Lumajang dan Malang Timur sama-sama punya potensi wisata. Tapi sayang yang satu semangat berbenah, satunya pasrah~
Setiap kali saya melintasi Jembatan Kali Glidik, ada satu rasa yang nggak bisa saya sembunyikan, yakni iri. Iya, iri. Tapi bukan iri yang penuh dengki, melainkan iri yang timbul karena geliat ekonomi di seberang sungai yang makin hari makin hidup, terutama dari sektor pariwisata.
Dulu, jembatan ini cuma tempat lewat. Sekarang, rasanya seperti saksi bisu perkembangan pesat kabupaten sebelah. Saya bisa melihat sendiri gimana Kabupaten Lumajang berbenah. Vila menjamur, warung kopi estetik bermunculan di tiap tikungan, rumah makan makin ramai, dan yang paling bikin haru: profesi warga yang dulunya tukang ngamper pasir, sekarang berubah jadi tour guide profesional.
Lumajang berbenah, Malang Timur pasrah
Dulu, warga Lumajang banyak yang bangun pagi menunggu truk pasir bongkar-muat, sekarang mereka menunggu tamu buat diajak tur. Kalau dulu ke mana-mana bawa sekop, sekarang bawaannya tripod. Yang dulu berkutat di tepi sungai, sekarang sudah ahli ambil gambar ala-ala Gen Z biar bisa FYP.
Warga Lumajang belajar, berkembang, dan luwes beradaptasi. Bahkan mereka mulai fasih menyapa turis asing. “This way to the waterfall, Mister,” kata salah satu guide sambil senyum ramah. Dalam hati saya mikir, “Cok, wong Lumajang wes pinter Bahasa Inggris ngene.”
Sementara itu Malang Timur gimana? Jalanannya penuh tambalan, potensi wisatanya masih tidur panjang. Padahal modal alamnya nggak kalah sama kabupaten sebelah. Ada air terjun, bukit, pantai, sampai jalur yang bisa dikembangkan jadi destinasi ekowisata. Tapi ya gitu, semua masih seperti skripsi bab tiga: niatnya ada, eksekusinya belum.
Saya sempat ngobrol sama beberapa guide di Tumpak Sewu. Mereka bilang, penghasilan dari jadi pemandu bisa dua sampai tiga kali lipat dibanding ngamper pasir. Kerjanya lebih aman, lebih dihargai, dan lebih membanggakan.
Pemerintah Kabupaten Lumajang mendukung penuh potensi wisata di wilayah mereka. Akses dibuka, branding dikuatkan. Jalan lahar yang dulunya cuma dilewati truk, sekarang disulap jadi lava tour ala Merapi. Lah terus, Malang Timur kapan bisa berbenah?
Sampai berebut tempat wisata
Pariwisata itu bukan cuma soal pemandangan, tapi soal pengelolaan dan pemberdayaan. Lumajang paham betul soal ini. Mereka nggak cuma membangun jalan dan fasilitas, tapi juga membangun manusianya.
Padahal Lumajang dan Malang Timur ini dulu serumpun. Sama-sama pinggiran. Tetapi sekarang rasanya kayak ditinggal lari padahal garis start-nya sama.
Yang bikin makin nelangsa, bahkan urusan nama air terjun saja Lumajang dan Malang Timur sempat rebutan. Banyak orang belum tahu bahwa Tumpak Sewu dan Coban Sewu itu sebenarnya air terjun yang sama, cuma beda pintu masuk. Kalau lewat Lumajang, disebut Tumpak Sewu. Kalau lewat Malang, disebut Coban Sewu.
Perebutan ini sempat jadi isu panas, terutama waktu Pemkab Lumajang mendapat penghargaan atas pengelolaan Tumpak Sewu. Sementara itu Pemkab Malang juga merasa memiliki hak karena lokasi air terjun juga masuk wilayahnya.
Wisatawan yang masuk dari Lumajang bayar tiket resmi, tapi begitu turun lewat jalur Malang, kadang ditarik biaya lagi. Akhirnya timbul wacana pakai gelang sebagai tanda biar nggak ada penarikan dobel. Tapi itu pun belum sepenuhnya jalan.
Lumajang jelas menang telak
Ya sudah. Toh, Lumajang sekarang jelas menang telak. Akses rapi, branding jalan, SDM diberdayakan. Sementara kami di timur Malang? Masih menunggu giliran.
Mungkin karena Kabupaten Malang ini terlalu luas, jadi kami yang paling timur harus sabar nunggu prioritas. Sabar menunggu dilirik. Sabar menunggu program pembangunan. Walaupun sabar saya ini kadang harus ditambal-tambal dengan logika, supaya nggak meledak jadi kecewa.
Tetapi saya masih punya harapan. Saya percaya Dasa Cita dan jargon-jargon pembangunan itu suatu hari bakal sampai juga ke sini. Dan nanti, Jembatan Kali Glidik bukan cuma jadi saksi kesenjangan Lumajang dan Malang Timur, tapi juga jadi tempat orang bersyukur karena dua sisi sungainya sama-sama hidup.
Saya akan menunggu hari itu. Dengan sabar. Sambil tetap mencintai Malang Timur, meski rasanya kadang seperti mencintai dari kejauhan.
Penulis: Vranola Ekanis Putri
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jeglongan Sewu: Daya Tarik Malang yang Nggak Masuk Brosur Wisata.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















