Yamaha V80 1978 adalah motor bekas yang sudah berumur. Namun, ia adalah motor bebek yang tangguh dan kuat. Asalkan nggak dipakai nanjak-nanjak aja. Dan, kalau tetap maksa dikendarai di jalanan menanjak curam, itu namanya nekat dan kamu bisa kualat.
Ebay, teman saya, datang dengan pandangan yang penuh rasa riya saat membawa Yamaha V80 ke rumah saya. Dia baru saja meminang motor bekas tersebut. Biar Honda Scoopy nggak sendirian katanya. “Kan ramai kalau ada motor lain di rumah selain Scoopy. Biar ada teman.”
“Terus istri gimana? Kok ngebolehin beli motor lagi?”
“Dia mah senang-senang aja. Kebetulan juga suka sama motor retro sih. Kemarin pas tak bonceng bilang joknya enak, tebel empuk.” Jawab Ebay.
Daftar Isi
Yamaha V80, motor bekas dengan jok super nyaman
Nggak salah memang, jika, jok motor jadul terasa empuk. Desain yang simpel berbentuk kotak serta dilapisi busa tebal merata menjadikan siapa saja yang menaikinya bakal bilang hal yang senada. Nyaman!
Desain jok Yamaha V80 memang berbeda dengan motor zaman sekarang. Masalahnya adalah motor zaman sekarang lebih mengedepankan sisi visual dan sporty. Hal ini malah memangkas sisi empuknya jok. Mau tak mau, kenyamanan yang menjadi korban.
“Ayo jalan-jalan ke Rahtawu pakai motor ini!” Celetuk Ebay dengan kepercayaan diri yang pastinya agak kelewatan.
Tapi ya sudah, saya manut saja. “Beliin kopi lho, ya.” Saya setuju.
Sejujurnya, saya agak skeptis sama Yamaha V80. Saya paham, motor bekas satu ini sangat berjaya pada masanya. Bahkan untuk sekelas motor yang langsung diimpor dalam keadaan utuh, rasanya saya terlalu lancang walau sekadar meragukan ketangguhan kualitas motor Jepang. Tapi, itu kan 45 tahun yang lalu. Sudah pasti ada penurunan performa seiring makin tuanya motor.
Tapi demi kopi gratis, tak apalah. Saya memasrahkan keyakinan ini pada motor bekas Yamaha V80 tahun 1978 dan sang pemilik, Ebay.
Motor bekas yang larinya lambat
Suara khas motor 2-tak terdengar berisik di halaman. Sekali selah langsung nyala. Lumayan sehat untuk motor bekas lansiran 1978. Menurut Ebay, motor V80 miliknya adalah generasi ketiga dari mesin berkode V series. Sebelumnya, di Indonesia, telah ada Yamaha V50M (kapasitas mesin 50cc) tahun 1973 serta Yamaha V75 dengan kapasitas mesin lebih besar 75cc.
“Jadi, motorku ini yang paling muda di antara seri yang lain, mesinnya agak gede, sekitar 80cc. Gimana, mantab, kan?”
“Lumayan,” jawab saya.
Ebay memanasi mesin motor bekas ini selama satu menit. Setelah itu, dia memuntir grip gas. Bodi Yamaha V80 yang serba kotak bergetar.
Kami melaju dengan kecepatan tak lebih dari 60 km/jam. Larinya yang agak lambat ditambah suara knalpot khas 2-tak cukup membuat telinga saya budek sebelah. Namun, ada satu hal yang saya suka. Saat belok, bebek jadul ini pada lampu seinnya nggak cuman berkedip tapi ada suara yang turut timbul. Tit-tit-tit-tit-tit, gitu bunyinya. Satu fitur yang bikin notice kalau lampu sein belum dimatikan sehabis belok.
Footstep belakang di swing arm bikin kaki bergetar
Rasanya cukup menyenangkan mengendarai bebek jadul ini melewati persawahan dengan santai. Namun, posisi foot step belakang yang saya injak nempel langsung di swing arm.
Alhasil, sepanjang jalan, kaki jadi ikutan nggak bisa diam sampai agak tremor. Ngayun terus dari tadi. Rasanya kaki nggak bisa diam selama perjalanan. Dengan jarak tempuh yang menghabiskan waktu 30 menit lebih, cukup membuat kaki kram.
Tiba di gapura Rahtawu
Setelah menghabiskan waktu lebih dari 30 menit dengan kontur jalan yang mendatar, kami sampai di jalan awal menuju daerah Rahtawu. Dari sini jalan mulai menanjak, dan Yamaha V80 yang kami kendarai bisa melewati tanjakan pertama meski mesin lumayan ngeden dari tadi.
Jalan nambah naik tajam. Motor bebek lahiran 78 ini seakan ogah buat lanjut. Namun sang pemilik tetap menyemangati sambil memutar grip gas lebih dalam. “Ayo Ndes, kuat.”
Opsi tiga perpindahan gigi motor bekas ini nggak membantu banyak. Ya mau gimana, gigi persenelingnya cuman tiga doang. Kalau ketemu jalanan yang terlalu ekstrem, ya wasalam. Apalagi motor tua ini tak pakai boncengan.
Ujungnya, motor yang kami naiki nggak sanggup menanjak lebih tinggi. Menyerah di tanjakan kedua. Selain hampir melorot, nahasnya lagi kami mau ditabrak dari belakang. Haduh!
“Asuuu!” Teriak pengendara di belakang.
Kami menyerah, dan memutuskan untuk putar balik karena nggak mungkin kuat sampai di tempat ngopi. Di saat kayak gitu, Ebay masih kepikiran mbak-mbak warkop. “Haduh, nggak jadi ketemu Mbak-mbak manis.”
“Ingat istri, Ndes.”
Knalpot Yamaha V80 copot
Menjelang sore, kami memutuskan untuk pulang. Apalagi jika melihat tanjakan yang bikin kami melorot bukan yang paling curam di daerah Rahtawu. Agak mustahil kalau tetap maksa buat naik.
Cukup sudah perjuangan mbahnya motor bekas ini. “Yang penting Yamaha V80 sudah pernah mencoba melibas tanjakan di daerah Rahtawu,” gerutu Ebay. Motor tua plus kapasitas mesin cuman 80cc sudah pasti bukan pilihan tepat dibawa ke daerah yang jalanannya naik turun tajam. Goblok memang.
Yamaha V80 tahun 1978 mulai menyusuri jalan menurun. Jelas dari suara knalpotnya, motor bekas ini tak terengah-engah kayak tadi pas dipakai menanjak. Raungan mesin nggak ngeden lagi. Berbekal engine brake, rem tromol depan belakang serta suspensi depan tipe leading link yang kalau di rem mentul-mentul kami menurun dengan pasti.
Selewat gapura Rahtawu, Yamaha V80 masih bisa meliuk seakan sudah lupa bahwa tenaga mesinnya terlihat sia-sia di depan tanjakan curam.
Sekitar 50 meter dari gapura tadi, suara aneh terdengar. “Krak!”
“Mesinnya lepas?”
Bukan, itu suara knalpot.
“Sial, knalpotnya copot,” kata Ebay panik.
MAMAM!
Penulis: Budi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Yamaha All New NMAX 155: Bikin Motor kok Nanggung Banget, Nggak Worth untuk Dibeli