Turning Red: Dari Menstruasi sampai Gaya Parenting dalam Metafora Panda

Turning Red Dari Menstruasi sampai Gaya Parenting dalam Metafora Panda Terminal Mojok

Turning Red Dari Menstruasi sampai Gaya Parenting dalam Metafora Panda (Instagram Disney Plus Hotstar Indonesia)

Turning Red jadi salah satu film animasi yang dinantikan para penggemar Disney Pixar!

Pada suatu pagi yang cerah, Meilin “Mei” Lee bangun dan mendapati tubuhnya berubah menjadi monster panda merah raksasa. Mei terkejut dan takut. Meilin “Mei” Lee adalah gadis remaja 13 tahun yang berprestasi, energik, dan ceria. Sebagai remaja 13 tahun, Mei merasa hidupnya asyik-asyik saja. Aturan keluarga yang cenderung kaku dan selalu harus dihormati keputusannya, tidak dirasakan oleh Mei. Katanya, dia bisa bebas dalam mengekspresikan dirinya sendiri.

Sayangnya, itu cuma perasaannya Mei. Dia hanya berusaha denial karena sudah terbiasa untuk selalu nurut. Kenyataannya, Mei tumbuh dalam keluarga yang apa-apa diatur.

Mei kesulitan untuk bisa menunjukkan perasaannya sendiri karena takut akan melukai perasaan ibunya, meski terkadang apa yang terjadi justru membuat perasaannya sendiri menjadi tidak baik-baik saja. Terkadang, tingkah ibunya yang over protektif membuat Mei malu dan risih.

Tuntutan untuk selalu sempurna dari ibunya pun pada akhirnya membuat Mei menjadi punya dua karakter yang berbeda. Saat sedang bersama keluarga, Mei seperti sedang memakai topeng. Dia selalu nurut dan menunjukkan kalau semuanya baik-baik saja. Hanya saat bersama ketiga sahabatnya (Miriam, Priya, dan Abby), Mei bisa menjadi sosok yang lepas.

Kisah tentang Mei dan kehidupan remajanya inilah yang diangkat dalam film Turning Red, dengan menghadirkan monster panda merah raksasa sebagai metafora yang mewakili banyak hal dalam hidup Mei dan menarik untuk disimak.

#1 Metafora menstruasi

Bagi anak perempuan, mulai menstruasi adalah salah satu bagian dari transisi menuju masa remaja. Saat mengalaminya, tubuh terasa lebih mudah lelah, emosi jadi tidak stabil dan susah dikontrol, payudara yang mulai membesar pun terasa sakit. Bulu-bulu di tubuh mulai tumbuh dan badan kita mulai mengeluarkan bau yang tidak ramah di hidung.

Dari pengalaman pribadi, pertama kali menstruasi saya merasa kaget, bingung, dan takut. Itu karena sebelumnya saya tidak pernah tahu bagaimana itu menstruasi. Saya tidak tahu bagaimana cara memasang pembalut, berapa kali dalam sehari saya harus ganti pembalut, hingga bagaimana caranya rasa sakit perut aneh yang saya rasakan bisa diredakan.

Bagi banyak keluarga di Indonesia—atau bahkan di Asia—menstruasi adalah hal yang tabu untuk dibicarakan.

Turning Red hadir untuk mendobrak pemikiran tersebut. Momen ketika ibu Mei membawa berbagai macam “amunisi” untuk Mei yang dianggap sedang menstruasi adalah satu alarm bagi para orang tua untuk melihat bagaimana menstruasi adalah satu tema penting untuk dibahas.

Berbagai macam “amunisi” untuk menstruasi (Unsplash.com)

Ketika ibu Mei datang membawa pembalut ke sekolah, hal tersebut lagi-lagi terasa menyentil. Bahwa menstruasi itu bagian dari edukasi tubuh yang patut untuk dibicarakan di ruang kelas. Yang perlu tahu bukan cuma perempuan, laki-laki juga.

Selain itu, saat melihat ibu Mei datang ke sekolah membawa pembalut, saya jadi teringat bagaimana pembalut sebagai bagian dari menstruasi juga sama dianggap memalukannya dengan menstruasi itu sendiri.

Melihat reaksi teman-teman Mei termasuk Mei sendiri, rasanya relate sekali. Dalam kehidupan sehari-hari, beli pembalut rasanya sudah seperti beli narkoba, harus sembunyi-sembunyi.

