Tips Memilih Rumah Kontrakan dari Saya yang Pernah Ketipu Delapan Jutaan

Tips Memilih Rumah Kontrakan dari Saya yang Pernah Ketipu Delapan Jutaan terminal mojok

Kata pepatah, cinta itu buta. Menurut saya, cinta itu goblok. Itulah perasaan pertama yang remuk redam dalam hati, sepulang saya dari Jogja di senja paling jahanam selama hampir seperempat abad hidup saya. Kegoblokan unfaedah yang terjadi lebih dari tiga tahun lalu, hari ini hanya akan jadi bahan dagelan yang sungguh membagongkan. Iya, waktu itu saya tertipu iklan rumah kontrakan dari “oeleks”. Bukan satu dua juta, tetapi tepatnya delapan setengah juta rupiah!

Kadang kalau diingat masih ada rasa sakit di ulu hati. Sakit karena sadar betapa bodohnya diri pada sore itu. Mari saya ajak napak tilas virtual lewat imajinasi liar Anda masing-masing. Tentu saja Anda sekalian boleh membaca tulisan ini sambil cekikikan atau cengengesan. Namun, kalau Anda merasa empati, silakan bantu saya misuh dalam hati.

Perjalanan sore itu dimulai dari pinggiran Karanganyar yang berbatasan dengan Sukoharjo, tepatnya di pojokan Waduk Lalung. Detail geografis ini penting karena kelak jadi dalih pembelaan diri agar saya nggak bego-bego amat di mata kalian. Dari sinilah saya berangkat dengan motor Supra Fit Orange yang acap kali diolok sebagai motor Pak Pos.

Satu dua jam sebelumnya, saya sibuk scrolling dan sorting hasil pencarian rumah kontrakan dari website penyedia iklan kontrakan laknat itu. Penampakan foto yang jelas dan gedung yang terlihat baru jadi alasan utama saya ngebet memilih kontrakan yang satu itu. Nggak bisa nggak, dalam benak saya. Makanya siang itu juga saya ngotot motoran ke Jogja demi meminimalisir potensi “kontrakan sudah di-DP orang lain”.

Sungguh tindakan heroik, pikir saya, yang saat itu memang tinggal hitungan bulan melangsungkan pernikahan. Tentu saya ingin menyediakan tempat tinggal yang layak dong untuk istri, dan kebetulan calon rumah kontrakan ini jelas sekali merupakan gedung baru. Lokasinya di Sleman, nggak jauh dari Polres dan RSUD. Jalan sepanjang lebih dari 80 km saya tempuh tidak lebih dari 150 menit.

Saat itu saya masih kuliah S2 di Jogja, tetapi biasanya setiap weekend pulang ke rumah saudara di Waduk Lalung. Selain itu, memang saya dan calon istri berencana hidup serumah setelah menikah. Makanya keinginan untuk memastikan rumah kontrakan terbaik demi kebahagiaan calon ibu dari anak-anak saya kelak, justru menggelapkan logika dan akal sehat saya waktu itu.

Sesampainya di daerah sekitar alamat yang tertera dari website, saya hanya perlu berputar-putar sebentar. Kemudian berhenti pada tiga rumah berjajar yang persis seperti gambar dari iklan. Bedanya, spanduk yang ditempelkan tertulis dijual, bukan dikontrakkan. Spanduk yang nggak saya temukan pada gambar dalam website. Entah apa yang merasuki, saya puas sampai di situ.

Gobloknya kok ya saya masih percaya iklan kontrakan dari website itu. Nggak bertanya ke warga sekitar dan buru-buru menuju Lempuyangan. Bisa pulang ke Solo pakai Prameks sebelum magrib, pikir saya. Sejak awal, nomor yang dicantumkan dari website memang agak nggak merespons, sebut saja Si Bapak. Saya bahkan perlu menelepon demi memastikan posisi pasti rumahnya. Dan saat saya hubungi untuk bertemu langsung, Si Bapak bilang sedang nggak berada di rumah.

