Niat saya pindah ke Kaliurang atas adalah agar terbebas dari stres yang saya dapat saat tinggal di Kaliurang bawah. Ternyata, sama saja!
Nggak ada habisnya kalau ngomongin tentang Yogyakarta kita ini. Problematika di mana-mana. Mau #kaburajadulu tapi kok kayaknya butuh modal yang nggak sedikit. Jadinya ya, bertahan.
Tapi jika bertahan, ya mau nggak mau berurusan dengan panas dan macet agaknya sudah menjadi makanan sehari-hari, apalagi di daerah bagian bawah. Selama hampir 5 tahun tinggal di daerah Kaliurang bagian bawah (KM5), membuat saya cukup gila. Dan sepertinya nggak cuman saya yang mengeluhkan hal ini. Salah satu artikel berjudul “Pertigaan Kanisius Deresan Jogja Titik Kebencian Baru bagi Warga: Pak Ogah Saja Udah Ogah Mengatur Jalan di Situ” cukup memvalidasi yang saya rasakan karena kebetulan sebelumnya saya tinggal (baca: ngekos) di dekat situ.
Sebenarnya bukan nggak ada enaknya tinggal di daerah situ, malahan menurut saya lokasi itu cukup strategis dan akses ke mana-mana gampang. Cari makan gampang dan banyak pilihan, cari coffee shop pun banyak pilihan, cari minimarket juga agaknya sejauh mata memandang ada di mana-mana. Bahkan laundrian pun, nggak akan sulit ditemukan. Cuman, ya itu, macet dan panas.
Kalau panas, mungkin sekarang-sekarang ini nggak terlalu ya karena masih dalam periode musim hujan. Tapi kalau macet, jangan harap. Mau kondisi hujan ataupun tidak, sepanjang Kaliurang KM5 sampai lampu merah UGM dan lampu merah di sepanjang jalan ringroad utara, saya jamin nggak akan lolos dari kemacetan.
Akhirnya setelah melakukan pemikiran panjang, saya memutuskan untuk cari tempat tinggal lain yang mungkin bisa mengurangi tingkat ke-stresan saya akan ruwetnya jalanan di Jogja. Terpilihlah Kaliurang KM13. Ya, Kaliurang daerah atas yang suhunya lebih adem. Walaupun masih kena panas, tapi nggak seterik di bawah. Namun setelah beberapa minggu tinggal, saya merasa ada rasa penyesalan. Ternyata tidak lebih baik.
Pindah ke Kaliurang Atas ternyata tak memberi pengaruh apa-apa, malah makin stres
Sepanjang Jalan Kaliurang KM5 sampai KM13 memang cukup besar, tapi ternyata banyak issue yang saya dapatkan, alhasil setiap hari saya harus ngedumel saat melalui jalan tersebut. Asal kalian tahu, walaupun jalanan ini besar, tapi banyak sekali rintangannya. Mulai dari kendaraan roda 4 yang parkir di sepanjang bahu jalan sehingga mempersempit jalanan, kang parkir yang sembarangan memarkirkan kendaraan dan nyebrangin kendaraan. Jalanan Kaliurang yang kalian pikir mulus itu, nyatanya banyak lubang yang berpotensi membuat kecelakaan lalu lintas jika kalian tidak fokus dan waspada. Itu adalah 3 dari banyak hal yang saya highlight.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa jumlah penduduk saat ini makin banyak seiring dengan meningkatnya juga jumlah kendaraan-kendaraan roda 4, gimana ngga bikin macet? Para pengendara roda 4 yang platnya keluaran 2024 2025, masih sangat berhati-hati karena cat mobil yang masih mulus adalah salah satu penyebab kemacetan di jalanan. Selain itu, pengendara roda 4 yang tiba-tiba menyalakan lampu hazard dengan tanpa alasan dan memelankan lajunya, ini maksudnya apa coba?
Kalau memang ada kondisi yang memang sangat diperlukan nyalain lampu hazard, ya nggak apa-apa. Lah ini cuman mau belok aja loh. Apakah situ nggak tau kalau lampu reting itu bisa dinyalakan salah satu aja, antara kanan atau kiri? Lah ini lampu hazard dinyalakan. Kita yang di belakang jadi mau nggak mau ikut pelan dan nggak berani untuk nyalip dari kanan ataupun kiri.
Keberadaan kang parkir semakin membuat kondisi jalan Kaliurang makin ruwet dan macet. Kalau situ markirin dan nyebrangin dengan proper mungkin nggak apa-apa. Lah ini asal-asalan, nggak lihat-lihat kondisi jalan sedang ramai apa enggak. Asal nyetop kendaraan yang lagi pada jalan kenceng demi markirin atau nyebrangin kendaraan lain. Kalian ini ada untuk membantu kan? Membantu bikin jalan tambah ruwet kah maksudnya?
Baca halaman selanjutnya
Akses ke mana-mana jauh
Beberapa lainnya mungkin issue yang saya temui setelah beberapa minggu tinggal di daerah Kaliurang KM13 ini. Seperti susahnya akses ke mana-mana (sebenarnya lebih ke arah jauh sih). Contohlah, untuk bisa menemukan minimarket paling dekat harus menempuh jarak setidaknya 2 kilometer (dari tempat saya). Contoh lainnya adalah, pasar tradisional. Betapa jauhnya jarak pasar tradisional kalau dari KM13 ini. Ada beberapa pasar yang saya temukan melalui maps, seperti Pasar Jangkang, Pasar Setom, Pasar Gentan, dan Pasar Umbul. Itu kalau dari KM13, sebutlah patokannya di Indomaret Candisari. Ke Pasar Jangkang jaraknya adalah 3.9 KM, ke Pasar Setom 1.1 KM, Pasar Gentan 2.4 KM, dan Pasar Umbul 2.0 KM.
Selain itu, ternyata saya juga kurang cocok dengan beberapa makanan yang ada di sini. Saya bukan bilang bahwa makanannya tidak enak. Nyatanya banyak kedai dan tempat makan yang cukup ramai. Namun, bagi saya untuk soal makanan saya lebih cocok di daerah bawah sana. Selain banyak pilihan, jaraknya pun nggak terlampau jauh. Jadi, supaya tidak kecewa dengan apa yang sudah saya beli dan saya makan, saya memutuskan untuk memasak sendiri walaupun jarak ke pasar lumayan jauh.
Kembali ke bawah
Entahlah, apa mungkin karena masih dalam proses adaptasi dari tahun-tahun lalu yang mana saya mendapatkan banyak kemudahan untuk pemenuhan kebutuhan saya. Walaupun di sisi lain banyak yang hal yang sebetulnya menjadi problema banyak umat termasuk saya. Atau memang ini adalah sebuah penyesalan yang saya rasakan karena malah lebih banyak kesulitan yang saya dapatkan dan semakin meningkatnya level stres akan sulitnya akses kemana-mana, semakin jauhnya jarak yang saya lalui, bersamaan dengan itu semakin panjang kemacetan juga yang harus saya hadapi.
Saya sangat amaze dengan mereka yang tinggal lebih lama di Kaliurang atas. Bagi saya yang punya kesabaran setipis tisu sepertinya tidak cocok dan mungkin akan mempertimbangkan untuk kembali ke Kaliurang Bawah.
Penulis: Shila Nurita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sejarah Jalan Kaliurang, Jalan Terpadat di Jogja yang Semakin Menyebalkan