#2 Ekspresi remaja yang ingin dimengerti

Mei punya tiga sahabat yang jadi tempat ternyaman untuknya berbagi banyak hal. Bersama sahabat-sahabatnya, Mei begitu lepas mengekspresikan dirinya sendiri. Layaknya remaja, mereka membahas banyak hal, termasuk ketertarikan pada lawan jenis.

Sayangnya, ibu Mei menganggap para sahabat Mei bukan remaja yang baik. Mereka dianggap membawa pengaruh buruk bagi Mei. Kecintaan Mei pada boyband 4-TWON pun mendapat tentangan keras dari ibunya.

Semua permintaan ibunya dituruti oleh Mei. Mei berusaha menjauh dari sahabatnya, menerima keputusan ibunya yang melarang untuk datang ke konser 4-TWON meski sebenarnya dia sangat ingin, sampai akhirnya si monster panda merah raksasa hadir sebagai bentuk rasa muak Mei akan semua pengekangan ibunya.

Ilustrasi remaja (Unsplash.com)

Mei mulai berani mengungkapkan perasaannya. Mei berusaha menunjukkan bahwa dia hanya ingin menjadi remaja yang bebas mengekspresikan diri, tetapi tetap tidak lupa keluarga. Dia hanya ingin diterima sebagai remaja yang bisa punya waktu bersama sahabat-sahabatnya. Mei hanya ingin dimengerti sebagai remaja biasa yang tidak selalu bisa memenuhi ekspektasi keluarga.

Stigma bahwa fangirl dari boyband yang selalu alay, norak, tidak irasional, kekanak-kanakan, dan bar-bar pun ikut disentil dalam film ini. Kecintaan Mei dan sahabat-sahabatnya pada 4-TWON bisa dimaknai remaja yang mulai punya ketertarikan pada lawan jenis yang harusnya bisa menjadi perantara bagaimana ketertarikan itu dijadikan bahan edukasi bagi remaja.

#3 Gaya parenting turun-temurun

Sejak tadi, yang dibahas adalah ibunya Mei yang selalu menuntut banyak hal dalam hidupnya Mei. Padahal ibu Mei juga adalah korban atas didikan ibunya (neneknya Mei).

Ibu Mei dididik untuk selalu nurut apa kata keluarga. Dialog antara Mei dan ibunya saat mereka sama-sama berubah jadi monster panda merah raksasa, mengungkap sisi gelap ibunya Mei sebagai korban didikan neneknya Mei. Sama seperti Mei, ibu Mei juga dituntut untuk selalu memenuhi ekspektasi keluarga.

Sosok monster panda merah raksasa yang hadir sebagai warisan leluhur, menjadi metafora atas gaya parenting yang juga jadi “warisan” keluarga. Dalam kehidupan nyata, hal-hal seperti ini pun banyak terjadi. Para orang tua mendidik anaknya sebagaimana mereka dididik dulu. Secara tidak sadar, luka yang terbawa dari masa lalu, ikut diwariskan kepada anak.

Dituntut untuk memenuhi ekspektasi keluarga (Unsplash.com)

#4 Mencintai diri sendiri

Sebenarnya monster panda merah raksasa dalam diri Mei bisa dikeluarkan setelah melalui satu ritual. Mei pun sudah sempat mengikuti ritual tersebut. Akan tetapi, berbagai macam kenangan menyenangkan yang Mei melewati bersama si panda merah raksasa, membuat Mei memutuskan untuk berdamai dengan sisi “monster” dalam dirinya. Lantaran bersama “si monster”, ada sisi nyaman Mei di sana. Mei adalah remaja yang ingin lepas, tetapi tetap ingat aturan.

Sosok Mei yang akhirnya bisa menerima bersuara dan siap mencintai dirinya sendiri secara utuh, tidak lepas dari peran sang ayah. Manis sekali melihatnya.

Itulah empat metafora yang saya tangkap dalam kehadiran monster panda merah raksasa dalam Turning Red. Sebagai film bertema remaja, film ini sangat menarik untuk ditonton dengan tampilan visual yang keren dan penuh warna ceria. Tokoh dengan aneka macam tampilan visual dan karakter pun jadi satu hal yang memanjakan mata. Bikin betah nonton sampai selesai.

Penulis: Utamy Ningsih
Editor: Intan Ekapratiwi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version