Kalau Saya Percaya Teori Konspirasi Memangnya Kenapa?

MOJOK.CO – Banyak orang kelewatan dalam mengolok-olok keberadaan teori konspirasi. Padahal konpirasi toh memang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Status mega-seleb-Facebook Iqbal Aji Daryono di dinding Facebook-nya mengomentari fenomena teori konspirasi, menggugah saya untuk membuat tulisan ini. Intinya Iqbal bilang, kita jangan terlalu berlebihan menertawakan teori konspirasi.

Sebelum Iqbal menyampaikan itu, diam-diam saya juga agak kurang senang ketika banyak orang terlampau mengolok-olok keberadaan teori konspirasi serta orang-orang yang memercayainya. Sebab, seperti kata Iqbal, realitas kehidupan ini tidak serta merta sesuai dengan apa yang kita saksikan di layar HP dan televisi.

Saya ingin menambahi: jangankan apa yang ditampilkan di layar kaca, apa yang kita saksikan langsung dengan mata kepala sendiri saja pun terkadang belum tentu sesuai dengan apa yang kita pikir. Framing ada di mana-mana, bahkan tanpa perlu dari kacamata media massa sekalipun.

Seseorang berambut panjang yang berdiri tengah malam di pinggir taman kota, mungkin kita sangka pengamen jalanan. Tetapi, bisa saja ternyata dia bukan pengamen, melainkan pengedar narkoba yang tengah menunggu pembeli.

Sopir yang membawa kita menuju lokasi liputan—kalau kita wartawan—bisa jadi bukan orang asing yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan hidup kita, tetapi pembunuh bayaran yang disewa oleh mafia atau pejabat yang sakit hati karena pernah kita beritakan bisnis gelapnya.

Ustaz kondang yang kita kira mengajar ngaji anak-anak di kampung, ternyata penjahat kelamin yang tengah menyamar. Pastor-pastor gereja yang kita anggap telah menanggalkan hawa nafsu berahinya, rupanya menjelma binatang buas yang menyodomi anak-anak.

Konglomerat yang memberi hadiah jutaan rupiah kepada penulis yang bersedia menulis tentang lingkungan, bisa jadi merupakan bos sebuah perusahaan tambang yang selalu menebangi hutan secara ugal-ugalan dan merusak lingkungan.

Pemenang kontes kecantikan yang kita pikir memang pantas untuk menang, bisa jadi ternyata perempuan simpanan si penyelenggara kontes.

Penulis-penulis yang dipilih mewakili negara untuk melakukan residensi ke luar negeri, kita pikir tadinya karena karya-karya mereka lebih bagus dibanding karya penulis-penulis lain. Tetapi ternyata karena mereka punya kedekatan khusus dengan panitia yang menyeleksi.

Beberapa contoh yang saya sebutkan di atas saya pikir tidak terlalu khayal karena memang pernah terjadi di kehidupan nyata.

Jujur saja, saya sendiri sebenarnya termasuk orang yang ikut menertawakan teori konspirasi ketika orang-orang ramai membicarakan Masjid Al Safar di Jawa Barat yang dikait-kaitkan dengan Illuminati, dajjal, dsb, belakangan ini. Bagi saya—untuk kasus itu—tudingan tanpa kerangka berpikir yang jelas memang kelewat lucu untuk tidak ditertawakan.

Tetapi, itu bukan berarti saya serta merta menggugurkan keyakinan saya akan keberadaan konspirasi dalam kehidupan ini. Apalagi pengalaman hidup telah banyak memberikan bukti. Lagipula, konspirasi tidak melulu soal kejahatan, bukan? Ada kalanya konspirasi cuma sekadar keusilan. Malah ada pula konspirasi yang dilakukan demi kebaikan.

Dalam lingkup kehidupan anak SD saja konspirasi itu ada. Misalnya, pelaku perundungan di dalam kelas kadang-kadang sulit dilacak oleh guru, terutama ketika sang pelaku merupakan murid paling bandel yang paling ditakuti teman-temannya.

Akan ada murid lain yang dijadikannya “tumbal” dan dipaksa untuk berpura-pura sebagai pelaku, sementara ia tetap aman dari hukuman guru. Ya, murid itu adalah saya sendiri sewaktu belajar di madrasah dulu.

Di dalam keluarga, ibu dan ayah, dibantu adik perempuan, bersekongkol menjodohkan anak laki-lakinya dengan anak tetangga. Masih banyak lagi contoh konspirasi sederhana yang tujuannya baik yang ada di sekitar kita.

Bila pun kita memang kebelet sekali ingin ikut tertawa soal keberadaan teori konspirasi, saya kira titik sasaran yang paling tepat adalah sikap orang-orang yang kelewat gemar memakai metode cocoklogi, yang memaksakan diri dalam mengait-ngaitkan sesuatu dengan kejahatan terselubung.

Apalagi jika pengkait-kaitan itu tidak disertai dengan bukti dan logika yang kuat. Ya, kurang lebih seperti kasus Masjid Al Safar itu lah.

Yang bikin saya heran, di antara banyak pihak yang menganggap percaya teori konspirasi sebagai suatu kekonyolan, media-media massa pun termasuk ikut-ikutan.

Memanfaatkan momentum, banyak media massa lantas berlomba-lomba menayangkan artikel yang isinya menyudutkan teori konspirasi dan orang-orang yang mempercayainya.

Padahal, kalau orang percaya akan teori konspirasi, memangnya kenapa?

Apalagi, percaya pada teori konspirasi pada dasarnya senafas dengan sikap skeptis; sikap untuk tidak percaya begitu saja pada apa yang tampak di permukaan. Dan sikap skeptis ini (semestinya) ada pada diri seorang jurnalis.

Apakah petinggi media-media tersebut tidak memikirkan pendapat para jurnalisnya?

Saya tahu, jurnalis yang tidak percaya akan teori konspirasi memang banyak. Tapi, kebanyakan mereka hanya cukup sampai pada fase “tidak percaya” saja, tanpa pernah benar-benar meng-cross-check sesuatu yang dituding banyak orang sebagai bagian dari konspirasi rahasia.

Tak usah jauh-jauh. Dalam memberitakan kasus penangkapan narkoba berkilo-kilo gram saja, seringkali jurnalis cuma sekadar mengutip omongan polisi dalam konferensi pers—sambil bisa jadi pulang bawa amplop.

Sangat jarang ada wartawan yang mau (bahkan kepikiran pun tidak) menelusuri kemungkinan adanya keterlibatan aparat penegak hukum di dalam bisnis narkoba yang ia beritakan tersebut.

Di sisi lain, saya juga yakin bahwa jurnalis yang percaya pada keberadaan konspirasi pun tak sedikit. Tetapi, mereka “dibungkam”, “dipaksa” untuk tidak perlu repot-repot mencari kebenaran. Mereka cukup dilarutkan saja dengan tugas-tugas liputan rutin sesuai desk masing-masing.

Jadi intinya, kalau kita memang merasa punya nalar yang kritis, seharusnya kita tidak boleh serta merta menganggap sepele saat mendengar frasa teori konspirasi. Pun terhadap orang-orang yang percaya, adalah goblok kita ketika kita tergesa-gesa mengatai mereka “goblok”.

Supaya tak gampang menertawai, yang perlu kita ingat satu: konspirasi itu selalu bersifat terselubung, sistematis, senyap, rumit, dan mengendap-ngendap. Semakin besar misi yang hendak dicapai oleh para pelakunya, semakin terselubung dan sistematis dan rumit pulalah konspirasi itu dijalankan.

Exit mobile version