Usaha Toko Sembako di Desa Bikin Boncos. Jam Buka Menyesuaikan Teriakan Tetangga, Saldo ATM Nggak Bertambah pula

Usaha Toko Sembako di Desa Bikin Boncos. Jam Buka Menyesuaikan Teriakan Tetangga, Saldo ATM Nggak Bertambah pula

Usaha Toko Sembako di Desa Bikin Boncos. Jam Buka Menyesuaikan Teriakan Tetangga, Saldo ATM Nggak Bertambah pula (unsplash.com)

Kalau kamu kira jualan sembako adalah bisnis yang gampang, maka kamu belum merasakan buka usaha toko sembako di kampung sendiri alias desa. Apalagi kalau nggak ada persiapan mental, siap-siap sering ngelus dada ketimbang ngitung laba.

Saya bukan juragan sembako, tapi saya tumbuh di sebelah toko sembako. Setiap hari, saya menyaksikan yang dialami Mbak Nyala, kakak saya sendiri yang katanya jualan tapi malah sering jadi tombak sekaligus tombok.

Ini bukan kisah sukses ala Bob Sadino, Chairul Tanjung, atau pengusaha lainnya. Ini realita absurd berjualan sembako di tengah permukiman padat penduduk, yang ternyata lebih surreal dari cita-cita Airlangga Hartarto menjadikan Kabupaten Batang sebagai Shenzhen-nya Indonesia. Yang satu mimpi industrialisasi global, satunya masih ngitung utang beras dan ciki. Jangan ngeyel dulu. Biar saya cerita.

Jam buka dan tutup toko sembako di desa menyesuaikan teriakan tetangga

Awalnya, toko sembako Mbak Nyala punya jam operasional dari jam 6 pagi sampai 11 malam saja. Tapi hukum rimba desa nggak bisa dilawan, seng. Jam operasional tersebut memutuskan pamit undur diri, tidak ditentukan oleh pemiliknya sendiri melainkan oleh teriakan tetangga dan ketukan rolling door yang sah-sah saja, bahkan ba’da subuh sekalipun.

Ada yang nyari Bodrex, ada yang minta garam daun. Bahkan, pernah suatu petang ada ibu-ibu ngetuk sambil bilang, “Mbak, punya sagu mutiara nggak? Si Adek mau prakarya.”

Kalau kamu pikir bisa cuek, kamu belum paham makna sebenarnya “tetangga adalah rezeki”. Iyaaa, nggak cuma tamu. Karena kalau toko sembako milikmu tutup, bisa jadi kamu dipelototin atau dicuekin sepanjang minggu. Kalau kamu buka, yaaa bisa jadi jam istirahat berkurang, kamu capek physically, apalagi mentally.

Toko sembako di desa adalah ATM bersama

Kalau dianalogikan, toko sembako di desa itu ibarat ATM bersama. Bebas tarik tunai, saldo nggak pernah nambah dan nggak bisa protes kalau ada yang narik. Jadi mikir kan, ini jualan atau pengabdian?

Bukan hal yang baru lagi kalau tetangga ngambil beras, minyak goreng, gula, kemudian bilang, “Bayar besok ya, Mbak”. Atau, “Mbak Nyala, ini bayar yang kemarin, hari ini dicatet dulu, ya”. Lama-lama buku catatannya lebih tebal dari skripsi sarjana. Untungnya nggak harus diuji dosen. Tapi tetep kena revisi sih, karena pelunasan dan tambahan utang.

Dari luar, usaha toko sembako tampak ramai dan menguntungkan. Mungkin ini yang bikin orang melihatnya cukup menggiurkan dan tertarik. Tapi kenyataannya, keuntungan satu renceng ciki cuma satu pieces tok. Itu pun belum dipotong jajan anak sendiri yang doyan ngambil dagangan kayak pasar gratis. Sat set bat bet nggak mikirin itu laba minggu lalu.

Masa mau disuruh beli di warung tetangga? Wong ibunya aja ngambil beras tiap pagi buat masak dari stok toko sendiri.

“Yang penting kan uang hasil dagangan aman.” Eits, kata siapa? Demi berputarnya roda ATM, pembagiannya pun perlu hati-hati dan jeli. Uang jatah sales bisa rebutan dengan uang bensin dan saku anak. Kalau nggak cukup, penghasilan sumber lain yang jadi sasaran.

Kuncinya adalah sabar dan keteguhan hati

Pernah suatu malam, saya iseng bertanya ke Mbak Nyala, “Mbak, pernah nggak ngitung untung dari toko sembako?”. Katanya, “Pernah, hasilnya pusing kepala”. Mau pakai ilmu ekonomi tingkat penjual yang simple sekalipun, semuanya justru bikin pening.

Sejak itu dia pasrah. Nggak lagi ngoyo mikirin selisih stok barang, uang, apalagi laba. Ada uang, nambah stok. Kalau kurang, cukup beli yang paling banyak dicari. Sederhana saja: nggak terlalu banyak ngutang sales atau ngutangin pembeli. Katanya, yang penting warung jalan, dapur ngebul, anak bisa jajan dan bayar sekolah. Udah.

Soal tetangga yang suka bikin catatan, Mbak Nyala anggap itu sebagai bentuk kontribusi sosial selagi masih bisa dikata cukup. Biar tetap bisa ngebul dapurnya. Soal rezeki, mengutip kata ustaz, semuanya sudah ditakar jadi nggak akan tertukar. Karena kalau bukan warung kecilnya yang bantu, siapa lagi? MBG kan buat yang sekolah aja. Eh.

Nggak perlu berharap kaya raya, cukup jangan gila aja

Saya nggak yakin usaha toko sembako ini bakal bikin Mbak Nyala tajir melintir atau kaya minimal seperti Bob Sadino. Tapi satu hal yang saya tahu, Mbak Nyala lebih sering ngelus dada dibanding ngelus uang. Anehnya, di tengah keruwetan itu tokonya tetap buka, tetap ramai, dan jadi ATM bersama yang tabah. Entah setabah hujan bulan Juni atau tidak, saya nggak terlalu kenal Eyang Sapardi.

Jadi gimana? Kalau setelah baca artikel ini kamu masih mikir usaha toko sembako di desa adalah bisnis mudah, cobalah ke kampung. Buka toko, hadapi tetangga dengan segala bentuknya. Kelak kamu ngerti, ini tidak cuma masalah untung rugi, tapi juga perihal ikhlas dan mental yang selevel superhero. Menyala Mbakkuuu!

Penulis: Elif Hudayana
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kecurangan Warung Sembako yang Bikin Pembeli Rugi tapi Nggak Mereka Sadari.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version