Trauma Anak yang Hidup dalam Keluarga Perfeksionis

anak tertekan tinggal dalam keluarga perfeksionis mojok.co

anak tertekan tinggal dalam keluarga perfeksionis mojok.co

Hidup memang tidak pernah kita minta, namun ketika tinggal bersama keluarga perfeksionis, segala tekanan yang saya terima membuat saya pengin curhat kepada para pembaca sekalian.

Tiada hari tanpa omelan bagi saya ketika mengamankan kunci di tempat aman tapi kemudian malah lupa posisinya, atau saat lupa memberi makan kucing, atau ketika lupa menata handuk dengan benar sesudah mandi, serta berbagai kelupaan lainnya. Ibu dan nenek adalah salah satu dari golongan polisi jujur selain polisi tidur, patung polisi dan Pak Hoegeng. Mereka adalah pengawas keluarga yang antisuap, korupsi dan ya, keduanya termasuk golongan orang perfeksionis.

Secara umum kita mengenal istilah perfeksionis sebagai sifat yang menempatkan segala sesuatu dalam kehidupan ini harus tertata rapi dan sesempurna mungkin. Mereka juga menginginkan kesempurnaan dalam bertindak dan bercita-cita. Orang-orang perfeksionis selalu merasa bahwa merekalah orang-orang yang paling benar, atau setidaknya terobsesi untuk membenarkan apa yang mereka sukai. Mereka berusaha menihilkan ruang kesalahan dan seolah mengharuskan siapa pun di sekitarnya untuk tunduk pada standar kesempurnaan mereka.

Ketika seseorang menghendaki segala sesuatu harus benar dan tidak boleh salah, mereka akhirnya menempatkan diri sebagai yang paling superior. Inilah tahap paling akut dari perfeksionisme.

Perfeksionis bukan kepribadian yang mudah

Oleh karena mereka menempatkan diri pada standar-standar kesempurnaan, ketika keinginan yang ditargetkan tidak tercapai, hadirlah penyesalan yang teramat sakit.

Nila setitik rusak susu sebelanga barangkali peribahasa yang pas untuk menggambarkan secara umum bagaimana orang-orang perfeksionis berpikir. Memecahkan gelas secara tidak sengaja saat masih bocah dulu menjadi momen paling traumatis dalam hidup saya. Dimarahi habis-habisan, dipermalukan di depan tetangga yang lalu-lalang, menjawab tidak menjawab tetap dapat cacian.

Absurd memang bila mengetahui fakta (bukan bermaksud sombong) bahwa keluargaku, utamanya nenek, termasuk orang yang gila mengoleksi perabotan. Termasuk gelas-gelas yang berjejer rapi di ruang tamu, menunggu seorang anak nakal dengan tarian kuda-kudaan menjatuhkannya.

Dihujani tuntutan atau bisa dikatakan “dihujani kewajiban mutlak”. Harus sekolah di sekolah-sekolah negeri ternama supaya bisa kuliah yang negeri juga, harus ngambil jurusan keguruan untuk melanjutkan tradisi keluarga yang citranya sudah dikenal masyarakat sebagai keluarga guru, dan masih banyak harus ini-harus itu lainnya yang tidak cukup bila ditulis dalam empat halaman.

Di lingkungan keluarga saya ada semacam konvensi agar tiap individu menciptakan image baik di hadapan masyarakat. Salah satunya dengan menjadi PNS. Bagi keluarga saya, belum bisa dipandang termasyhur dan sukses bila belum jadi PNS. Sebenarnya saya agak ngakak ketika suatu kali bertanya, kenapa harus PNS? Alasannya, supaya terlihat bersih dan rapi saat bekerja, tidak seperti petani dan nelayan yang kumuh.

Terbatasi ruang gerak dalam bentuk dilarang ini dan itu menjadi problem paling menyesakkan dalam hidup saya. Pernah suatu ketika saat selesai menamatkan SMA, saya mulai memikirkan dan mematangkan langkah untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Waktu itu saya sempat kepikiran untuk mengikuti seleksi PKN STAN. Siapa yang tidak kenal dengan akademi ikatan dinas ini? Yang terkenal dengan prospek kerjanya yang mapan dan jaminan-jaminan yang memuaskan seperti lulus tepat waktu dan langsung diterima kerja.

Ibu melarang saya untuk mengikuti seleksi, dianggapnya karena nanti semisal lolos, saya akan kuliah jauh, takut tidak bisa menjaga kesehatan dan pola makan, takut salah pergaulan, dan tetek bengek keluhan lainnya. Saya tetap memaksa dan berujung dibolehkan ikut ujian, meski terpampang raut tidak ikhlas di wajah ibu.

Yang lebih membuat sesak adalah ketika saya mengabari ibu bahwa saya tidak lolos. Ibu malah berkata: “Iya, itu kamu gagal karena Ibu selalu berdoa supaya kamu gagal. Kamu ndak bisa melawan doa Ibu.” Haaah? Excuse me?

Barangkali di luar sana juga ada kawan-kawan yang mengalami nasib sama, memang rundungan seperti ini terasa berat, belum lagi masih berhadapan dengan problematika di luar keluarga, seperti masalah sekolah, pekerjaan dan problem lainnya yang semakin menambah beban hidup. Namun, di ketika dewasa saya sedikit terbantu ketika membaca filosofi Absurditas Albert Camus. Ia menjlentrehkan bahwasanya hidup ini memang semrawut dan penuh ketidakjelasan. Tapi bukan berarti kita pasrah dan melarikan diri. Sebaliknya, kita harus tetap melawan ketidakjelasan itu, mencari solusi-solusi yang dapat menyelesaikannya.

Dengan membelikan gelas baru, misalnya.

BACA JUGA Mari Memahami Tersiksanya Para Perfeksionis dan tulisan Muhammad Rizqi Nur lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version