Vladimir Putin Jadi Presiden Rusia hingga 2036, Bukan Hal Mengejutkan

Jurusan Sastra Rusia dan Bagaimana Pakdhe Saya Mengaitkannya pada Komunis terminal mojok.co

Jurusan Sastra Rusia dan Bagaimana Pakdhe Saya Mengaitkannya pada Komunis terminal mojok.co

Awal Juli kemarin rakyat Rusia melakukan referendum untuk menentukan apakah konstitusi Rusia akan direformasi. Hasilnya, 76,9 persen rakyat Rusia mendukung reformasi yang singkatnya bisa diartikan, mereka merestui Vladimir Putin menjadi presiden Rusia hingga 2036.

Wacana untuk melakukan mereformasi konstitusi Rusia sudah mencuat sejak Januari 2020. Referendum awalnya hendak digelar pada April, namun tertunda kebijakan karantina wilayah akibat pandemi Covid-19. Tercatat, ada 200 pasal yang akan diubah dari Konstitusi Rusia 1993. Salah satu hal yang cukup menyita perhatian dari pasal-pasal yang akan diamandemen adalah aturan masa jabatan presiden.

Pihak oposisi Rusia mencoba menjelaskan secara sederhana bahwa reformasi konstitusi hanya akan menguntungkan Vladimir Putin karena masa jabatan presiden “Akan terhitung kembali ke nol”. Putin sendiri pertama kali menjabat presiden pada 2000-2008 (dua periode, di masa itu satu periode berdurasi empat tahun). Ia kembali menjadi presiden pada 2012 dan akan berlangsung sampai 2024 (dua periode, pada masa ini periode menjabat presiden sudah diubah menjadi enam tahun).

Dengan adanya reformasi konstitusi ini, ketika jabatan Putin habis di 2024, masa jabatan sebelumnya akan dihitung ulang mulai dari nol. Meskipun saat ini ia belum mengatakan akan maju lagi, dengan perubahan ini ia bisa maju di pemilu presiden Rusia 2024 dan jika terpilih, berpotensi menjabat hingga 2036.

Muncul berbagai tudingan bahwa referendum dipenuhi kecurangan hingga gosip jutaan surat suara dipalsukan. Terlepas dari kontroversi itu, menurut saya bukanlah hal mengejutkan apabila Vladimir Putin kelak menjadi presiden seumur hidup di Rusia.

Generasi milenial yang hidup di dalam maupun luar Rusia praktis hanya mengenal sosoknya sebagai pemimpin Rusia. Nama-nama seperti Boris Yeltsin ataupun Dmitry Medvedev terasa asing di telinga. Dengan kata lain, Putin telah menjadi sosok tidak tergantikan.

“Tanpa Putin, tidak ada Rusia,” begitulah ucapan salah seorang deputi di Kremlin. Pandangan serupa juga masih tertanam dalam benak sebagian besar masyarakat Rusia sehingga tidak mengejutkan apabila selama dua dekade terakhir, Putin selalu berada pada tampuk kekuasaan, baik sebagai presiden ataupun sebagai perdana Menteri. Tidak mengejutkan pula apabila mayoritas masyarakat Rusia meloloskan reformasi konstitusi yang sama saja dengan melanggengkan jalan Putin untuk berkuasa seumur hidup.

Ketika Uni Soviet resmi runtuh pada 1991, Republik Rusia mengalami krisis ekonomi. Boris Yeltsin sebagai presiden pertama republik berjanji akan memulihkan kondisi ekonomi Rusia melalui serangkaian kebijakan yang ia ambil, salah satunya adalah dengan mengganti sistem centralized economy menjadi free market economy.

Pada 1999, Yeltsin menunjuk Vladimir Putin sebagai perdana menterinya. Namun, hingga Yeltsin mengundurkan diri pada 31 Desember 1999 setelah menerima banyak tekanan, ia tak kunjung mampu mengeluarkan Rusia dari belenggu krisis.

