Yang Terlupakan dari Peringatan Hari Batik di Kota Pekalongan

Batik Terkenal, Lingkungan Tercemar: Kisah Warga Pekalongan yang Mulai Berdamai dengan Pencemaran Lingkungan hari batik

Batik Terkenal, Lingkungan Tercemar: Kisah Warga Pekalongan yang Mulai Berdamai dengan Pencemaran Lingkungan (Unsplash.com)

Tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Konon di tanggal inilah batik diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Entah bagaimana di daerah lain, tapi di Kota Pekalongan Hari Batik akan selalu menjadi momentum perayaan.

Pesta bertajuk Pekan Batik Pekalongan akan selalu hadir setiap tahunnya. Maklum, sudah terlanjur menyebut diri Kota Batik. Tapi setiap kali perayaan Hari Batik, seingat saya, tidak pernah sekali pun Pemerintah Kota Pekalongan menyinggung masalah-masalah yang koheren dengan batik.

Paling kalaupun membicarakannya hanya sekelebat saja. Momentum Hari Batik menjadi perayaan tahunan yang tujuannya tak lebih dari sekadar menghabiskan anggaran. Memamerkan hasil batik yang kita tidak tahu itu berpengaruh besar buat batik itu sendiri atau tidak. Sampai saya menulis ini, ada banyak hal yang masih dilupakan dari perayaan Hari Batik, terutama di Kota Pekalongan.

Limbah batik

Limbah batik adalah masalah yang akan selalu gurih ketika dibahas. Namun, sering kali permasalahan limbah batik ini tak pernah serius untuk dicari solusinya. Bahkan dalam momentum Hari Batik sekalipun.

Padahal limbah batik, terutama di Kota Pekalongan telah tiba ke tahap menghawatirkan. Jika tak dikelola dengan baik, misal limbahnya dibuang begitu saja akan mencemari sungai.

Hampir semua sungai di Kota Pekalongan berwarna hitam. Di dekat tempat kerja saya malah bukan cuma hitam, kadang bisa merah, di lain waktu biru. Warnanya berubah-ubah setiap pagi, siang, dan sore hari.

Persoalan limbah batik ini, walaupun sering disuarakan, tidak pernah dibahas serius, tak terkecuali ketika Hari Batik. Pemkot Pekalongan dalam setiap perayaan Hari Batik menyoroti hal ini dengan kacamata yang normatif saja.

Seperti baru-baru ini. Pemkot Pekalongan sama sekali tidak menawarkan solusi konkret tentang limbah. Mereka hanya mengimbau. Ya, mengimbau saja. Salah satunya mengimbau agar pengusaha batik menggunakan pewarna alami, alih-alih pewarna kimia demi mengurangi limbah batik.

Penggunaan pewarna alami memang bisa menjadi solusi. Tapi sejauh yang saya mengerti, penggunaan pewarna alami membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Juga proses yang lebih lama. Kalau saya pengusaha batik, jelas tidak akan menggubris anjuran itu.

Apabila memakai pewarna alami, biaya produksi bisa menjadi lebih tinggi dan waktu produksi lebih lama. Sementara prinsip kaum kapitalis, eh maksud saya, pengusaha adalah sebanyak mungkin memproduksi barang dengan biaya seminimal mungkin.

Jika sudah begitu, harapannya cuma di IPAL. Meskipun tak selamanya dan tak semua IPAL di Kota Pekalongan berfungsi dengan baik.

Kesejahteraan buruh batik di Pekalongan

Jika ingatan saya tidak membelot, setiap kali perayaan Hari Batik, buruh batik kurang diperhatikan. Lagi-lagi yang akan selalu disebut adalah penggiat batik. Ya, penggiat.

Saya kurang mengerti penggiat batik itu jenis manusia seperti apa. Apakah dia giat dalam memproduksi batik sehingga layak disebut penggiat batik? Ataukah mungkin orang ini giat mempromosikan batik, sehingga disebut penggiat batik?

Untuk yang kedua daripada disebut penggiat batik, saya kira lebih pas dinamai sales batik. Belakangan saya kemudian mengerti bahwa penggiat batik adalah pengusaha batik yang sering aktif di event-event bernuansa batik, sekaligus teman tenis meja Wali Kota.

