Warak Ngendog, Mainan “Aneh” di Pasar Malam Semarang yang Ternyata Punya Filosofi Mendalam

Warak Ngendog, Mainan “Aneh” di Pasar Malam Semarang yang Ternyata Punya Filosofi Mendalam Mojok.co

Warak Ngendog, Mainan “Aneh” di Pasar Malam Semarang yang Ternyata Punya Filosofi Mendalam (kesbangpol.semarangkota.go.id)

Semarang memang kota yang unik. Di satu sisi, kota ini sering bikin saya sambat karena panasnya minta ampun. Di sisi lain, Semarang punya banyak kesenian dan tradisi yang sarat dengan nilai-nilai luhur. Ini yang membuat hidup di Kota Atlas jadi selalu “adem” walau sehari-hari matahari menyengat dengan terik. 

Salah satu tradisi ikonik Semarang adalah perayaan Dugderan yang biasanya digelar seminggu menjelang bulan Ramadan. Di momen inilah berbagai perayaan diadakan, mulai dari pasar malam hingga kirab budaya. Nama Dugderan diambil dari bunyi bedug “dug-dug” dan letusan meriam “der”. Konon, dahulu,  bunyi letusan meriam menjadi penanda dimulainya bulan suci. 

Perayaan Dugderan mungkin terdengar sebagai tradisi suatu kelompok agama tertentu saja. Namun, jangan salah, sejak dahulu warlok Semarang semangat memeringatinya. Lambat laun, tradisi ini jadi semacam pengingat warga agar selalu hidup berdampingan dengan rukun dan penuh toleransi. 

Warak Ngendog, hewan “aneh” yang tidak pernah absen di perayaan Dugderan

Ada satu maskot yang tidak pernah absen saat perayaan Dugderan yakni Warak Ngendog. Maskot ini biasanya diarak di sekitar Kota Semarang ketika perayaan Dugderan. Selain jadi maskot yang diarak, hewan imajiner satu ini juga dijual dalam bentuk mainan oleh pedagang yang ada di pasar malam. 

Masih terbayang jelas dalam ingatan saya, para pedagang menggelar mainan ini di emperan pasar malam. Saat itu, mainan Warak Ngendog ini begitu begitu populer. Bentuk warak Ngendog yang aneh benar-benar terpatri dalam memori saya saat masih bocah. 

Warak Ngendog adalah hewan imajiner yang wujudnya mengingatkan saya pada makhluk mitologi naga. Bedanya, Warak Ngendog ini punya empat kaki serta leher yang panjang. Keganjilan tak berhenti di situ. Penjual sering menaruh sebutir telur ayam matang di sela kaki-kaki Warak Ngendog yang dijual bersamaan mainan tersebut. Makanya disematkan kata “ngendhog” yang artinya bertelur. 

Saya versi bocah cuma bisa bengong tiap kali melihat mainan Warak Ngendog. Menganggapnya binatang aneh tanpa makna, yang entah lahir dari mana. Saya sempat mengira mainan ini sengaja dibuat aneh demi menarik bocah-bocah agar membelinya. Kenyataannya, hewan imajiner ini punya makna mendalam. 

Mainan aneh yang sarat cerita

Siapa sangka hewan berbentuk aneh dalam ingatan saya itu kini jadi ikon Semarang yang begitu keren. Namun, di balik kemenarikannya, Warak Ngendog Semarang nyatanya menyimpan cerita panjang.

Salah satunya, Warak Ngendog awalnya cuma mainan anak-anak yang terbuat dari dari gabus tanaman mangrove. Bukan tanpa alasan, mangrove digunakan karena warga Semarang sebagai penduduk pesisir yang hidupnya dekat dengan laut dan hutan bakau. Katanya juga, Warak Ngendhog yang asli itu punya bentuk sudut yang lurus. Bentuk lurus ini dipercaya menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, bicara apa adanya, dan tidak ada perbedaan antara hati dan lisan.

Selain itu, telur yang diselipkan ternyata untuk mengenang masa krisis pangan di Semarang saat Dugderan pertama kali diadakan. Bahkan, saat itu, sebutir telur pun jadi makanan yang sangat berharga.  Itu mengapa, mainan tradisional ini bukan cuma buat lucu-lucuan. Sebaliknya, Warak Ngendog merupakan simbol dan saksi bisu kehidupan warga Semarang.

Simbol Semarang yang harmoni

Satu hal yang paling bikin saya kagum dari Warak Ngendog adalah bagaimana mainan ini berevolusi dari sekadar pengingat krisis menjadi simbol harmonisasi yang luar biasa antara tiga etnis besar yang mendiami tanah Semarang: Tionghoa, Arab, dan Jawa. Kepalanya menyerupai naga sebagai simbol etnis Tionghoa. Tubuhnya menggambarkan buraq sebagai simbol keturunan Arab. Dan, terakhir, kaki yang mirip kambing sebagai simbol suku Jawa.

Faktanya pula, karakter nyentrik ini juga punya makna filosofis terkait bulan Ramadan. Kata “warak” diambil dari bahasa Arab, “waro’a,” yang artinya menjaga diri dari hawa nafsu. Kemudian, “ngendhog” atau bertelur, melambangkan pahala dari perbuatan baik, termasuk puasa. Jadi, mainan yang saya kira nyeleneh ini ternyata menuturkan pelajaran hidup yang diwariskan leluhur Semarang.

Tumbuh besar di Semarang bersama keberadaan Warak Ngendog ini benar-benar mengubah pandangan saya. Mainan yang dulu saya anggap menakutkan dan cuma pajangan musiman, rupanya merupakan kitab sejarah berjalan Kota Semarang. Ia bukan hanya maskot, tapi pengingat akan kerasnya masa lalu sekaligus simbol harmonisasi yang luar biasa di kota yang saya cintai ini.

Penulis: Paula Gianita
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA 5 Jajanan Kaki Lima ala Warlok Semarang yang Bikin Betah Tinggal di SanaTerminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version