Beberapa hari yang lalu, dari Surabaya, saya pulang ke Madura untuk menghadiri pernikahan seorang teman. Saya berangkat dari rumah menuju Sampang kota. Ada peristiwa di pertigaan Blega yang membuat saya jengkel sebagai pengendara motor. Bukan sebab di Blega kalau senin pagi ada pasar dan mengakibatkan macet. Tapi lebih dari itu. Bukan hanya pasar yang ramai yang membuat di Blega macet tapi ada tumpukan pasir yang berada di pinggir jalan yang mengakibatkan jalanan tambah terhambat dan sangat macet.
Kita pasti sering menemukan tumpukan pasir yang berada di jalan yang membuat kita sebagai pengendara dibuat terganggu olehnya. Apalagi kalau kita tinggal di sebuah desa, sudah jalanannya terbatas malah dibuat tambah sempit sebab ada tumpukan pasir di pinggir jalan. Saya sering dibuat jengkel dengan peristiwa semacam ini. Sepertinya peristiwa semacam ini sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat di negeri ini.
Dan tumpukan pasir itu bukan hanya satu atau dua hari saja ada di pinggir jalan tapi berbulan-bulan, mungkin tergantung cepat atau lambatnya pasir itu digunakan. Saya cuma heran saja, kenapa pasir itu tidak ditaruh di tempat yang lahannya agak luas, meskipun agak jauh dari rumah pemiliknya. Misalnya saja, ditaruh di lapangan dekat rumahnya. Tapi kalau tidak ada lapangan bagaimana?
Iya jangan beli pasir dulu sampai benar-benar pasir itu dibutuhkan dan segera dipakai. Tapi, kan, kalau belinya kelamaan bisa-bisa harganya naik? Itu risiko. Kalau saya lebih baik begitu ketimbang tumpukan pasir itu mengendap lama sekali di pinggir jalan dan membuat banyak orang merasa terganggu olehnya.
Fenomena semacam ini masih sering terjadi meskipun di kota besar. Saya rasa, mereka yang menaruh pasir di pinggir jalan itu bukan tidak mengerti bahkan sangat mengerti kalau apa yang mereka lakukan itu sangat mengganggu pengendara di jalan. Saya rasa, mereka bersikap masa bodoh yang penting saya cepat-cepat beli pasir mumpung harganya tidak terlalu mahal dan tidak apa-apa meskipun masih lama yang mau digunakan. Mungkin begitu pikiran mereka.
Saya terkadang, kalau melihat itu, sampai-sampai ingin menegur pemiliknya. Saya akan bilang kalau apa yang mereka lakukan salah. Dan dapat merugikan banyak orang. Misalnya saja apa yang saya alami. Saya telat menghadiri pernikahan teman saya, padahal sebelum ke tempat acara, saya mau berkumpul dulu di sebuah tempat dan mau berangkat bersama teman-teman yang lain ke resepsi pernikahan teman saya.
Saya cukup lama terkena macet pada saat itu dan mengakibatkan saya terlambat. Fenomena semacam ini akan mempengaruhi hajat orang banyak. Untung saya cuma menghadiri resepsi pernikahan. Bagaimana kalau misalnya kita mau melamar gadis yang kita sukai dan telatnya agak lama. Bisa-bisa kita ditolak lamarannya sebab calon mertua mengira kita kurang disiplin perihal waktu. Dan, selain mengganggu pengendara, tumpukan pasir di pinggir jalan juga menutup ruas untuk pejalan kaki.
Saya pikir, mungkin di negara-negara maju tidak akan ada kejadian semacam ini meskipun di sebuah desa. Kita tau, negara bisa maju bukan sebab di negara itu banyak memiliki gedung-gedung pencakar langit. Tapi menurut saya, negara bisa maju sebab bermula dari pola pikir masyarakatnya. Misalnya, perihal tumpukan pasir di pinggir jalan yang sudah saya utarakan di atas.
Ini memang hal yang sepele, tapi hal-hal semacam inilah yang membuat negara ini tidak maju, selain hal-hal yang lain. Untuk mengubah pola pikir memang sangat sulit, perlu kesadaran dari tiap masing-masing individu.
Saya memang sudah tidak habis pikir dengan fenomnena semacam ini. Sepertinya untuk mengubahnya cukup sulit sebab ini sudah menjadi kebiasaan. Mungkin dengan kita memulai dari diri kita sendiri maka para tetangga dan masyarakat di sekitar kita bisa meniru apa yang kita lakukan—tidak menaruh pasir di pinggir jalan.
Sehingga, ini akan mengajarkan anak-anak kita perihal mana yang tidak boleh dilakukan dan mana yang boleh dilakukan. Biasanya anak-anak akan mencontoh orang-orang yang lebih dewasa. Edukasi dini semacam ini yang akan menumbuhkan pola pikir yang benar buat anak-anak kita. Dan, pola pikir masyarakat inilah yang akan mengubah negara kita di masa yang akan datang.
BACA JUGA Rumah Minimalis hanya Namanya yang Minimalis, Harganya Ya Hmm atau tulisan Asep Meshuri lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.