Putin kemudian diangkat menggantikan Yeltsin sebagai pemimpin sementara. Pada Maret 2000, ia berhasil memenangkan pemilu. Setelah secara resmi dilantik, Putin mengubah kekuatan politik di Rusia menjadi terpusat. Ia juga mengeluarkan serangkaian kebijakan yang menguatkan posisinya sebagai presiden, antara lain dengan mengambil alih kendali media massa dan mengubah undang-undang pemilihan gubernur yang mana kepala daerah tidak lagi dipilih oleh rakyat, melainkan ditunjuk presiden. Kelompok oposisi mengklaim, secara perlahan Putin ingin menghapus demokrasi dari Rusia.

Sementara itu, pada bidang ekonomi, Putin melakukan reformasi terhadap kebijakan pasar bebas pada era Yeltsin. Putin juga mengeluarkan kebijakan negara mengontrol perusahaan minyak. Hal ini karena minyak merupakan penyokong utama pertumbuhan ekonomi Rusia.

Tidak berhenti sampai di situ, negara juga melirik perusahaan manufaktur dan titanium untuk dinasionalisasi. Hasilnya, pada 2006 jumlah pengangguran turun dari 8,6 juta menjadi 5 juta. Cadangan devisa melonjak dari 12 miliar dolar AS (1999) menjadi 447,9 miliar dolar AS (2007). Utang luar negeri Rusia ikut menurun menjadi 47,8 miliar dollar AS pada 2007. Jumlah ini adalah sepertiga utang luar negeri Rusia pada 1999.

Dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya, Putin kerap kali dijuluki sebagai tsar modern karena ia aktif mengekspansi negara-negara eks-Uni Soviet. Inilah yang menjadi dasar pecahnya konflik di Georgia pada 2008 dan aneksasi Krimea pada 2014.

Keberhasilan Putin mengeluarkan Rusia dari belenggu krisis ekonomi membuatnya menjadi sosok yang dicintai rakyat, tapi di sisi lain kebijakan politiknya otoriter, termasuk caranya terus-menerus mengangkangi jabatan presiden.

Bagi pengamat di Rusia, hal ini berpengaruh pada pola pikir masyarakat Rusia yang setiap kali diadakan jajak pendapat, mayoritas mengatakan mereka terlalu sibuk bekerja sehingga mereka tidak memiliki cukup waktu untuk menilai kandidat presiden yang baru sehingga memilih calon presiden yang sudah mereka kenal. Akibatnya, bukanlah sesuatu hal yang mengejutkan apabila Putin akan tetap menjadi presiden Rusia hingga 2036.

Namun, dunia internasional menanggapi hasil referendum ini bukan sebagai kabar baik. Amerika Serikat dan Uni Eropa bereaksi negatif. Juru bicara Uni Eropa bahkan mengatakan bahwa ada indikasi kecurangan dalam proses referendum tersebut. Senada dengan Uni Eropa, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengatakan kalau pihaknya telah menerima serangkaian laporan yang mengatakan terdapat kecurangan dalam proses referendum, salah satunya berupa pemaksaan pemilih untuk mengikuti pemilihan.

Reaksi Uni Eropa dan juga Amerika adalah bisa diprediksi mengingat hubungan negara-negara ini belum pulih sesudah aneksasi Krimea pada 2014 silam. Meskipun Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi kepada Rusia, nyatanya Rusia mampu membangkitkan kembali ekonominya setelah terdampak sanksi tersebut.

Perhatian dunia internasional saat ini mungkin lebih banyak disita friksi Amerika-China, namun jangan pernah abaikan Rusia di bawah komando Putin. Putin telah menunjukkan ia mampu mengembalikan kejayaan Rusia sebagai salah satu kekuatan dunia dan jika memang Putin akan berkuasa hingga 2036, dapat dipastikan kebijakan politik luar negerinya akan difokuskan untuk meningkatkan pengaruh Rusia di perpolitikan internasional.

Sumber gambar: Wikimedia Commons

BACA JUGA Kasihan Sama Rusia Dituduh Propaganda, Tapi Kok Lebih Kasihan Sama Jokowi Ya dan tulisan Frisca Alexandra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version