Jalan Magelang ini sebenarnya wahana uji nyali yang kebetulan diaspal.
Saya ini pengendara dengan mental tempe alias jirih. Tak bisa satset kaya idamanmu yang pake Aerox itu, nggak bisa polah setil di jalanan. Ditambah fakta saya cah Mbantul asli, makin-makinlah saya nggak familiar dengan jalan besar yang ramai gitu. Bukan berarti orang Bantul gitu semua ya, ini keknya saya doang.
Maka, tiap saya mau ke Temanggung, rasanya kok pusing saya. Ya gimana, mau nggak mau, saya harus melewati Jalan Magelang, jalan yang jelas bukan preferensi saya: ramai dan isinya orang ngebut koyo diuyak utang.
Jika mau ke Temanggung dari Bantul, tentu saja harus melewati jalan protokol penghubung kota tersebut. Walaupun aku hanya membonceng dan menyerahkan seluruh kendali motor pada kawan saya, tetap saja Jalan Magelang ini menakutkan buat saya.
Sebagai pengendara yang memiliki SIM C dengan cara yang bisa disebut curang, aku merasakan betapa menakutkannya jalan protokol ini. Berbeda dengan Ringroad Jogja yang mana jalur roda empat dan roda dua dipisah, di sini semua jenis kendaraan bermotor dijadikan satu. Dan menurutku sangat awut-awutan serta terkesan menjadi sebuah sarana atau arena uji nyali.
Terlebih di jam-jam ramai, wah, nggilani tenan jalan ini.
Tiba-tiba jadi pembalap di Jalan Magelang
Oleh karena jirih, saya menyerahkan kendali Beat putih mungil kepada kawan saya. Masalahnya adalah, entah kenapa, teman saya ikut kerasukan demit Jalan Magelang, dan jadi pembalap dadakan. Jalan yang ramai saja sudah bikin saya takut, lha ini tambah polah kawan saya yang merasa dirinya jadi Casey Stoner KW super.
Tanpa dikomando, saya menegur kawan saya agar pelan-pelan. Tapi, dia berkata kalau lewat jalan modelan Jalan Magelang gini, yang bener ya ikutan ngebut. Ikut arus, rasah sok indie. Sebagai pembonceng, saya ya bisanya pasrah. Meski ya saya tahu, pasrah itu ya hanya pada Tuhan, nggak ke yang lain.
“Wis to, tenang saja. Begini cara berkendara orang yang SIM-nya nggak nembak.”
Bajingan.
Baca halaman selanjutnya