Saya kena karma. Dulu saya sering jengkel sama Mas Penjaga Warnet yang gembul dan cemberut terus, eh beberapa waktu yang lalu badan saya berubah gembul juga dan tak kalah cemberutnya. Saya bertransformasi jadi orang gendut.
Mas penjaga warnet yang saya kenal itu, sebut saja namanya Mas Agus, tak pernah bersikap sesuai ekspektasi saya. Dia senyum sekadarnya, tidak pernah membuat lelucon, dan secara umum kalau lagi giliran jaga ya diem aja. Lebih sering, dia menghabiskan waktu baca artikel di internet atau pakai headset muterin lagu-lagu yang disukainya.
Waktu itu, saya masih SMP. Saya sering sekali ke warnet untuk download lagu-lagu kesukaan. Saking seringnya ke warnet, saya hafal semua penjaga warnet yang ada. Saya juga selalu duduk di sebelah meja penjaga, jadi saya sering ngobrol sama mereka.
Mas Agus yang bertubuh gembul itu menjadi “kawan” saya yang paling dingin di antara penjaga-penjaga yang lain. Padahal, bagi saya saat itu, orang gendut haruslah lucu. Apalagi bila gendutnya sudah di atas 60 kg.
Saya tak tahu asal muasal ekspektasi ini. Tapi, kalau bisa mengira-ngira, mungkin asalnya dari tayangan yang saya lihat di TV.
Di zaman saya, ada karakter Boim yang merupakan orang gendut dan lucu. Di serial-serial yang saya tonton pun, ketika ada karakter orang gendut, karakternya selalu suka melucu. Sinetron di zaman sekarang pun saya lihat masih sama. Yang bertubuh gembul seperti si Bunga di Tukang Ojek Pengkolan saja suka membanyol.
Otak saya yang belum dewasa itu pun mengharapkan Mas Agus melontarkan kata-kata humoris. Saya bahkan sudah ancang-ancang kalau dia tiba-tiba mengeluarkan celetukan yang lucu.
Tapi, sekali lagi, Mas Agus sangat jauh dari ekspektasi saya. Dia orang yang sangat seriyes. Beberapa kali saya mencuri pandang apa yang dia lihat di layar desktopnya, eh ternyata dia lagi baca artikel-artikel sejarah.
Karma is real
Bertahun-tahun berselang setelah masa-masa saya suka ke warnet. Warung internet langganan saya itu sekarang sudah tutup karena akses internet sudah mudah dijangkau via smartphone. Salah satu penjaganya yang notabene tetangga saya pun sudah menikah.
Dan meski saya tak tahu kabar soal Mas Agus, namun saya mendapatkan karma dari ekspektasi saya ke dirinya. Ya, selepas SMA, bobot saya naik dari 45 kg ke 55 kg. Ketika masuk masa KKN, tiba-tiba bobot saya naik lagi jadi 70 kg.
Selama saya bertubuh besar, saya merasakan betul kalau orang gendut selalu diharapkan untuk jadi humoris, mentang-mentang tubuh kita gembul. Yang kayak gini nyebelin banget. Orang-orang melihat saya seperti pemeran bertubuh tambun di sinetron-sinetron yang tugasnya membuat suasana jadi ceria.
Padahal, saya ini orangnya sama sekali tidak lucu. Dari zaman dulu sampai sekarang, satu-satunya hal yang tidak pernah bisa saya kuasai adalah kemampuan menjadi humoris. Ketika saya mencoba melucu, sering kali hasilnya jayus dan cuma saya yang ketawa.
Tapi, kenalan saya (terutama yang tidak dekat), anak tetangga, sampai orang-orang random di jalanan punya ekspektasi itu. Mereka sepertinya tidak bisa membayangkan sosok orang gendut yang punya jiwa melankolis kayak saya.
Yang nyebelin lagi, kadang saya harus ketawa-ketawa ketika diajak bercanda dengan garing. Candaan yang paling sering saya terima tentu saja seputar body shaming.
Sebenarnya, saya bukan orang yang sensitif. Jadi dapat perlakuan body shaming kayak apa pun, saya bakal cuek bebek. Cuma, dengerin candaan yang berulang-ulang begitu sangat amat melelahkan lho.
Ketemu tukang bakso, dibercandain kenapa makannya nggak tiga mangkok. Ketemu abang ojek, dibercandain nanti kalau bannya kempes harus ganti. Ketemu dosen, dibercandain kok bisa naik ke lantai tiga padahal badannya kayak gini. Semua orang, dari pedagang kaki lima sampai dosen gemar sekali mengajak saya bercanda soal tubuh besar saya. Bosen, Sis, Bro.
Tapi, kalau saya menolak diajak bercanda, pasti saya dianggap sebagai orang gendut yang sensitif. Pasti nanti dikait-kaitin sama badan saya yang gede. “Sudah gendut, jutek pula!” Mungkin begitu yang bakal ada di pikiran orang-orang.
Menjadi orang gendut pada akhirnya bukan cuma membawa lemak dan daging yang berat. Kami juga harus membawa seabrek stigma, seabrek ekspektasi untuk humoris, dan seabrek topeng wajah yang harus meringis ketika dengerin candaan-candaan berulang yang sama sekali tidak lucu itu.
Photo by Artem Podrez via Pexels.com
BACA JUGA Stop Bikin Konten yang Ngatain Orang India Jorok, dan Ini Serius dan tulisan Ningsih lainnya.