Thor: Love and Thunder, Imajinasi Nakal dan Liar Taika Waititi yang Menyenangkan

Thor: Love and Thunder, Imajinasi Nakal Taika Waititi yang Menyenangkan Terminal Mojok

Thor: Love and Thunder, Imajinasi Nakal Taika Waititi yang Menyenangkan (Instagram Marvel Indonesia)

Berdasarkan kesuksesan film Thor: Ragnarok, Taika Waititi dianggap sebagai penyelamat franchise MCU cabang Thor. Thor yang di dua film sebelumnya memiliki persona bangsawan dengan segala unggah-ungguh khas kerajaannya, secara ekstrem dibawa menjadi Thor yang konyol. Jika kalian menyukai tingkah konyol Thor di film tersebut, harusnya kalian juga menyukai film Thor: Love and Thunder.

Taika Waititi memang menjadi salah satu sutradara yang pantas dikagumi, khususnya karena selera humornya yang aneh. Jojo Rabbit, Hunt for the Wilderpeople, dan What We Do in the Shadows adalah beberapa masterpiece yang merepresentasikan selera humor anehnya. Ciri khas itulah yang Waititi bawa pada karakter Thor.

Sayangnya, meski Thor: Ragnarok dianggap berhasil oleh banyak orang, saya justru merasa tidak cocok dengan film Waititi satu ini. Tampaknya ini masalah selera, tapi saya menyayangkan absennya kesan emosional pada film tersebut, khususnya pada bagaimana ia memperlakukan teman-teman Asgardian Thor. Namun, hal itu tidak mengurangi rasa antusias saya menyambut sekuel Thor selanjutnya.

Bagi saya, Thor dalam film Thor: Love and Thunder merupakan sosok Thor yang benar-benar baru. Dia sudah tidak terikat lagi pada berbagai embel-embel karakternya yang ada di dua film awalnya, khususnya embel-embel Raja Asgard dengan segala keterikatannya pada latar tempat Asgard. Artinya, Taika Waititi tampak lebih bebas memperlakukan Thor di dunia yang ingin dia ciptakan sepenuhnya, dunia absurd yang jauh dari kesan kaku.

Alasan lain kenapa Thor: Love and Thunder begitu menarik adalah karena kembalinya Natalie Portman sebagai Jane Foster dan ikutnya Christian Bale memerankan karakter villain, Gorr. Jane Foster yang akan menjadi Thor wanita tentu sangat menarik. Namun, yang paling saya nantikan dari kembalinya Jane Foster adalah harapan agar film ini memiliki aspek emosional yang dapat menyeimbangkan liarnya humor Taika Waititi. Sementara Christian Bale, ya Christian Bale, masa aktor sekeren ini tidak digarap dan diperlakukan secara serius?

Melalui Thor: Love and Thunder, Taika Waititi tampak begitu bersenang-senang mengimplementasikan berbagai imajinasi liar dan nakalnya. Jika kalian cocok dengan aspek komedi dalam Thor: Ragnarok, film ini akan menyajikan komedi yang lebih gila lagi. Film ini penuh dengan punchline-punchline yang tidak terduga.

Meskipun film MCU dikenal dengan aspek komedinya, Taika Waititi berhasil memberi kesan yang berbeda pada film keempat Thor ini. Tak seperti film-film MCU pada umumnya yang selama ini terkesan copy paste formula komedi James Gunn (GoTG), Taika Waititi berhasil memberi humor-humor aneh yang penuh kecanggungan dengan timing komedi tak terduga. Sebut saja mulai dari kecentilan Zeus hingga drama yang dibuat dari sang kapak (Stormbreaker) yang begitu posesif. Tentunya keisengan imajinasi nakal seperti ini tidak akan mudah ditiru oleh sutradara lain.

Bukan cuma komedi, imajinasi Taika Waititi juga termasuk liar dalam mengemas berbagai adegan aksi. Mulai dari mengemas aksi Mjolnir di tangan Thor Jane Foster dengan lebih kreatif, penggambaran kekuatan dewa milik Thor, hingga elemen-elemen horor dalam aksi Gorr.

