“Wah Mbah Rossi iki pancen wis wayahe leren.” Begitu komentar salah satu warga yang ikut nobar MotoGp Andalusia di pos ronda kemarin malam. Komentar tersebut terlontar seiring dengan kendornya Valentino Rossi—pembalap jagoannya—di dua lap terakhir sehingga posisinya direbut oleh rekan setimnya sendiri, Maverick Vinales.
The Doctor akhirnya emang kembali bisa naik podium—setelah berhasil finish di urutan ketiga, di bawah dua junionrya, Maverick Vinales di urutan kedua dan posisi puncak yang diamankan Fabio Quartararo yang finish nyaris tanpa perlawanan berarti dari pembalap lain.
Bagi beberapa orang—khususnya para penggemar Valentino Rossi—pencapaian tersebut tentunya sangat patut dirayakan dan disombong-sombongkan, dong. Setalah 15 bulan, loh, nggak pernah ngerasain ongkang-ongkang di atas podium. Kali terakhir Rossi naik podium adalah di GP Amerika Serikat, 15 April 2019 silam. Kalau Anda fansnya Rossi, nggak apa-apa, nggak usah malu buat nunjukin euforia kebanggaan atas pencapaian sang idola. Nggak bakal ada yang nyama-nyamain Anda sama fans Liverpool juga, kok.
Tapi berbeda dengan para penggemar Valentino Rossi yang saya temui kali ini. Mereka justru ngerasa kasihan sama pembalap bernomor 46 itu. Menurut mereka, Rossi ini masih berkubang dalam liang romantisme kejayaan masa lalu. Atau bahasa kerennya, post power syndrome; kondisi di mana seseorang nggak mau berhenti dari profesinya hanya karena dia ngerasa dia masih jauh lebih baik.
Dan itulah yang secara nggak langsung coba diungkapin sama bapak-bapak fansnya Valentino Rossi yang saya temui ini. Bagi mereka, Rossi itu nggak bisa move on dari masa-masa ketika dirinya selalu jadi perhitungan tiap turun di arena balap. Dan yang paling menyedihkan, menurut mereka, Rossi ini masih belum bisa nerima kalau dirinya sudah tua.
“Rossi itu ibarat bintang redup di antara ribuan bintang yang lebih terang,” begitu komentar salah satu dari mereka. “Sekuat apa pun dia ngusahain buat bersinar, tapi yang kelihatan ya bintang-bintang lain itu.”
Yah, dan kenyataannya memang—diakui atau nggak—makin ke sini Rossi makin tenggelam dengan munculnya bintang-bintang baru di kancah MotoGp. Rossi masih kalah mentereng dengan nama-nama seperti Marc Marquez, Francesco Bagnaia, atau bahkan rekan setimnya, Fabio Quartararo dan Maverick Vinales yang selalu tampil memukau.
“Emang udah saatnya Rossi harus pensiun,” sambung warga yang lain. “Dia harus sadar kalau masanya sudah habis. Hla wong temen-temen seangkatannya saja udah pada sadar dan berhenti kok, dia masih aja ngotot balapan.”
Saya yakin nggak cuma bapak-bapak yang nobar di pos ronda saja yang menyarankan agar Rossi gantung helm. Di luar sana pasti juga banyak yang berpikir demikian. Bahkan Charlos Checa—veteran MotoGp—dilansir Liputan 6 pernah secara terang-terangan meminta agar Rossi turun dari panggung balap MotoGp.
“Hari ini bukan masanya Rossi lagi. Hari ini adalah zamannya Marquez dan kawan-kawan.” Kalau boleh saya sederhanakan sekaligus simpulkan, kurang lebih seperti itulah komentar Checa.
Lalu kenapa Rossi masih tak kunjung pensiun? Kenapa dia masih sebegitu gigih jatuh-bangun? Apakah dia takut, setelah pensiun nanti, dia bakal terlupakan? Ah betapa overthinking dan anxiety-nya jagoan kita ini kalau seandainya demikian alasannya.
Sembilan gelar juara yang pernah dia raih, sudah sangat sahih buat mentahbiskan sosoknya sebagai seorang legenda. Wis tho, nggak bakal ada yang lupa. Hla wong di desa saya aja nih, ya, sebutan MotoGp nggak begitu akrab di telinga orang-orang. Yang ada adalah istilah balapan Rossi saking ikonik dan membekasnya Valentino Rossi di ingatan para penggandrung dunia balap motor.
Ngelihat sosok Valentino Rossi, saya malah jadi inget sama sosok pembalap lain, Lightning McQueen, legenda balap Piston Cup yang lika-liku perjalanan karirnya sama persis kayak Rossi. Atau jangan-jangan Valentino Rossi emang meniru gaya McQueen?
Kalau kalian inget, dalam Cars 1 dan Cars 2, McQueen adalah sosok yang nggak tertandingi. Podium pertama selalu jadi miliknya, sama seperti Rossi sekian tahun yang lalu.
Ketika memasuki Cars 3, McQueen mulai mendapat tekanan dari banyak pihak. Dirinya diminta segara pensiun karena dianggap udah nggak sebergairah dulu lagi, seiring munculnya pembalap-pembalap muda nan visioner.
Sebut saja sang penguasa panggung; Jackson Storm. Ditambah dengan kanyataan, kawan-kawan seangkatannya satu per satu akhirnya memutuskan buat gantung setir dari arena Piston Cup. “Piston Cup hari ini bukan milik kita lagi. Tapi milik mereka yang muda-muda,” ucap para veteran seangkatannya.
Bahkan ada yang menyebut kalau McQueen adalah pembalap tua yang sok idealis dan keras kepala. Dia masih ingin menunjukkan kepada dunia kalau dirinya masih belum habis, sementara tiap terjun ke arena balap, dia udah nggak bisa berbuat banyak. Justru karena terlalu memaksakan diri, dia malah mengalami kecelakaan hebat. Sifat yang bisa kita lihat juga dalam diri Valentino Rossi.
Yang menarik dari McQueen adalah, menjelang balapan terakhirnya dia berkata, “Yang memutuskan saya pensiun atau nggak adalah saya sendiri.” Rupa-rupanya ungkapan tersebut ditujukan untuk mengkritik pihak-pihak yang memintanya pensiun.
Baginya, dalam dunia balap selama ini, nggak dikenal istilah pensiun, yang ada adalah dipensiunkan. Contoh korbannya adalah Doc Hudson, legenda Piston Cup sebelumnya yang dipensiunkan lantaran dianggap kehilangan taji setelah kecelakaan berat.
McQueen ingin dirinya, dan pembalap-pembalap lain menentukan kapan dan dengan cara apa dia akan pensiun. Sehingga balapan bukan hanya soal juara nggak juara, naik podium atau nggak, ngangkat piala atau nggak. Karena “Itu hanya piala kosong,” kalau kata Doc Hudson. Yang terpenting adalah komitmen sampai akhir.
Valentino Rossi akan pensiun, dan itu adalah keniscayaan yang nggak bisa dihindari. Tapi sayangnya, itu nggak bakal terjadi dalam waktu dekat ini. Kalau pakai rumusnya McQueen, yang tahu kapan dan atas dasar apa Rossi pensiun adalah dirinya sendiri. Bukan Checa, bukan pula bapak-bapak pos ronda. Juga usia yang menua atau 15 bulan jatuh-bangun tanpa sekali pun naik podium bukan alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa Rossi sudah habis.
BACA JUGA Lagu Dangdut: Satu Lagu Sejuta Penyanyi dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.