Beberapa hari lalu Twitter saya diramaikan oleh berita tentang mantan vokalis band Noah, Mohammad Kautsar Hikmat, atau lebih akrab di sapa Uki yang merasa terganggu dengan musik. Dalam perbincangannya dengan ustaz Syafik Riza Basalamah, akhi Uki berkata jika blio merasa kesal saat mendengar musik di pesawat dan mal, bahkan butuh waktu sampai satu minggu untuk mengobati kekesalannya. Wow, sungguh tebal imannya. Hmmm.
Melihat saudara muslim memutuskan hijrah kemudian memiliki iman yang sedang tinggi-tingginya, saya nggak kepingin nyinyir. Siapalah saya ini, kok berani-beraninya nyinyirin beliau? Lha, wong saya ini setiap hari memutar Spotify. Sebagai mbak-mbak yang mengenakan hijab masih disampirkan di bahu, saya nggak berani menasihati akhi Uki yang imannya sudah tinggi.
Namun, izinkanlah saya mengutip kata dari Habib Jafar bahwa musik yang haram adalah suara sendok dan garpumu ketika makan, sedangkan tetanggamu kelaparan. Ada satu lagi, sih, yang membuat musik haram yaitu menyanyi keras-keras meskipun sadar suara Anda sumbang karena pada dasarnya menganggu orang lain itu haram. Hehehe.
Sebagai sesama muslim yang tinggal di negeri tercinta bernama Indonesia yang juga pernah berada pada masa awal hijrah dengan dorongan luar biasa untuk menghindari segala hal yang haram, saya ingin berdoa agar akhi Uki eks Noah ini istikamah dan juga berinisiatif untuk memberikan solusi agar beliau terbebas dari suara musik yang mengganggu.
#1 Pindah ke Madinah dan Makkah
Rasanya mustahil menghindari musik jika akhi Uki masih tinggal di Indonesia. Karena di negara kita ini, segala macam kegiatan mulai dari hajatan pernikahan sampai pesta ulang tahun mengandalkan musik sebagai salah satu hiburan yang wajib ain ada. Bahkan, nih, acara pengajian di masjid sekalipun masih ada kok musiknya, musik kasidah.
Di Jawa, musik gamelan digunakan untuk menyiarkan agama Islam oleh Raden Makdum Ibrahim atau yang lebih kita kenal dengan sebutan Sunan Bonang. Alunan tembang gamelan yang dimainkan beliau membuat banyak warga berbondong-bondong datang ke padepokannya dan membuat banyak orang masuk Islam tanpa paksaan. Jika para leluhur terdahulu memperkenalkan Islam dengan banyaknya larangan haram, bisa jadi agama Islam nggak tumbuh pesat seperti sekarang.
Saya nggak menjustifikasi akhi Uki keliru, sebab iman seseorang bertingkat-tingkat. Mungkin iman saya belum setinggi akhi Uki. Namun, sebagai saudara seiman saya kasihan melihat blio yang harus menderita karena kehilangan ayat dan menahan kekesalan selama satu minggu hanya karena tanpa sengaja mendengar musik di tempat-tempat umum seperti mal dan pesawat. Untuk itu, saya menyarankan blio agar tinggal di Makkah dan Madinah saja.
Di kota suci Makkah dan Madinah, kita akan mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an hampir setiap saat. Kita juga bisa makan di restoran dengan tenang karena sama sekali nggak ada alunan musik di sana selain tilawah Al-Qur’an. Semua orang di kota suci Makkah dan Madinah sibuk beribadah, kota seperti ini akan membuat akhi Uki tenang. Ingat, di Makkah dan Madinah, ya. Bukan di Arab Saudi bagian lainnya.
Seperti yang kita tahu, Riyadh yang merupakan ibu kota Arab Saudi sekalipun masih mengijinkan musik diputar di beberapa tempat. Baru-baru ini mereka malah mengadakan festival musik jazz dan konser BTS. K-Popers ternyata mampu menembus pasar ukhti-ukhti di Arab Saudi.