Sampai di stasiun, komunikasi dengan Si Bapak kembali berjalan, lewat SMS tentunya. Si Bapak menjawab singkat pertanyaan detail saya tentang rumah kontrakan. Saya bertanya kapan bisa ditemui yang dijawab dengan blio nggak bisa menjamin saat kami bertemu nanti belum ada yang duluan DP kontrakan. Sungguh bodoh saya justru menawarkan DP via transfer terlebih dahulu.

Dari sinilah penjelasan cinta itu goblok dimulai. Cinta itu goblok, apalagi kalau disandingkan dengan teknologi dan uang. Saya yang waktu itu punya saldo cukup untuk membayar lunas rumah kontrakan sekaligus dipersenjatai mobile banking dan aplikasi transfer antar bank gratis, dengan bodohnya menawarkan diri untuk membayar lunas kontrakan setelah Si Bapak saya telepon dan nggak bisa memberi kepastian meskipun saya menjanjikan DP.

Tanpa pernah bertemu. Tanpa bertanya pada warga sekitar rumah kontrakan. Demi keinginan untuk memuliakan calon istri dengan menyediakan tempat tinggal yang bagus sebagai perwujudan cinta. Akhirnya saya melakukan transfer sebesar delapan juta lima ratus ribu rupiah ke rekening BRI atas nama Denda. Sungguh nama yang aneh, hanya satu kata. Sekaligus kata yang sangat nggak lazim dijadikan nama.

Setelah transfer, saya diam sejenak. Si Denda laknat ini juga nggak menghubungi selang beberapa jam. Sampai pada saat saya dalam perjalanan menuju rumah di dekat Waduk Lalung dengan jasa ojol, Si Denda tiba-tiba menghubungi lewat SMS. Mengatakan ingin meminjam uang satu setengah juta untuk biaya berobat istrinya yang sakit. Saat itulah kesadaran saya pecah. Nggak butuh waktu lama buat saya menerima kenyataan dan bergumam dalam pikiran, “Oke, saya ditipu.”

Ah, saya ditipu. Kerugian terbesar dalam hidup saya bukan karena gagal usaha atau bangkrut tersebab pandemi. Justru karena cinta dan teknologi. Iya, cinta dan kemudahan teknologi adalah kombinasi multidimensi yang bisa bikin saya goblok setengah mati. Jarak tempuh 85 kilometer motoran Solo-Jogja sendirian bisa saya jadikan alasan kelelahan berkendara sampai tak kuasa berpikir jernih. Sayang sekali, itu cuma dalih.

Tiba di rumah, saya sadar, sepertinya modus yang dilakukan Si Denda biadab ini adalah keliling wilayah sekitar Jogja. Pura-pura bertanya pada pemilik gedung asli dan meminta izin untuk mengambil foto. Lantas diiklankan di website penyedia informasi rumah dan kontrakan.

Esoknya saya ke Jogja lagi, tanpa harapan yang terlalu muluk. Nomor Si Denda tak bisa saya hubungi ketika sampai di Jogja. Lalu, dengan satu hela napas panjang, saya menguatkan hati melaporkan kegoblokan diri ini ke Polres. Saya nggak berharap pelaku akan ditangkap, paling nggak, demi mendamaikan hati yang belum bisa tenang kalau nggak melakukan tindakan apa-apa.

Beberapa hari berselang, saya katakan pada calon istri bahwa saya tertipu iklan kontrakan online dengan nominal sekian. Lalu dengan bodohnya saya bertanya kepada dia, “Masih mau nikah sama aku?” Tentu saja dia jawab, “Mau”. Tumpah air mata kebodohan saya.

Iya, cinta mungkin goblok, tetapi cinta tidak buta. Mungkin waktu itu dia bisa melihat masa depan saya. Masa depan laki-laki bodoh yang dengan jujur mau mengakui kegagalannya sendiri. Jadi, tips memilih kontrakan dari saya ya cuma satu, jangan goblok!

BACA JUGA Bagi Saya, Kontrak Rumah Itu Lebih Enak Ketimbang Ngekos dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version