Hari ini, ada video viral tentang betapa murahnya makanan di Wonogiri. Komentar netizen sih gitu-gitu aja, pada kaget, dan bertanya apakah bakule bisa untung. Tapi, ada komentar yang bikin saya mendidih, yaitu komen Wonogiri sepi dan hanya ramai saat lebaran. Sebagai orang asli Wonogiri, saya marah betul bacanya.
Makan 3x cuma 10rb perak di Wonogiri 🥺 pic.twitter.com/kXFQpUpFTs
— Jami (@djamtjoek) February 12, 2023
Saya kadang heran sama orang-orang. Mereka tuh nggak tahu kondisi daerah yang mereka omongin, tapi yakin betul kalau ngomong (ngatain). Misal, mereka sering menganggap daerah-daerah kayak kabupaten X itu sepi, bahkan hingga sekarang, di mana kemajuan daerah-daerah begitu pesat, mereka tetap menganggap terbelakang. Kayak, nggak tersentuh peradaban sama sekali.
Ya bener, daerah-daerah itu nggak akan menyaingi kota dalam segala hal. Tapi nggak fair juga kalau kota yang udah established dijadiin tolok ukur. Kota yang baru maju satu dekade jelas nggak akan bisa dibandingin sama kota-kota besar yang udah maju bahkan sebelum Reformasi. Nggak terkejar.
Kita bicara Wonogiri, kota yang lagi viral ini. Kalau dibandingin sama Solo, tetangga terdekat (yang nggak dekat-dekat amat), ya keramaiannya jauh. Tapi kan Solo udah established, sedangkan Wonogiri baru lepas landas belum lama-lama banget. Tapi ya nggak bisa juga dibilang terbelakang. Edan po.
Apalagi bilang sepi, ha anjeng, dikira Raccoon City apa?
Wonogiri tuh rame, Coy. Untuk daerah pegunungan, Kota Gaplek ini terhitung rame. Nggak perlu nunggu Lebaran, udah rame juga. Kota ini hidup, hidup banget. Banyak perumahan baru yang cepat terisi, dan jika kalian pake konser sebagai tolok ukur kemajuan daerah, sorry banget, Wonogiri bakal ngadain konser gede-gedean. Sila cek situs Wonogiri Festival biar tau lineup-nya kek mana.
Ngiler? Kotamu ada nggak? Nggak? Modaro.
Tolok ukur yang nggak pas
Kadang ya, kesalahan orang melihat satu kabupaten/kota itu cuman dari satu daerah doang. Sialnya, daerah tersebut kerap dianggap jadi representasi. Kalau misalnya kalian pernah ke Praci, terus menganggap Wonogiri sepi, itu ya keliru. Ini sama aja memvonis DI Yogyakarta sepi soalnya situ tolok ukurnya Semanu. Kota Gaplek luas, Cok, pastinya ya ada daerah yang rame, ada yang sepinya minta ampun. Apalagi ngeliatnya Praci doang, ya keliru, Lek. Ra sisan Paranggupito ngidul?
Saya tuh heran sama obsesi orang untuk menurunkan derajat kabupaten. Kayak, harus banget kabupaten itu dicitrakan “terbelakang”. Ya sepi, ya nggak ada mal, ya nggak ada tempat nongkrong hits, motornya masih pake knalpot blombongan, ada PCX pake ban kecil.
Padahal ya, nggak punya mal gede itu ya bukan suatu tanda keterbelakangan lho. Misal nggak ada Starbucks/McD/KFC terus dianggap kota terbelakang, ya aneh. Sejak kapan kopi dan ayam goreng jadi tolok ukur kemajuan? We got Paryanti and Mbak Ning, we don’t need KFC. All hail Paryanti dan Mbak Ning!
Bahkan sering banget orang udah berani ngevonis suatu daerah terbelakang hanya berdasar imajinasi. Contohnya ya, Wonogiri sepi ini tadi. Edan po.
Ya bener sih sepi, nek bandingne Jogja. Kalau Kota Gaplek punya infrastruktur dan selengkap Jogja, ya nggak bakalan sepi. Orang sekarang aja udah rame kok. Tapi kan emang nggak didesain—atau belum—sebagai kota wisata. Saya yakinnya sih, melihat pembangungan Kota Gaplek yang lumayan masif, nggak kaget kalau suatu saat nanti Wonogiri jadi jujugan. Seenggaknya, jalanan di Wonogiri itu jauh lebih bagus ketimbang Klaten, kota yang jelas lebih rame karena jadi jalur utama orang ke Jogja.
Saya sarankan sih, klean-klean coba berkunjung ke Alun-alun, yang selalu rame. Terus, coba ke kafe-kafenya yang kerap penuh. Atau sila liat jalan-jalan yang selalu rame. Meski nggak macet, tetap aja rame. Kalau patokanmu kota rame itu ada macetnya, ya remuk logikamu.
Kota mana pun, kalau lebaran ya rame
Kalau Lebaran terlihat kayak kota yang berbeda atau jadi 3000 persen lebih rame, jawabnya ya emang banyak orang merantau dan balik. Ya kayak kota-kota lain, saya pikir kota-kota besar pun kebanjiran pemudik. Perlu kalian ketahui, kultur orang Wonogiri itu salah satunya ya merantau. Tapi bukan berarti kabeh merantau, yang bertahan pun banyak. Banyak banget malah.
“Tapi kalau malem, Wonogiri sepi tuh. Jam 11 malem dah nggak ada kehidupan. Sepi kan?!”
Ha yo lumrahe menungso, kalau jam 11 malem ya di rumah, istirahat. Bukannya kelayapan, ora ceniningan.
Kurang-kurangin lah memberi vonis berdasar imajinasi, berdasar jarene, berdasar peganganmu kalau kabupaten itu terbelakang dan sebagainya. Selain itu wagu, artinya kalian nggak paham kalau selama ini daerah-daerah memperbaiki dirinya agar makin pantas untuk warganya. Belum maksimal, iya, tapi jangan lantas dianggap terbelakang gitu dong.
Lagian, ada apa sih dengan obsesi kalian menjilat pantat kota besar? Nggak dapet apa-apa juga lho.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Wonogiri dan Gunungkidul, Saudara Kembar Beda Nasib