkan anaknya dengan Radit brengsek.

Lalu, adakah proses perjodohan ini berhubungan dengan keadaan kelas sosial alias “kasta” Mas Pur dan Novita yang berbeda? Dalam video yang beredar, jelas-jelas kita bisa melihat: Mas Pur cuma naik motor bebek yang menghidupinya sebagai tukang ojek pengkolan, sedangkan Novita naik mobil. Disopiri, pula.

Tapi, Mas Pur dan Novita tidak sendirian. Jauh sebelum hari ini, kita ingat betul perjalanan cinta beda status sosial ala Galih dan Ratna—yang lebih tepatnya disebabkan oleh perbedaan etnis. Ayah Ratna (beretnis Jawa) tidak menyetujui putrinya berkencan dengan Galih (beretnis Sunda) dan justru menegaskan bahwa dirinya telah menjodohkan Ratna dengan anak UGM.

Alhasil, kisah cinta mereka juga harus kandas saat Ratna akhirnya melanjutkan kuliah di Yogyakarta.

Selain Mas Pur-Novita dan Galih-Ratna, saya yakin kalian pernah mendengar kisah serupa yang muncul di negeri seberang. Masih ingat film Titanic yang diputar hampir tiap tahun di RCTI?

Jack, si tokoh pria dalam Titanic, tentu bukan apa-apa jika dibandingkan Rose—si cinta matinya—yang merupakan penumpang kelas satu dalam kapal kenamaan itu. Jack hanyalah pelukis miskin dan mendapat tempat di kelas geladak—pun karena kebetulan menang judi. Jelas, “kasta”-nya tak sebanding dengan Rose yang bergelimang hormat dan harta. Lah, kok berani-beraninya ia mendekati Rose?

Yang menjadi pertanyaan, apakah cinta berbeda status sosial ini mustahil? Apakah ia harus selalu berakhir menyedihkan karena tidak seimbang? Apakah kelak pasangan baru mereka yang dianggap setara akan serta-merta terbebas dari segala kemungkinan buruk di masa depan?

Dan, apakah kita tak punya hak untuk memilih sebebas-bebasnya hanya karena dilabeli status sosial yang berbeda?

Status Sosial Tak Seimbang, Bisa Kok Jadi Pemenang!

Kisah Mas Pur dan Novita serta Jack dan Rose adalah simbol kisah cinta yang dipaksa berhenti karena dipandang tak pantas. Tapi, tampaknya tak semua orang setuju untuk melakukan hal yang sama.

Kisah cinta Si Doel dan Sarah adalah contoh romansa yang berlawanan dengan Mas Pur. Dengan kegigihannya, Doel berjuang menyelesaikan pendidikan tinggi dan mencari pekerjaan layak demi menggaet hati Sarah, mahasiswi kekinian yang hidup serbaada.

Pun demikian dengan cerita cinta populer karangan Meg Cabot, Princess Diaries. Mulanya, Mia Thermopolis yang merupakan Putri Kerajaan Genovia harus rela ditinggal cinta sejatinya, Michael Moscovitz, pergi ke Jepang demi sebuah proyek penelitian kesehatan. Tak disangka, kepergian Michael ditujukan semata-mata demi mempersiapkan dirinya menjadi orang yang ‘punya nama’ agar tak lagi diremehkan saat bersanding dengan Mia di masa depan. Terbukti, Michael bisa kembali ke Amerika sebagai salah satu penemu robot pembantu operasi jantung.

Ya, baik Doel maupun Michael memutuskan berjuang keras-keras agar bisa dianggap layak untuk bersanding dengan wanita pilihannya.

Cinta Beda Status Sosial dan Mengapa Ini Menjadi Masalah

Konon, harga diri kaum pria terletak pada kemampuan finansial yang ia miliki. Berbanding lurus, kaum perempuan pun sering kali dinasehati untuk memilih pasangan yang mapan secara finansial agar dapat menunjang kehidupannya kelak.

Sebaliknya, wanita dengan penghasilan yang lebih tinggi disebut memiliki ego yang tinggi pula. Jika tidak diimbangi dengan baik oleh si pria, hubungan ini bisa fatal akibatnya.

Inilah sebabnya mengapa cinta beda status sosial adalah masalah genting bagi kita semua, termasuk Mas Pur dan Novita.

Lalu, apakah ini berarti kisah cinta beda status sosial mustahil dan tak bisa diteruskan?

Si Doel dan Sarah, serta Michael dan Mia, adalah bukti yang mematahkan teori ini. Mereka menjadi contoh betapa kedua belah pihak harus sama-sama memantapkan tujuan terlebih dulu.

Selain itu, keyakinan yang kuat dan komunikasi lancar pun menjadi kunci dalam hubungan berbeda status sosial. Toh, jika tujuan kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat, rasanya tak ada yang mustahil. Mas Pur sama Novita aja bisa balikan kok kalau mau duduk dan bicara.

Kayaknya. Hehe~

Bagaimanapun, putus cinta itu nggak enak, Bro. Saya rasa, nggak ada yang mau hatinya patah mendadak karena cinta yang dipaksa berhenti.

Ratna, dalam film Gita Cinta dari SMA, menutup kisah romantisnya dengan Galih melalui sepucuk surat yang berbunyi:

“Galih, berbahagialah kelak wanita yang mendampingimu. Aku, yang telah bersusah payah mengejar cintamu, ternyata menemui jurang.”

Coba saja, hati mana yang tidak teriris membacanya? Lagi pula, bukankah cinta adalah obat paling mujarab pada jiwa yang bopeng dan porak-poranda?

Exit mobile version