Urban Farming: Budaya Kuno yang Kini Dibutuhkan Masyarakat Pedesaan

Urban Farming Budaya Kuno yang Kini Dibutuhkan Masyarakat Pedesaan Terminal mojok

Jargon “Kates kok tuku!” sangat lekat dengan orang yang tinggal di desa. Tapi itu dulu, sekarang hampir semua orang jika ingin kates atau gandul alias pepaya, harus membelinya ke tukang sayur atau lapak buah. Perubahan besar terus terjadi, pelan namun pasti.

Di tengah maraknya urban farming, masyarakat kita sebenarnya sudah punya budaya semacam itu sejak dahulu. Berkebun dan beternak adalah hal lumrah yang dulu dilakukan orang desa. Jauh sebelum orang-orang kota melakukan urban farming, dan jauh sebelum tukang sayur keliling mendominasi, masyarakat kita terbiasa menanam sendiri bahan makanannya.

Beberapa hasil pertanian bahkan bisa menjadi haram jika dibeli oleh orang desa. Sebutlah kimpul atau talas, singkong, daun singkong, daun pepaya, daun pisang, bayam, dan masih banyak lagi. Dulu, jika ada tetangga yang membeli pepaya dan daun singkong, ia jadi bahan gunjingan. Orang zaman sekarang mungkin bingung, hal remeh-temeh kayak gitu saja kok bisa jadi bahan gunjingan.

Tinggal di desa, Anda tak perlu membeli itu semua. Seharusnya, orang desa punya pohon pepaya atau singkong di belakang rumah. Jika pepaya dan daun singkong masih terlalu muda, tinggal minta tetangga. Di situlah letak rukun tetangga yang sebenarnya, bukan sekadar sarasehan sebulan sekali. Tapi sekali lagi, itu dulu.

Kini, depan, samping, dan belakang rumah orang desa sudah penuh dengan bangunan baru. Pagar tinggi dan rumah model orang kompleks sudah mendominasi. Pohon buah semacam jambu dan rambutan sudah jarang ditemui. Padahal, dahulu kedua pohon itu selalu ada dan banyak jumlahnya. Jika dulu tanah dibiarkan terbentang, kini semua tertutup semen. Tumbuhan yang biasa ditancapkan langsung ke tanah, kini harus tinggal dalam pot. Di desa saya saja pepaya harus beli, bambu harus beli, daun pisang juga harus beli. Padahal zaman saya kecil, tinggal ambil di belakang rumah.

Belum lagi soal memelihara ayam dan ikan, terutama ikan lele. Pada masa lampau, jika mau makan ayam ya harus memelihara dulu. Begitu juga telur dan ikan, ya harus beternak dulu. Saat saya kecil, sekitar tahun 2000-an awal, yang namanya ayam ada di mana-mana. Sekarang, hanya sedikit orang yang masih rajin memelihara ayam. Zaman sekarang, rumah-rumah sudah berkeramik dan bagus, tentu tak ingin tercemar kotoran ayam. Padahal, memelihara ayam tak sekadar untuk persediaan makanan, bisa juga untuk tabungan dan pelepas penat.

Kolam lele di belakang rumah juga sudah tak ada lagi. Mungkin orang sekarang sudah terlalu sibuk dan lelah bekerja. Jika dahulu kebanyakan orang bekerja sebagai petani, kini kebanyakan merantau dan kerja kantoran. Waktu di rumah sudah tak banyak, kalau masih harus ditambah mengurus ini dan itu mungkin lelah juga. Belum lagi lahan rumah yang makin sempit, keadaan sekarang memang tak memungkinkan untuk berkebun dan beternak seperti dahulu. Yang nampak kini tanaman hias yang terpajang dalam pot di depan beranda. Bukan tak baik, menanam apa pun itu baik. Namun, yang saya soroti adalah perubahan perilaku berkebunnya. Begitu juga beternak, kini tak ada ayam apalagi bebek, kebanyakan memelihara burung kicau. Burung kicau tak perlu lahan yang luas, meski lebih rempong perawatannya dibanding ayam. Begitu juga lele, kini orang lebih pilih cupang yang ringkas dan indah dipandang mata.

Di tengah perubahan yang serba cepat dan instan, berkebun dan beternak kini dianggap kurang relevan lagi. Padahal, sayang saja, budaya tingkat tinggi dan mulia ini harus hilang di kehidupan desa. Memang berkebun dan beternak semacam itu tak bisa memenuhi semua kebutuhan pangan harian. Namun, sebagai pelengkap bumbu dan gizi, tentu sangat bisa. Belum lagi manfaat dari baiknya berkebun, badan makin sehat dan bisa berbagi dengan tetangga.

Ironisnya banyak masyarakat kota berusaha untuk berkebun dan beternak, sementara orang yang tinggal di desa mulai meninggalkan berkebun dan beternak. Urban farming yang katanya budaya kekinian, rupanya tak ubahnya seperti tengah meng-cover tembang kuno di YouTube.

Urban farming pada dasarnya budaya kuno, jadul, ada sejak lama, dan kini benar-benar dibutuhkan oleh orang desa. Orang desa yang pada mulanya menginspirasi budaya urban farming, ternyata kini sudah meninggalkan budaya semacam itu, bahkan justru berubah drastis dan semakin menyerupai kehidupan urban. Kates kok tuku!

BACA JUGA Urban Farming Itu Tidak Hanya Siram Lalu Nunggu Panen seperti di Shopee dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version