Tuyul Nggak Ada Akhlak Gagal Maling Karena Aku Nggak Punya Duit

Tuyul Nggak Ada Akhlak Gagal Maling Karena Aku Nggak Punya Duit MOJOK.CO

Tuyul Nggak Ada Akhlak Gagal Maling Karena Aku Nggak Punya Duit MOJOK.CO

MOJOK.COSampai sekarang, aku penasaran, tuyul pergi itu karena takut sama ayat kursi, mataku yang mendelik, atau kenyataan aku yang nggak punya duit, ya.

Suara azan subuh membangunkan tidur nyenyakku. Saat itu, aku lagi rajin-rajinnya ikut Simbok salat di masjid. Jarak rumah menuju masjid tidak jauh. Namun, tidak banyak yang mau ikut salat subuh di masjid karena jalanan yang sepi banget. Maklum, desa saya ada di daerah perbukitan yang memang terasa wingit.

Jalan yang saya dan Simbok biasa lewati juga gelap karena tidak ada lampu jalan. Sumber cahaya nan remang-remang itu berasal dari lampu rumah tetangga. Udara saat subuh sangat dingin membuatku bergidik. Simbok saya itu kalau jalan cepet banget, sering bikin saya ketinggalan, dan jadi nggak tenang.

Subuh itu sama seperti subuh sebelum-sebelumnya. Gelap, sepi, dingin, dan Simbok berjalan agak jauh di depanku. Ketika sampai di sebuah pertigaan, aku melihat tiga anak kecil berjalan menuju rumah tetangga di sebelah kanan jalan. Sementara itu, kalau mau ke masjid, belok kiri. Simbok yang berjalan lebih cepat tidak melihat tiga anak kecil itu.

Tamu? Tapi, kok, anak kecil semua. Jam segini lagi. Saat itu aku belum tahu kalau akan dibikin kesal sama tuyul.

Setelah mengamati beberapa saat, aku belum kepikiran kalau akan kena sial. Aku malah berpikir kayak gini: wah, kasihan ada tiga anak kecil yang kelihatannya kebingungan mau masuk rumah. Jadi aku putuskan untuk membantu mereka.

Simbok, riyen mboten nopo-nopo. Kulo ajeng ting Ardi riyen. Onten tamu, kintene mboten ngertos,” kataku sambil setengah berteriak kea rah Simbok. Oya, Ardi itu bukan nama sebenarnya, ya.

Terjemahannya:

(Simbok duluan tidak apa-apa. Saya mau ke Adi dulu. Ada tamu, sepertinya tidak tahu)

Yo gek wis, Pak Kaji wis arep komat.” (Ya cepetan, Pak Haji mau komat) Jawab Simbokku. Kalian tau komat kan? Yang khaya ngalashola kurang lebih seperti itu.

Akhirnya aku menyusul ketiga anak kecil itu. Pertama melihat ketiga bocah itu aku tertawa ngakak. Bisa-bisanya bocah sekecil itu tak memakai baju. Bahkan sporot pun tak dipakai. Kalian nggak tahu sporot? Itu, lho, kaos dalam, ndeso ah.

Wajah mereka belepotan pupur bayi. Pikirku, apa ya Ardi menyewa badut bocah untuk merayakan ulang tahun adiknya. Eh, kalau dipikir-pikir ulang tahun adiknya masih lama.

“Dek, arep ketemu Ardi po?” (Dek, mau bertemu Ardi?)

“Duit,” jawab bocah itu. Ketiga bocah itu nyengir menampakkan gigi kelincinya ke arahku. Horor sekali rupanya. Mulutnya tersenyum lebar ke arahku. Ketiga-tiganya memiliki paras yang sama.

Bocah itu maju ke arahku dengan posisi badan memunggungiku. Seperti undur-undur saja. Aku pun mundur alon-alon. Mereka menaikkan tangannya seperti ingin meminta sesuatu.

“Duit.”

“Aku ora ngerti koe. Arep nopo njaluk duit” (Aku tidak tahu kamu. Mau apa meminta uang?). Aku memberanikan diri bertanya seperti itu.

Semua bocah itu ngakak sejadi-jadinya. Mereka membalikan tubuh menatapku. Sumpah wajah mereka horor sekali. Pupur bayi yang tak rata, kepala gundul, suara ketawa yang horor banget, dan tangan berkulit pucat yang terus teracung minta duit.

“Koe tuyul jebul. Laa…ah a…ku wedi tenan. Mbooo…ook aku ngerti tuyul!!!” Aku berlari sekencang-kencangnya pulang ke rumah. Ketiga tuyul itu cekikikan melihat aku lari terbirit-birit.

Sampai di rumah aku masih gelagapan. Simbokku bertanya kenapa aku pulang duluan. Tapi tak kujawab. Aku masih tak percaya apa yang aku lihat tadi. Akhirnya aku salat subuh di rumah dan akan melanjutkan tidur saja. Karena waktu itu hari libur.

Aku menengok jam di ruang tamu. Sekarang pukul setengah lima lebih delapan menit. Sepertinya aku akan menunggu pagi. Akhirnya aku memutuskan untuk menonton film di ruang tamu.

Sebelumnya aku mengambil guling dari kamarku. Saat hendak mengambil guling, aku mendengar suara sandal ditarik. Srek srek srek.

Aku menengok ke belakang tapi tak ada apa-apa. Lalu aku ambil guling itu. Tapi seperti ada yang menahan. Lalu ku tarik paksa guling itu dan malah membuatku jatuh tersungkur menghadap kolong tempat tidur. Perlahan aku mendengar cekikikan seorang anak kecil. Seketika aku teringat si tuyul itu.

“Baaaa!” Aseeeem tuyul itu mengagetiku. Spontan aku memukulnya pakai guling. Sambil menangis sejadi-jadinya karena takut. Lalu aku lari ke ruang tamu.

Aku meneguk secangkir teh untuk menenangkan jantungku.

Kreit…kreit…ahihihii’ Aku terkejut lagi dan berlari ke kamarku.

Sial. Ternyata tuyul itu malah di kamarku. Aku menjerit keras “Tuyul!!”

Tuyul itu tertawa. Satu dari mereka menakutiku dan yang dua membuka almariku.

“Ra ono duit” (Tidak ada uang) kata salah satu tuyul itu.

Dengan terbata-bata aku membacakan ayat kursi dengan keras. Mereka malah asyik mengobrak-abrik isi almariku. Dasar tuyul apa nggak tau sama yang namanya ayat kursi ya. Tuyul nggak ada akhlak.

Sambil gemetar aku terus melanjutkan membacakan ayat kursi untuk memusnahkan tuyul menjengkelkan itu. Sampai di pertengahan ayat muncul sedikit keberanianku. Aku semakin menjadi membaca ayat kursinya.

Entah bagaimana, campuran rasa takut sama jengkel, aku malah jadi marah. Sambil baca ayat kursi, aku mendelik kayak penari bali. Eh, mereka balik mendelik. Ketika kami saling mendelik, salah satu tuyul bilang:

“Kapoook aku kapok. Ra ono duit, ra ono duit”. Setelah berkata seperti itu, tuyul nggak punya sopan santu itu pergi. Dua tuyul gundul sisanya lalu menyusul. Sampai sekarang, aku penasaran, mereka pergi itu karena takut sama ayat kursi, mataku yang mendelik, atau kenyataan aku yang nggak punya duit, ya.

BACA JUGA Celana Dalam Penglaris Warung Bakso dan Pesugihan Seminar Tuyul atau tulisan setan nggak ada akhlak lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version