Warteg: Romantisme dalam Sepiring Nasi dan Keakraban dengan Mbak Penjualnya

Makan di Warteg Harusnya Menduduki Puncak Klasemen Rekomendasi Kuliner terminal mojok.co

Makan di Warteg Harusnya Menduduki Puncak Klasemen Rekomendasi Kuliner terminal mojok.co

Sebelum berbicara panjang lebar mengenai warteg, saya mau berterima kasih terlebih dahulu kepada siapa pun yang menciptakan dan menyebarkan warteg pertama kali ke seluruh daerah jawa. Karena berkat dia, sebagai mahasiswa rantau dengan kantong pas-pasan, saya tetap bisa memenuhi gizi 4 sehat 5 sempurna untuk tubuh saya. Ya meskipun kadang dengan nggak tahu diri saya melupakannya tiap awal bulan pas dapat transferan, Warteg akan saya kenang sebagai tempat paling berjasa, juga jadi tempat yang sering saya datangi setelah kampus.

Saking seringnya saya mengandalkan warteg, kadang ketika saya pulang saya malah kangen sama masakan warteg langganan saya. Orek tempe dan telur balado di sana enak banget! Menurut saya sih paling enak se-semarang. Kalian harus coba deh, namanya warteg “Bu Dewi”. Sebuah warteg yang terlihat seperti warteg pada umumnya, dengan bangunan yang sama, kursi dan meja yang sama, juga penjual yang berbahasa ngapak yang sama. Tapi yang bikin dia beda, bukan hanya makanannya aja yang jauh lebih enak, tapi juga ada sisi romantis di tempat yang sederhana itu.

Saya datang ke sana biasanya saat kegiatan kuliah selesai. Sambil menunggu jam kuliah berikutnya. Saat saya baru sampai di pintu, mbak-mbak warteg pasti langsung menyambut saya dengan sapaan yang menurut saya nggak kayak pelanggan dan pelayan, “Habis kuliah apa mase, apa sengaja kie pengin ketemu nyong,”, “Mangan apa kie mase, kaya biasa ya?” tanya mbak-mbak itu.

Ketika dia udah bilang, “kaya biasa” itu artinya, dia adalah orang yang sudah tau makanan kesukaan saya selain ibu saya di rumah. Di sini, saya udah nggak perlu lagi nunjuk-nunjuk ke kaca warteg untuk memilih makanan. Ia sudah hafal betul apa yang saya suka. Saya hanya tinggal duduk lalu makan. Ini jenis romantisme lain di mana kamu merasa menjalin hubungan yang sangat dekat antara pelanggan dan pelayan.

Nggak hanya sampai di sini saja. Ketika makanan diantar ke meja tempat saya duduk, percakapan singkat yang ngena itu terjadi,

“Yang kemarin dibawa ke sini ke mana mase, kok sekarang udah jarang keliatan?”

Yap, betul. Saya pernah membawa seorang perempuan ke sini. Selain karena ia juga kebetulan satu kampus, mengenalkan orang-orang yang dekat dengan saya adalah salah satu yang sering saya lakukan.

Sayangnya, saya dengan perempuan itu sudah nggak bersama lagi. Sekarang hanya saya saja yang masih bersama mbak-mbak warteg untuk merasakan telor baladonya.

Sebenarnya sudah lama sekali sejak perempuan itu pergi, tapi mbak-mbak warteg selalu saja menggoda dengan menanyakan keberadaannya. Saat pertanyaan itu terucap, pikiran saya mulai mengecap kembali sisa-sisa kenangan yang pernah kami jalani bersama.

Kami biasa duduk di kursi paling kanan bagian tengah, karena di posisi itu, ada kipas angin dibagian atasnya. Ya, cukup enak buat sedikit ngipasin tubuh kepanasan yang kena matahari Semarang. Saat kami mengobrol, mbak-mbak warteg kadang iseng dengan sengaja memutar lagu-lagu romantis lewat speaker, tapi saat selesai satu lagu, ia langsung menggantinya dengan lagu dangdut. Ealah mbak-mbak hahaha.

Ah, sudahlah, saya malah jadi cerita yang lain.

Persaudaran di tempat ini juga kuat. Orang-orang yang menjadikan warteg ini sebagai langganan, umumnya jadi saling mengenal. Mbak-mbak warteg pun kadang menanyakan kabar dari para kakak tingkat yang sudah lulus duluan kepada kami yang masih betah di kampus.

Kadang-kadang kebalikannya, kami yang diberi tau info-info tentang para alumni warteg ini.

“Eh si Adi bulan depan nikah sama Irma, itu loh yang Mapala rambutnya gondrong. Gila yah, orang kayak gitu bisa menikah juga hahaha.” Irma adalah gebetan terakhir Adi sebelum lulus kuliah yang sempat dikenalkan di sini. Sayang sekali, saya tak bisa mengikuti jejaknya.

Lamunan saya lalu buyar, saat mbak-mbak warteg sudah di depan meja, mengantarkan makanan yang “kayak biasanya”. Melihat saya melamun, tiba-tiba dia nyeletuk, “Hayoloh ngelamunin apa mase, sing wis yo wis to mas. Ndang cepet lulus ndisik bae”

Sialan, sejak kapan tempat ini juga buka layanan membaca pikiran?

BACA JUGA Cerita dari Halte Tentang Ibu dan Rokok atau tulisan Chelsea Venda lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version