Wirda Mansur Perlu Belajar Metode SMART biar Wishlist-nya Nggak Halu

Wirda Mansur Perlu Belajar Metode SMART biar Wishlist-nya Nggak Halu

Wirda Mansur Perlu Belajar Metode SMART biar Wishlist-nya Nggak Halu (Pixabay.com)

Polemik soal Wirda Mansur yang nggak uwis-uwis selama dua bulan terakhir bikin saya—mungkin juga sebagian warganet lainnya—mumet. Gimana nggak. Cerita tentang blio yang kuliah di empat kampus ternama sekaligus masih berseliweran dan bising, ealah, belum lama ini sudah muncul lagi ke permukaan soal afirmasi atau wishlist yang, alih-alih optimis, malah lebih ke ngadi-ngadi.

Sebetulnya, nggak ada yang salah dari daftar harapan tentang cita-cita, mimpi, atau afirmasi seseorang. FYI, sebagai gambaran, teori afirmasi sendiri mengamini segala keinginan yang positif. Mempertegas harapan agar di waktu mendatang menjadi kenyataan—bagaimana pun caranya. Tapi, kalau wishlist yang dibuat serampangan, malah terkesan asal-asalan, nggak terukur, dan niat nggak niat. Apalagi sampai ketahuan sama netizen. Nggak bosan apa dibilang halu melulu?

Sekadar mengingatkan, followers Instagram sampeyan yang mencapai 2,7 juta itu, belum tentu fans sampeyan semua, lho. Beberapa di antaranya, mungkin ada yang mangkel dan sengaja follow, biar gampang kalau mau ngetik “Dasar, caper” di kolom komentar setiap postingan. Nggak semuanya juga polos. Jadi, apa nggak dipikir ulang terlebih dahulu gitu sebelum blak-blakan bilang ini dan itu atau posting suatu konten?

Mulai dari bahasan tentang skor IELTS yang mencapai 8,5, mengaku kurang mahir checkout di e-commerce tapi menciptakan token koin kripto, belum lagi soal tutorial menggunakan skincare yang membikin khalayak tepok jidat. Rasanya nggak berlebihan amat jika pada akhirnya sebagian orang berpikir bahwa, blio ini lagi caper, butuh pengakuan dan/atau panggung, engagement, dan lagi pengin banjir notifikasi di media sosialnya.

Walaupun sudah terbiasa, lama-lama netizen begah juga lihat nama Mba Wirda trending di Twitter karena persoalan yang polanya gitu-gitu aja: beropini, tapi, kok rasa-rasanya nggak masuk akal, ya. Termasuk saat membuat wishlist atau afirmasi. Akhirnya, malah berujung gaduh di beragam media sosial, lho, Mba Wir.

Iya, paham. Di dunia ini memang nggak ada yang nggak mungkin. Tapi, mau bagaimanapun, realistis akan tetap menjadi penyeimbang sekaligus bahan bakat terbaik dalam mencapai beberapa tujuan.

Selain itu, soal afirmasi atau mencapai suatu tujuan, ada metode yang namanya SMART (yang diperkenalkan oleh George T. Doran, Direktur Perencanaan di perusahaan Washington Power Water, pada tahun 1981), Mba Wirda Mansur. Barangkali, ini bisa sampeyan aplikasikan untuk wishlist di waktu mendatang. Lebih penting lagi, biar bisa mewujudkan afirmasi dan tujuan yang lebih jelas, terarah, dan realistis. Nih, saya kasih tahu. Gini-gini, saya paham. Soalnya saya takut dibilang halu.

Sederhananya, SMART itu akronim dari: Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Timed/Time-Bound.

Perencanaan (Pixabay.com)

Saya nggak perlu mengartikan kata per kata tersebut lah, ya. Lantaran, Mba Wir kan punya skor IELTS 8,5. Saya minder kalau jelasin arti dari kata Bahasa Inggris itu ke Mba Wir. Wong Anda itu lebih Inggris ketimbang Inggris itu sendiri. Lanjut.

Melalui catatan Mba Wir, saya mengapresiasi tulisan dan daftar yang dibuat secara spesifik. Dari judulnya saja sudah jelas, “My Life 10 Years (From Now)”. Ada harapan penghasilan yang pengin dicapai dalam sehari, punya sekolah di lima benua, punya 1000 perusahaan besar, dan seribu-seribu lainnya. Pada poin ini, jika hanya dilihat dari sisi spesifik, tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Poin kedua akan menjadi penting dari beberapa angka yang dibuat. Measurable, berarti targetnya terukur. Dari pencapaian, tenggat waktu, dan fokus terhadap apa yang dilakukan. Jika ditelaah, banyak angka yang membikin kita sama-sama berpikir, “Ini gimana dapetinnya?” Soal pendapatan 100 M sehari, omzet perusahaan tembus 100 T, dan punya 1000 buku sendiri, itu beneran bisa dikejar atau hanya akan menjadi angan?

Iya-iya saya tahu itu mah hampir nggak mungkin dikejar dan keliatan halu. Tapi, pura-puranya kita anggap itu possible aja, nyenengin blio.

Selanjutnya, setelah tujuan yang telah direncanakan terukur, Achievable akan menjadi poin yang memberi kesadaran akan perlunya realistis. Sebab, sampeyan harus membuat rundown atau strategi, bagaimana cara mencapai target. Kemudian, apakah (cara dari mencapai) target tersebut realistis? Ingat, lho. Realistis dan strategi menjadi hal yang penting dalam mewujudkan wishlist.

Tepat sasaran (Pixabay.com)

Kemudian, teori relevant akan membikin sampeyan semakin sadar bahwa, apakah target yang dibuat berbenturan dengan kepentingan orang lain. Terpenting, cara mencapai target yang sudah dibuat, betul-betul bisa diterapkan atau malah mengendap sebatas teori tanpa aksi?

Pada akhirnya, penulisan waktu sepuluh tahun mendatang akan menjadi sia-sia jika keempat poin sebelumnya diabaikan. Sebagai proses evaluasi, Timed/Time-Bound akan menjadi pengingat yang baik. Apa yang bisa dilakukan per-hari untuk mencapai target tersebut? Per bulan? Per semester? Per tahun?

Dalam wishlist yang dibuat oleh Mba Wirda Mansur, apa nggak sebaiknya dicantumkan juga timeline-nya seperti apa? Biar kami semua yang awam ini menjadi semakin paham, realistis itu penting. Biar tetap bisa menjaga kewarasan dalam membuat wishlist yang serampangan. Utamanya, sih, biar nggak melulu jadi target cibiran.

Itulah beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum bikin wishlist ya, Mbak Wirda Mansur. Yaaa bermimpi itu memang gratis, dan setinggi mungkin. Tapi, mbok ya o menapak tanah alias sing rodo mashok sithik, Buos.

Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Gaduh Yusuf Mansur: Paytren Nggak Semanis Paylater, yang Manis Itu Jualan Agama

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version