Dalam momentum Hari Batik, buruh batik acap kali disamarkan sebagai “perajin batik”. Perajin, Bung! Nadanya lebih halus. Dengan menyebut buruh batik sebagai “perajin batik”, Pemkot seolah-olah ingin menempatkan buruh batik sebagai pekerja yang dengan senang hati membatik. Karena ia adalah perajin yang menghasilkan sebuah kerajinan berupa batik.

Padahal membatik bagi masyarakat Kota Pekalongan adalah pekerjaan. Bukan sesuatu yang dilakukan iseng-iseng. Apalagi yang bekerja dalam sebuah industri batik bukan hanya pembatik. Di sana juga ada tukang ngelorot, ngecap, nyolet, tukang lempit dan lain sebangsanya.

Saya menduga, karena disebut “perajin batik” para buruh batik dianggap sejahtera. Padahal mah tidak! Gaji buruh batik itu sedikit. Ya ada yang UMR, tapi sampai sekarang masih banyak kok yang digaji di bawah UMR.

Persoalan begini jarang diperhatikan. Di Hari Batik, orang hanya bangga memakai batik tapi mereka tidak menyadari ada keringat yang dibayar murah dari setiap batik yang dipakai.

Hak Kekayaan Intelektual Motif Batik

Kota Pekalongan konon punya motif asli. Tapi jujur saya tidak pernah tahu motif yang asli itu apa. Betapa pun originalnya sebuah motif batik, menurut saya, besar kemungkinan itu modifikasi motif yang sudah ada.

Tepat di titik inilah saya ingin mempertanyakan soal hak kekayaan intelektual motif batik. Sebab itu tidak pernah dibahas setiap kali Hari Batik. Silakan protes ke saya kalau itu ternyata pernah dibahas dan menghasilkan titik temu.

Saya pernah mendengar cerita, lupa persisnya dari siapa gerangan, tapi saya ingat poinnya. Bahwa pengusaha batik tak pernah membikin batiknya dengan motif yang autentik dari perusahaannya sendiri. Kebanyakan cuma mengulangi motif yang sudah ada.

Apakah mereka membayar royalti pada si pemilik motif atau tidak, saya tidak tahu persis. Yang jelas hal semacam ini sering terjadi dan dianggap lumrah. Setiap motif batik dianggap milik bersama. Ha ini kan, lucu!

Regenerasi pembatik di Pekalongan

Apakah anak muda di Kota Pekalongan yang disebut Kota Batik itu punya cita-cita menjadi pembatik? Saya kok yakin, anak muda di Kota Pekalongan, terutama Gen Z jika disurvei, dari 10 anak muda paling hanya satu yang punya keinginan menjadi pembatik.

Nenek saya pembatik. Beberapa kerabat dan keluarga saya bekerja sebagai buruh batik. Tapi tidak ada satu pun yang mendorong saya jadi pembatik. Kata mereka, bekerja di perbatikan itu rekoso.

Saya pernah membaca sebuah tulisan dari mahasiswa UIN KH. Abdurrahman Wahid, Feri Gunawan, yang kebetulan tulisan itu dikirim ke media lokal yang saya kelola. Ia melakukan penelitian kecil-kecilan yang kurang representatif, tapi cukup menggambarkan sedikitnya minat menjadi pembatik dari generasi muda.

Dari 20 tempat usaha baik yang tersebar di empat sentra batik: Kampung Batik Pesindon, Kampung Batik Banyurip, Kampung Batik Kauman, dan Kelurahan Tirto ditemukan bahwa pekerja batik di rentang usia 16-25 tahun pada tahun 2022 mengalami penurunan. Dari 37,6 persen di tahun 2020 menjadi hanya 20 persen saja di tahun 2022.

Dengan kata lain, Kota Pekalongan sedang krisis pembatik. Memang betul setiap perayaan Hari Batik, pasti ada lomba membatik yang diikuti oleh siswa-siswi SD atau SMP atau SMA. Tapi mereka belum tentu mau menjadi pembatik. Paling hanya jika orang tuanya pengusaha batik, itu pun tiada lain demi meneruskan usaha. Sisanya saya yakin pasti lebih memilih jadi kayak Agung Hapsah.

Penulis: Muhammad Arsyad
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kota Kreatif, Pembangunan Terbaik, dan Kebohongan Lain tentang Kota Pekalongan yang Harus Diluruskan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version