Angin segar datang di Lamongan. Awal bulan Oktober ini, ada Trans Jatim yang menghubungkan daerah utara dengan selatan. Tepatnya Kecamatan Paciran dan Terminal Lamongan (pusat kabupaten).
Fyi saja, sudah sangat lama warga Lamongan merindukan transportasi publik yang bisa diakses warga. Sebab, memang tak ada transportasi umum sama sekali di sini. Makanya ketika akhirnya muncul Trans Jatim, kami sangat bersyukur.
Meski begitu, perlu digarisbawahi bahwa ini program gubernur, bukan bupati. Jadi, kalau merasa ingin memberikan ucapan terima kasih, ucapkan saja ke Gubernur Jawa Timur, bukan Bupati Lamongan. Oke, sip.
Trans Jatim Koridor 7, koridor baru yang perlu banyak belajar dan berbenah
Saya sering sekali naik Trans Jatim. Harus diakui moda transportasi satu ini cukup membantu mobilisasi saya. Mungkin bukan cuma saya yang terbantu, masih banyak juga warga Jawa Timur yang terbantu dengan kehadiran Trans Jatim. Mulai dari kaum LDR, golongan lansia gabut, serta orang-orang pekerja dan anak sekolah.
Program ini memang perlu diapresiasi. Akan tetapi untuk Trans Jatim Koridor 7, mohon maaf saja, sepertinya perlu diberikan kritik sekeras-kerasnya. Sebab sistem dan manajemennya nggak jelas. Terutama di rute Lamongan ke arah Paciran. Saya tahu penumpangnya memang membludak, tapi bukan berarti sistemnya juga boleh ugal-ugalan.
Sistem nomor yang aneh
Saya baru pertama naik Trans Jatim Koridor 7 dan saya kira bakal sama kayak sistem Trans Jatim koridor lainnya. Eh, ternyata beda. Ketika naik, kita harus punya semacam tiket yang ada nomornya. Jadi, yang berhak naik adalah orang-orang yang memegang nomor tersebut. Nomornya pun dibatasi sesuai dengan kapsitas bus mungil tersebut.
Secara konsep, memang cukup bagus. Harus saya akui meski tiket nomornya seadanya—cuma ditulis di kertas lusuh—konsepnya cukup oke. Penumpang bisa masuk ke bus sesuai urutan kedatangan, jadi tidak ada yang menyerobot antrean.
Sayangnya, eksekusinya ambyar. Tidak ada info secara jelas soal tiket dengan nomor ini. Sebagai penumpang yang baru naik Trans Jatim Koridor 7, saya tidak tahu kalau penumpang mendapat nomor dulu. Setelah bus berjalan, saya baru tahu.
Cara pembagian tiketnya juga aneh. Tiket bernomor ini diserahkan ke beberapa penumpang saja. Ada satu penumpang dikasih 4 nomor, dan seterusnya. Pun yang dikasih random. Ironisnya, yang rebutan dapat tiket, sementara yang antre dengan tertib justru tidak dapat.
Saya heran, kenapa pelaksanaannya kayak gini, padahal masih ada opsi lain. Misalnya, penumpang harus antre baru tiket bernomor dibagikan. Atau bisa juga saat tiba di halte, penumpang langsung diberi nomor. Petugas kemudian memberi pengarahan nanti yang berangkat nomor urut sekian sampai sekian. Begitu seterusnya. Bukan malah semrawut. Alhasil saya sampai harus menunggu bus ketiga baru bisa naik.
Aturan tidak konsisten
Selain sistem yang aneh, aturan juga tidak konsisten. Sistem nomor tersebut hanya berlau beberapa saat. Setelah saya naik bus, sistem tiket dengan nomor itu sudah tidak dipakai lagi. Lha, kan namanya jadi tidak konsisten? Alasan petugas karena terlalu ramai dan ribet.
Saya memahami kalau penumpang memang menumpuk, penumpang nakal juga ada di mana-mana. Makanya dibuatlah sistem. Saya pikir kalau sistemnya oke, manusianya juga pasti mau kok ikut prosedur yang ada.
Kereta api dulu juga semrawut, tapi sekarang bisa tertib. Saya yakin, Trans Jatim Koridor 7 juga bisa, kok. Kita hanya perlu pembiasaan sistem saja.
Di mana petugas keamanannya?
Saya kira sudah saatnya Trans Jatim memiliki satpam atau petugas keamanan. Lengkap dengan baju dan orang-orang yang kelihatan seram itu. Sebab, tanpa satpam sekarang yang terjadi adalah petugas merangkap banyak tugas. Kadang petugas yang bagi-bagi tiket nomor, kadang jadi pramugara, kadang juga mengatur orang yang nyerobot. Kan kasihan.
Padahal fungsi satpam atau petugas keamanan ini penting banget untuk memastikan sistem berjalan dengan benar. Bukan cuma soal keamanan, tapi juga ketertiban dan informasi ke penumpang baru.
Ongkos Trans Jatim memang murah, tapi bukan berarti boleh semrawut
Saya mengakui kalau ongkos Trans Jatim memang murah dan terjangkau. Tetapi bukan berarti moda transportasi satu ini boleh semrawut. Pembiayaan Trans Jatim berasal dari pajak yang kita bayar. Artinya, masyarakat juga berhak mendapat layanan publik yang layak, tertib, dan manusiawi. Jadi, wajar kalau kita memberi kritik. Kritik bukan berarti benci, tapi bentuk sayang biar Trans Jatim bisa jadi lebih baik.
Koridor 7 ini masih baru, wajar kalau banyak yang perlu diperbaiki. Tapi kalau mau jadi kebanggaan Lamongan, pembenahannya harus telaten dan konsisten. Karena transportasi publik yang baik itu bukan cuma soal bus yang jalan, tapi juga sistem yang bikin orang nyaman.
Semoga Trans Jatim Koridor 7 bisa lebih rapi, tertib dan jadi contoh manajemen transportasi yang baik ke depannya. Semoga saja.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Penderitaan Warga Lamongan-Gresik yang Sehari-hari Naik Trans Jatim Koridor K4
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
