Kebahagiaan Sederhana dari Warung Penyetan

Sebagian orang lamongan tidak makan lele meski daerah tersebut dikenal sebagai asal pecel lele atau warung penyetan

Ilustrasi Mojok.co

Saya sering sekali mendengar ungkapan “Orang miskin bingung mau makan apa, orang kaya bingung mau makan di mana,” dan alhamdulillah, saya kerap berada dalam posisi orang kaya: yang punya duit, dan bingung mau makan di mana.

Kemarin malam, hal itu terjadi pada saya.

Saya bingung sekali mau makan di mana. Ada banyak pilihan makanan yang bisa saya tebus dengan uang ratusan ribu yang saat itu ada di kantong saya karena uang gajian baru saja cair, namun otak saya yang mungkin sedang bekerjasama dengan lidah mungkin memang sedang ingin cari perkara.

Saya bisa saja makan nasi rendang plus pergedel Buyung Upik yang kesohor kelezatannya itu, namun entah kenapa, malam itu, rasanya saya tak berselera. Bisa juga makan ayam sambel bawang khas SS plus jamur goreng yang juga terkenal enak itu, namun kelihatannya, saya agak kurang sabar jika harus mengantre di rumah makan jaringan yang memang terkenal ramai dan senantiasa antre lama itu. Bisa pula makan pizza yang bisa saya beli di kedai tak jauh dari warung kopi langganan saya, tapi kelihatannya, saya sedang sangat ingin makan nasi.

Aneka pilihan itu kemudian mampet dan akhirnya menggiring saya untuk makan di salah satu warung penyetan yang dulu kerap saya datangi saat saya masih pedekate sama pacar saya sekarang.

Alasannya tidak muluk-muluk, sekadar nostalgia saja. Lagipula, jaraknya juga tak jauh.

“Ayam bakar sama terong goreng, ya, Bu,” ujar saya pada pegawai warung penyetan yang tampak langsung mencatat pesanan saya pada selembar kertas.

“Minumnya apa, Mas?”

“Es teh.”

Saya kemudian langsung duduk di kursi di ujung meja. Pembeli di warung penyetan ini biasanya ramai, namun saat itu tampak masih cukup lengang, maklum, masih sore. Nanti kalau sudah masuk jam habis isyak, pasti langsung ramai.

Sepinya pengunjung membuat pesanan saya datang dengan cepat, Saya hanya butuh menunggu tak sampai lima belas menit.

Ayam bakar berwarna gelap kecap itu tersaji di hadapan saya, lengkap dengan terong goreng glepung yang renyah, ditambah dengan sambal cabai hijau dengan sensasi pedas-asin.

Saya langsung santap dengan perasaan yang biasa saja, dengan nafsu makan yang biasa pula, sebab memang warung penyetan itu saya pilih sekenanya saja, bukan karena saya merasa sangat berselera.

Namun, begitu suapan yang pertama masuk mulut, rasanya menjadi sangat luar biasa. Keputusan saya memilih penyetan ini ternyata adalah pilihan tepat. Entah kenapa, rasa ayam bakar dan terong goreng ini rasanya sangat-sangat enak. Padahal perasaan, dulu nggak seenak ini.

Legitnya ayam bakar ditambah dengan renyah glepung pada terong berpadu dengan sambal, Masya Allah, sangat eco.

Hanya butuh sekitar delapan menit untuk menandaskannya sampai habis.

Puas sekali.

“Berapa, Bu?” tanya saya pada penjaga warung. “Nasi ayam bakar, tambah terong goreng, minumnya es teh.”

“Delapan belas ribu, Mas.”

Saya kemudian mengambil uang dua puluh ribu dari saku saya. Saya ulungkan pada Ibu penjaga warung. Ia kemudian memasukkan uang tersebut ke dalam kotak penyimpanan sembari mengambilkan uang dua ribu rupiah sebagai kembalian.

“Mas, kok sudah lama nggak pernah ke sini,” ujarnya seraya mengulungkan uang kembalian saya.

Pertanyaan si Ibu membuat saya tersenyum, “Iya, je, Bu. Sibuk,” kata saya sambil berlalu.

Saya ambil motor saya dan langsung memacunya ke warung kopi langganan saya. Sepanjang perjalanan, hati saya mongkok. Bahagia betul.

Diingat sama penjaga warung penyetan ternyata kok ya menyenangkan juga rasanya. Sungguh, hidup kita ini sebenarnya penuh dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang sederhana. Kebahagiaan yang kerap muncul di saat yang tepat. Saat kita suntuk, saat kita bosan, saat kita merasa hidup terasa datar-datar saja.

Exit mobile version