Untungnya, pada Thor: Love and Thunder, aspek komedi dan aksi yang begitu memukau juga diimbangi aspek dramatis yang berhasil ditempatkan pada tempatnya. Seperti yang saya harapkan, munculnya Jane Foster berhasil membawa aspek emosional. Sementara Christian Bale sebagai Gorr diperlakukan dengan baik dalam film ini, bahkan berhasil dibuat menjadi villain terseram sepanjang sejarah MCU.

Motivasi Gorr ini sebenarnya menarik. Ia dilabeli The God Butcher, pembunuh para dewa, lantaran sempat dikecewakan saat masih menghamba. Sayangnya, cerita Thor tidak sedalam itu ketika membahas soal “ketuhanan (atau kedewaan?)” melalui aksi balas dendam Gorr, setidaknya kalah dalam dari Eternals dan Wonder Woman

Gorr memang berhasil menarik simpati penonton. Bukan karena kisahnya yang memang pilu, melainkan karena tingkah dewa-dewa dalam dunia Thor yang ternyata memang brengsek. Hal ini membuat motivasi penonton untuk satu kubu dengan Thor agak sulit, kecuali untuk misi penyelamatan.

Pada akhirnya, Waititi memang masih termasuk lemah dalam menggarap bagian drama film ini. Selain naskah yang tipis, dia juga belum bisa memberi sensitivitas yang tepat. Meski begitu, film ini setidaknya sudah lebih baik dari pendahulunya. Dengan komedi dan aksi yang lebih liar, filmnya masih bisa menyeimbangkan diri dengan tidak melupakan aspek emosi dan serius. 

Film ini termasuk sukses menggambarkan Jane Foster sebagai Thor baru. Waititi berhasil memberi kesan puitis nan tragis ketika Jane yang mengalami kanker stadium 4, berhasil dibuat prima ketika berubah jadi Thor. Akan tetapi di saat bersamaan, Mjolnir juga membuat kondisinya semakin memburuk ketika kembali ke mode manusia biasa.

Dengan kondisi tersebut, Thor: Love and Thunder jadi punya plot yang berjalan mengandalkan emosi yang diantarkan oleh Jane dan Thor. Meski sensitivitas Waititi belum bisa sempurna menggali semua potensi drama dan berbagai adegan emosionalnya, setidaknya film Thor kali ini tidak cuma melucu mengandalkan berbagai kondisi tragis seperti film pendahulunya.

Thor: Love and Thunder mungkin tidak akan disukai tipe penonton yang menuntut cerita serius. Sementara saya dari awal memang sudah berharap pada selera humor Taika Waititi yang aneh. Dan seharusnya orang-orang juga sudah menyadari bahwa sejak film ketiga, film-film Thor di bawah naungan Taika Waititi adalah sebetul-betulnya film komedi milik MCU. Pure comedy.

Jadi, sah-sah saja kalau ada orang yang tidak cocok nonton Thor: Love and Thunder karena masalah selera komedi yang berbeda atau ilfil dengan pengemasannya. Tapi tolong, mengkritik film MCU pakai argumen “tidak memiliki kaitan dengan kontinuitas” itu sangat tidak relevan. Fokuslah dengan cerita di depan layar. Mementingkan kontinuitas dan cameo kalau jadinya kayak Doctor Strange in Multiverse of Madness ya buat apa, jualan gimik cameo doang.

Setidaknya, Thor: Love and Thunder memiliki pembeda melalui set dunia Thor yang begitu absurd, juga gaya komedi yang tidak copy paste. Selain itu, akhirnya ada film MCU yang memiliki credit scene yang benar-benar layak ditunggu, bukan cuma gimik.

Penulis: Muhammad Sabilurrosyad
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 6 Film yang Perlu Ditonton Sebelum Menyaksikan Thor: Love and Thunder.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version