Ya Tuhan, Mengapa Ghibah Itu Menyenangkan?

ghibah

ghibah

Kebiasaan membicarakan kebaikan atau pun keburukan orang seperti sudah menjadi bumbu penting dalam pergaulan umat manusia. Di Indonesia sendiri hal itu memiliki sebutan bergosip. Sementara dari sisi budaya ketimuran dikenal dengan istilah ghibah.

Bilamana diibaratkan pangan, maka bergosip atau ghibah ini sudah setara dengan nasi. Makan apapun tanpa nasi, terasa kurang bukan? Begitupun dalam sebuah kehidupan sosial. Nongkrong tanpa adanya aktivitas ghibah, orang bisa jadi merasakan adanya interaksi sosial yang hilang, lho?

Dalam sebuah jurnal psikologi, peneliti mengemukakan bahwasanya rata-rata manusia menghabiskan waktunya selama kurang lebih 52 menit per hari guna membicarakan orang lain atau bergosip. Mereka pun melakukan itu guna berbagi tentang informasi orang-orang yang berada di sekitar mereka.

Hal yang mendasari mengapa manusia itu doyan berghibah tidak lain dan tidak bukan karena insting dasar manusia itu sendiri, yang gemar mengumpulkan informasi sekaligus gemar berinteraksi. Sebagai makhluk sosial pula mereka tidak bisa hidup tanpa orang lain. Jadi dengan bergosip pada mulanya mereka diharapkan agar mampu mengenal orang di sekitarnya lebih dekat.

Berdasarkan catatan sejarah, kemampuan manusia dalam hal membicarakan orang lain didapat ketika memasuki fase Revolusi Kognitif atau Revolusi Pengetahuan yang terjadi pada sekitar 70.000 sampai dengan 30.000 tahun yang lalu.

Berkat perkembangan ukuran otaknya yang signifikan Manusia atau Homo Sapiens kemudian dianugerahi kemampuan yang baik dalam berbahasa dan berkomunikasi. Pada mulanya mereka menggunakan kemampuan itu guna berkoordinasi ketika ada bahaya atau berburu.

Eh seiring berjalannya waktu, kemampuan berbahasa mereka mulai dipergunakan pula untuk hal lain. Semacam ghibah tentang orang lain di kelompoknya atau pun wanita janda yang mereka idam-idamkan.

Masuk ke zaman sebelum kemerdekaan di Indonesia, kebiasaan bergosip atau berghibah pun kiranya banyak dilakukan oleh masyarakat kita yang terjajah. Misal nih waktu itu mereka kesal dengan aktivitas kerja yang dibebankan oleh Belanda, para pekerja akan bergunjing;

“Ah sialan nih orang Londo! Bisanya nyuruh mulu. Sedangkan mereka cuma iso diem dan nunjuk. Dasar si tukang jajah! Padahal ini tanah lahirku toh, kok jadi aku yang diperbudak begini ya? Dasar londo anjay!!”

Lalu pekerja lain pun akan menimpal dengan berkata: “Iyah nih si Londo anjay!” dan berikutnya tujuh pekerja lain pun berpikiran yang sama “benar nih londo anjay betul berani ngerjai kita, ayo lawan!” Dari situlah mungkin pemberontakan dimulai. Ghibah is revolution.

Masih di Indonesia. Masuk ke era 90-an, kebiasaan bergosip dan berghibah pun identik dengan aktivitas yang extreme di masa ini. Kenapa bisa jadi ekstrim? Karena beberapa para aktivis demen nya ghibah tentang hal yang berhubungan dengan kedzaliman pemerintah nan berkuasa selama 32 tahun lamanya.

Kala tahun-tahun yang mencekam itu, konon jika ditemukan orang yang terbukti membicarakan tentang hal-hal berbau kritikan serta tuduhan miring pada pemerintah, besok nya langsung babak belur. Jika tidak babak belur besoknya langsung babak dua, alias hilang. Kalu besoknya tidak hilang akan ada besoknya, besoknya, dan besoknya….. Jadi, kalau masa itu saya menulis ini, bisa jadi besoknya saya libur dari dunia. HAAAAAAAA~~~  *nada suara Tretan dan Coki MLI

Beralih ke zaman now. Di televisi kebiasaan ghibah atau membicarakan orang lain umumnya banyak dipraktikkan oleh para Ibu-ibu yang sedang berkumpul di tukang sayur. Dari kemasan acara sih hampir mirip-mirip dengan seminar gitu. Di mana Abang tukang sayur bertindak sebagai moderator sekaligus time keeper, sementara ada satu Ibu yang bertindak sebagai kompor narasumber, dan Ibu sisanya adalah audiens atau penonton.

Biasanya acara dimulai dengan Abang sayur yang berteriak “sayur-sayur”. Kemudian beberapa Ibu-ibu datang mengerubungi si Abang sambil sesekali menanyakan harga dan menawar sayur nya. Nah, si narasumber biasanya datang belakangan. Ia biasanya membuka obrolan dengan kalimat “eh permisi Ibu-ibu. Maaf nih telat beli sayur nya, maklum abis dari rumah si A, yang habis rame itu lho” satu Ibu-ibu pun penasaran “rame kenapa tuh bu?” Narasumber biasanya senang dengan pertanyaan itu.

Tanpa segan Ia akan langsung menjawab secara seksama dalam tempo yang tidak sesingkat-singkatnya. Sebagai reward atas pertanyaan itu, cerita akan langsung disambung dengan gosip-gosip terbaru yang Ia punya. Ya bisa jadi di real life, obrolan tadi memakan waktu sekitar satu jam. Untungnya hal itu bisa diakhiri oleh Abang sayur yang menggertak dengan berkata “Udah gosip nya? Jadi pada mau beli sayur nggak nih?”

Semenjak hadirnya sosial media di kehidupan manusia, pola-pola ghibah dan gosip konvensional seperti di atas pun mulai beralih platform ke virtual. Jangan kaget bila kemudian dalam sebuah grup WA, pasti ada lagi sub grup yang dihuni oleh sebagian kecil manusia, yang kerjanya membicarakan tentang orang-orang di grup tersebut.

Sebagai mas-mas millenials, saya pun punya sub grup yang berisi manusia yang gemar melakukan ghibah. Aturan main dalam grup kami ini sederhana, adalah;

Semenjak bergabung dengan grup ghibahku itu, aku mendapatkan banyak informasi baru tentang si A, kelakukan si B, alay nya si C, kocaknya si D, dan bobrok nya tingkah laku si E. Dari ghibah itu pula aku belajar arti solidaritas dan keterikatan pertemanan yang kuat karena kita membenci orang-orang yang sama. Ghibah seolah memberiku energi untuk hidup. Ya Tuhan, mengapa ghibah itu menyenangkan?

Exit mobile version