#2 Membawa headset
Jika akhi Uki nggak bisa pindah ke Makkah dan Madinah karena sebagai kota suci tentu saja nggak sembarang orang bisa tinggal di sana, tenang, masih ada solusi lain kok agar terhindar dari musik, yaitu menutupi telinga dengan headset.
Di era modern seperti sekarang ini, memang susah terhindar dari kemaksiatan duniawi ya, kan? Belanja di swalayan saja kita disuguhi musik, sementara nggak mungkin jika akhi Uki dan keluarga nggak membeli keperluan sehari-hari, kecuali memang menanam sendiri kebutuhan pokok di kebun dan sawah.
Membawa headset ke mana pun pergi adalah win-win solution agar bisa tetap tinggal di negeri ini. Soalnya Indonesia ini bukan negara Islam, tapi negara demokrasi yang nggak hanya mengakui Islam sebagai agama. Ada juga agama lain seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Ya meskipun Islam adalah mayoritas, menjadi mayoritas nggak bisa membuat kita lantas mematikan musik yang diputar di tempat umum, kan?
Sama dengan ketika bulan Ramadan datang. Hanya karena kita puasa bukan berarti kita harus memaksa restoran atau warung untuk tutup. Justru dengan adanya godaan makanan, puasa kita mendapatkan lebih banyak pahala, bukankah begitu? Jadi, akhi Uki harusnya bersyukur, dong, dengan banyaknya musik di ruang publik, bermodalkan nggak marah dan nggak ikut-ikutan nyanyi saja dapat pahala, lho. Begitu ndak, sih, konsepnya? Hehehe.
#3 Selalu menggunakan kendaraan pribadi saat bepergian
Saat akhi Uki mencontohkan pesawat sebagai salah satu tempat yang mengumandangkan musik, saya sedikit berpikir keras. Soalnya, sependek ingatan saya, di dalam pesawat nggak ada pemutaran musik, lho. Memang di beberapa pesawat yang menyediakan fasilitas entertainment ada layar yang akan memanjakan kita dengan film dan musik, tapi itu, kan, jika kita sendiri yang memilih untuk mendengarkan melalui headset, bukan otomatis diperdengarkan di seluruh kabin pesawat.
Akan tetapi, mungkin saja pesawat yang kita naiki berbeda, sih. Saya, kan, hanya bisa naik pesawat ekonomi, barangkali musik hanya diputar di kelas bisnis atau VIP. Jika akhi Uki merasa terganggu dengan musik di dalam kendaraan umum yang notabene digunakan juga oleh orang lain, ya sebaiknya sampeyan bepergian menggunakan kendaran pribadi saja. Kebetulan juga pemerintah sedang giat-giatnya melakukan pembangunan jalan tol.
Sekadar informasi, nih. Saat ini jalan tol dari Surabaya yang berada di sisi timur pulau Jawa sudah terhubung dengan Jakarta yang berada di barat Jawa melalui tol. Cukup membayar delapan ratus ribu untuk satu mobil bisa tancap gas dari Surabaya menuju Jakarta. Saya rasa mengendarai mobil pribadi juga bisa digunakan akhi Uki untuk mempertajam ilmu agama dengan memutar ceramah atau mendengarkan tilawah. Mantap sekali itu.
Terakhir, izinkan saya mengatakan terima kasih kepada akhi Uki karena lagu sampeyan dahulu bersama Noah sempat membuat masa muda saya di kampus menjadi berwarna dan membuat banyak teman saya tersenyum gembira saat menyanyikannya. Jadi, tolong jangan langsung menganggap apa yang sampeyan lakukan dahulu dengan musik menyesatkan banyak orang, ya? Ada juga yang setelah mendengar “Sajadah Panjang”-nya akhi Uki dan teman-teman Noah dulu langsung pergi ke masjid, kok. hehehe
BACA JUGA Susahnya Menjelaskan Musik Metal ke Orang Tua dan artikel Tiara Uci lainnya.