Sebagai orang yang lahir dan melakukan rutinitas sehari-hari di Jogja, tepatnya Bantul bagian selatan, saya cukup kaget dengan apa yang ada di Jakarta. Bukan, ini bukan tentang gaya hidup atau cara berbicara.
Jadi, akhir tahun lalu saya tinggal di Jakarta selama 2 bulan. Selama melakukan rutinitas, saya cukup terbantu dengan banyaknya pilihan moda transportasi umum (transum). Kondisi ini berbanding terbalik dengan transum yang tersedia di Jogja. Untuk keperluan dalam kota, warga menggunakan Trans Jogja.
Nah, melihat Jogja yang semakin macet, apalagi ketika musim libur, seharusnya menjadi peringatan darurat. Menurut saya, transum di kota Jogja harus berkembang lagi untuk mengurangi kemacetan yang terjadi.
Saat ini, banyak orang yang mulai tergugah untuk memanfaatkan transportasi publik. Hal ini terjadi karena banyak orang nggal lagi nyaman menggunakan kendaraan pribadi.
Ini harus menjadi perhatian dari pemangku kebijakan. Apa Jogja nggak mau menyusul Jakarta punya transum yang lebih baik?
Jangkauan rute transum di Jogja tidak merata
Sudah banyak kritikan untuk Trans Jogja dari banyak orang. Seharusnya, rute Trans Jogja ini bisa menjangkau seluruh kabupaten yang ada di Jogja.
Kalau ingin lebih keren lagi, bisa terintegrasi dengan moda transportasi lain. Pasalnya, butuh energi ekstra untuk menjangkau halte terdekat bagi warga pinggiran kabupaten seperti saya ini.
Di wilayah saya, halte terdekat dari rumah sekitar 9 kilometer dan itu hanya tersedia satu trayek saja, yaitu jurusan Malioboro. Jadi, saya harus menaiki kendaraan pribadi untuk mencapai halte itu.
Artinya, saya harus mengeluarkan tenaga dan biaya ekstra hanya untuk sampai halte Trans Jogja. Jalan kaki 9 kilometer cuma untuk sampai halte? Edan. Naik ojek? Biaya lagi.
Soal rute, Bantul dan kabupaten lain memang jadi kayak “anak tiri”. Misalnya di Jalan Parangtritis hanya ada sedikit halte. Dari perempatan Druwo sampai Pantai Parangtritis setahu saya tidak ada rute Trans Jogja.
Padahal, Pantai Parangtritis sendiri sering menjadi tujuan pelancong dari luar kota. Selain itu, di sepanjang Jalan Parangtritis ada beberapa sekolah yang seharusnya bisa menjadi titik pemberhentian bus. Misalnya seperti kampus ISI Yogyakarta, SMAN 1 Sewon, dan SMKN 1 Bantul.
Halte ala kadarnya
Di Jakarta, beberapa halte pemberhentian bus sudah dirancang sedemikian rupa agar terlihat estetik. Dan tiap halte pasti ada beberapa petugas yang stand by, entah itu satpam atau petugas lain.
Halte-halte yang ada di Jakarta biasanya sudah ada papan informasi yang jelas mengenai rute, jam keberangkatan, maupun kedatangan bus. Setidaknya di sana haltenya tidak terlalu sempit.
Namun, yang terjadi di Jogja ini sungguh sebaliknya. Kondisi beberapa halte pernah saya temui cuma ala kadarnya. Seperti sudah tidak pernah terjamah manusia lagi.
Petugas kadang juga tidak ada yang stand by di sana. Coretan pilox sudah lazim ada di halte Trans Jogja ini. Selain itu, papan informasi terkadang kondisinya sudah usang yang menyebabkan susah untuk dibaca.
Ini waktunya pemerintah untuk mengembangkan dan memperbaiki moda transportasi publik. Ya semata agar masyarakat di kabupaten juga merasakan manfaatnya.
Saya berharap bisa ikut menikmati transum Jogja yang satu ini. Paling tidak bisa hemat biaya dan mengubah habit kendaraan pribadi ke transum. Kalau gini terus, kapan transum Jogja bisa modern dan menyenangkan seperti Jakarta?
Penulis: Yumna Aditya
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















