Anak kota zaman sekarang sepertinya jarang yang bertemu binatang seperti jangkrik atau tokek, ya?
Kemarin pagi, saya bekerja dari kosan seperti hari-hari biasanya semenjak PPKM berseri diterapkan. Saya seduh teh dan membeli sedikit jajanan pasar untuk menjinakkan perut yang suka rewel pagi-pagi. Balkon kosan menjadi tempat pilihan saya untuk menemani bekerja
Saat sedang asyik mengetik, tiba-tiba seekor serangga samber lilin terbang di atas laptop saya. Saya yang mulanya khidmat bekerja, tiba-tiba merasa terganggu. Pandangan saya beralih dari layar monitor ke serangga berwarna hijau metalik itu. Saya mengangguminya sebentar. Tapi juga bingung, dari mana ia datang di tengah kota yang disesaki oleh berjubel kos-kosan, mal, dan stand franchise ini?
Ketika si ijo melintas, pikiran saya langsung terlontar mundur ke masa kanak-kanak. Ingatan saya menguap. Ternyata waktu bocil saya punya pengalaman zalim kerap mengeksploitasi binatang.
Berburu samber lilin
Dulu, sepulang sekolah, biasanya saya dan kawan seperingusan langsung gasss ke pohon waru—itu, lho, pohon yang daunnya berbentuk lope—yang menjadi habitat samber lilin.
Kami berlomba memburu samber lilin sebanyak-banyaknya. Kami membawa dua buah senjata berupa galah dan stoples astor. Saat si ijo berhasil kami tackle, kami langsung menerkam dan mengamankannya ke dalam stoples.
Serangga yang terkumpul di tangan mungil kami saat itu kemudian kami jual. Saya lupa berapa harganya, tapi lumayan buat modifikasi Tamiya dan jajan Chiki.
Kami menjual samber lilin ke pedagang aksesori. Serangga yang tak bersalah itu biasanya diawetkan untuk dijadikan gantungan kunci, kalung, dan hiasan lain karena punya warna yang eksotik. Begitulah hukum alam, yang goodlooking memang selalu lebih laku.
Menangkap tokek
Selain serangga samber lilin, tangan besi saya juga saya gerakkan untuk memburu tokek. Reptil nocturnal yang satu ini lagi-lagi saya tangkap untuk urusan cuan. Berbekal senter dan tongkat jaring, kami mengendap-endap di tembok rumah tetangga setiap tengah malam. Kalau beruntung, sering kali kami mendapat bonus suara ranjang berdecit dan orang kepedasan. Huh, hah, huh, hah, huh, hah.
Ada misi tersendiri saat kami berburu tokek. Jika berhasil menangkap tokek berbobot 5 kg, kami bisa mendapat uang satu juta. Namun, sampai binatang itu beranjak dewasa dan malah jadi buaya, kami tak kunjung madhang geden. Yhaaa… Mungkin si tokek jumbo tersebut insekyur dengan tubuhnya dan belum berani mengampanyekan body positivity.
Kami menjual tokek kepada pedagang jamu atau obat-obatan hewani khusus segala olahan hewan reptil. Pedagang itu biasanya mangkal di pasar kecamatan yang hanya buka setiap (pasaran Jawa) Wage. Tentu saja kami harus menunggu hari itu tiba dan otomatis kami harus mengeluarkan biaya perawatan. Cari nyamuk dan serangga di sawah. Njirrr, malah repot
Harga tokek cukup membuat kantong kami menjadi tebal seperti menggembol buah salak. Binatang itu dibanderol dengan harga tinggi karena berdasarkan penelitian Lembaga Jarene, tokek punya khasiat bagus untuk kesehatan. Bisa jadi obat penyakit kulit hingga penyakit dalam macam asma. Plisss… Stop sampai di sini! Jangan direply ke grup WhatsApp keluarga.
Menjual jangkrik
Tak hanya itu, saya dan kawan sepermicinan juga pernah jualan jangkrik. Rencana awal, kami ingin beternak jangkrik. Tapi, setelah saya gangbang-kan mereka, kok nggak manak manak. Saya pikir, jangkrik-jangkrik ini sudah menerapkan etos hidup seperti orang Jepang. Nggak peduli berkembang biak, yang penting ngerik…ngerik…krik…krik…krik.
Ada dua jenis jangkrik menurut pustaka kami, yaitu jliteng dan jrabang. Jliteng ialah jangkrik yang tubuhnya berwarna hitam, sedangkan jrabang berwarna merah gelap. Lebih bagus mana? Tergantung selera.
Jangkrik jliteng mengeluarkan suara yang lebih nyaring ketimbang jrabang. Nada suara ngeriknya memiliki tempo atau berjeda (Krik… Krik… Krik… Krik). Sementara nada suara jrabang lebih rapat atau tanpa jeda (Krik krik krik krik krik… Krik krik krik krik).
Dalam dunia per-jangkrik-an, hanya pejantan yang bisa ngerik. Cara membedakannya cukup mudah. Apabila sayapnya memiliki relief atau garis ukiran, itu berarti si laki. Sementara jangkrik perempuan berbadan lebih tambun dan tidak ada relief di sayapnya.
Ada beberapa target market dalam bisnis jangkrik. Serangga ini dibeli untuk dijadikan pakan burung, ayam aduan, ikan. Ada juga yang membeli jangkrik untuk dijadikan pengusir tikus baik di rumah atau di sawah.
Mentransmigrasikan laba-laba
Binatang terakhir yang saya eksploitasi adalah laba-laba. Dulu, saya pernah mengajak teman-teman untuk budi daya laba-laba di pagar rumah. Binatang berkaki enam ini saya pindahkan dari kebun dan pawon ke barisan pagar besi.
Kami sudah seperti kolonial Belanda yang mengangkut masyarakat Jawa ke Sumatera, Kalimantan, hingga Suriname untuk kerja rodi. Atau, kami seperti pemerintahan Orde Baru yang mentransmigrasikan penduduk Jawa karena tanahnya akan digunakan untuk pembangunan waduk.
Tetapi, kami tidak menelantarkan mereka begitu saja seperti negara berkembang di tenggara sana yang membiarkan rakyat pontang-panting menghadapi pandemi. Secara rutin mereka kami kasih makan serangga.
Selain itu, kami juga rajin menghitung jumlah hingga selalu memantau perkembangan telur-telur mereka. Awalnya hanya ada puluhan laba-laba, lama-lama berkembang biak menjadi ratusan.
Itulah pengalaman saya semasa kanak-kanak ketika berbuat zalim dengan mengekspolitasi binatang. Kalau dipikir-pikir lagi, kasihan juga, ya, binatang-binatang tersebut saya manfaatkan demi mendapatkan cuan. Tapi, saya rasa beberapa dari kita pasti pernah melakukannya. Sekarang, mau berburu binatang seperti yang saya sebutkan agaknya sulit sekali, apalagi di tengah kota. Semoga binatang-binatang itu bisa tetap hidup berdampingan dengan modernisasi yang tengah berjalan…
BACA JUGA Mengenang Kebun Binatang dan tulisan Alfiandana lainnya.