Dalam satu minggu terakhir, Timnas Sepakbola Indonesia menjalani dua pertandingan uji coba internasional. Di bawah penanganan pelatih anyar Simon McMnemy, Timnas dijadwalkan menghadapi Jordania dan Vanuatu. Negara pertama, tentu kita cukup mengenalnya, sebuah negara di Timur Tengah, yang salah satu pemimpinnya, Raja Abdullah II pernah menjadi sahabat karib Prabowo Subianto—(mantan calon) presiden kita semua. Sedangkan negara kedua… Ah, sudahlah, sebagian dari kita bahkan mungkin baru mendengar namanya.
Pada laga pertama, Selasa (11/6/2019) yang dihelat di Stadion King Abdullah II, Amman, Jordania, para pemain Indonesia tampak kewalahan meladeni pasukan Jordania yang jangkung-jangkung dan bermain layaknya sebuah tim dari benua Eropa. Kita tahu, pada pertandingan itu, Indonesia hancur lebur. Kebobolan empat kali dan hanya mencetak satu gol. Itu pun lewat tendangan penalti.
Permainan Indonesia kali itu memang buruk. Kesalahan-kesalahan individu yang tak perlu, kurangnya kerja sama, pertahanan dan penyerangan yang lemah, dan sekelumit hal mengecewakan lainnya. Tapi, cara bermain Indonesia tak buruk-buruk amat. Masih banyak permainan Indonesia yang lebih buruk daripada itu.
Segera saja, setelah kekalahan 4-1 tersebut, publik sepakbola Indonesia pun berkomentar. Terutama dari kalangan warganet. Sebagian besar—untuk tidak mengatakan semua—komentator melontarkan komentar-komentar pedas dan tajam. Tak sedikit pula yang menyertai komentar tersebut dengan cacian segala rupa.
Kita bisa melihat bahwa publik sepakbola Indonesia lumayan kejam. Mereka memiliki perhatian sangat besar terhadap perkembangan sepakbola Indonesia. Mereka menonton tiap kali Indonesia bertanding. Mereka dengan setia dan tabah mendukung Indonesia. Namun, pada saat yang sama, jika mereka mendapatkan kenyataan bahwa Indonesia kalah (apalagi dengan permainan yang jelek), mereka bisa menjadi beringas layaknya macan lapar yang siap menumpas para punggawa Timnas dengan cakaran-cakaran keras.
Itu hal lumrah belaka. Mereka yang terlalu mencintai memang lebih mudah untuk merasa kecewa. (Bukankah demikian adanya duhai kaum bucin?) Soal perkara marah atau komentar yang berlebihan, itu memang susah dicegah. Sebagaimana ketika orang sedang dalam puncak kita begitu memuja-muja yang dicintainya, demikian pulalah orang yang sedang di puncak amarah. Bukankah kita sudah mengetahuinya?
Tetapi toh tidak ada nasib jelek yang abadi. Tidak ada caci-maki yang abadi. Hanya empat hari setelah kekalahan memalukan dari Jordania, Sabtu (15/6/2019) Indonesia melawan Vanuatu dan menang dengan skor telak. Tak main-main. Enam gol tanpa balas. Empat gol dicetak oleh Beto Goncalves dan dua gol oleh Evan Dimas Darmono.
Dan tentunya kita tahu apa yang datang setelah itu. Para suporter Indonesia yang sebelumnya mati-matian berkomentar dengan nada mencela, berganti jadi memuji-muji. Mereka tentu tidak salah. Sah-sah saja memuji Timnas Indonesia yang memang bermain gemilang. Sah-sah saja memuji tim yang sebelumnya dihujat habis-habisan. Apa sih yang tidak sah di mata suporter Indonesia?
Namun, di tengah badai pujian tersebut, sebagaimana biasanya memang seringkali terselip orang-orang bijak. Orang-orang dengan komentar semacam “Indonesia memang bermain bagus melawan Vanuatu. Kita mesti apresiasi setinggi-tingginya. Tapi, jangan mudah puas. Perjalanan masih panjang.” Ah, bijak betul! Rasanya saya ingin mengalungkan kembang tujuh rupa ke leher orang-orang semacam itu.
Laga menghadapi Jordania dan Vanuatu itu sendiri hanyalah serangkaian persiapan untuk menghadapi tantangan yang sesungguhnya, yaitu kualifikasi Piala Dunia 2022. Piala Dunia yang bertahun-tahun silam konon bakal digelar di Indonesia (sayangnya, Qatar, negeri seuprit itu yang pada akhirnya menjadi tuan rumah).
Indonesia bermain di Piala Dunia? Rasanya itu mimpi yang kelewat muluk. Tapi, bukan suatu hal yang mustahil. Suatu saat saya yakin Indonesia akan berlaga di Piala Dunia. Suatu saat ketika para pemain betul-betul serius dan tekun berlatih sepakbola (bukan latihan akting supaya jadi bintang iklan); para suporter tambah bijak (tidak bikin kerusuhan yang bukan hanya merugikan, tapi juga memalukan); para petinggi PSSI dapat berlaku seprofesional dan semaksimal mungkin.
Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Indonesia akan juara Piala Dunia? Itu juga bukan mustahil. Ya, paling tidak, juara Piala Dunia dalam kategori Suporter Sepakbola Paling Banyak Bacot lah~