The White Tiger: Menelanjangi Kemiskinan Struktural India dengan Cara Non-Bollywood

‘The White Tiger’ Menelanjangi Kemiskinan Struktural India dengan Cara non-Bollywood terminal mojok.co

‘The White Tiger’ Menelanjangi Kemiskinan Struktural India dengan Cara non-Bollywood terminal mojok.co

Terakhir kali saya menonton film dari India adalah ketika saya menonton film-film yang digawangi oleh Amir Khan, dari mulai Three Idiots (2009), PK (2014), sampai Dangal (2016). Itu adalah film dari India yang bikin saya tidak merasa terganggu karena adegan joget-joget. Masalahnya adegan joget itu membuat saya malah ikutan bergoyang, bukan nonton film. Setelah film-film ini rasanya saya tidak—atau belum—menemukan film India lain yang memiliki tema unik. Sampai akhirnya saya menemukan The White Tiger (2021).

Film garapan Netflix yang sekilas posternya sangat ngepop dan mirip film bergenre coming of age ini digadang-gadang menjadi salah satu film terbaik di awal tahun 2021.

Secara tema dan alur, film ini nggak ndakik-ndakik, tidak seperti film-film India yang pernah saya tonton sebelumnya. The White Tiger secara terang-terangan langsung memperlihatkan apa yang seharusnya terlintas tentang India selain pesona Bollywood-nya. Yak, kemiskinan.

Berdasarkan data dari soschildrensvillages.ca, sekitar 68,8% warga India hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah yang sangat besar jika dilihat dari populasi India yang terbanyak kedua di dunia. Ironisnya, selama Bollywood identik dengan lenggak-lenggok jogetnya dan puser ke mana-mana itu, agaknya baru di tahun ini ada film yang benar-benar menelanjangi kemiskinan secara brutal dan begitu menyentuh jidat kita.

Melalui tokoh utama bernama Balram (Adarsh Gourav), kita dibawa ke sebuah tempat di India yang kumuhnya minta ampun. Meskipun nggak usah jauh-jauh ke India, di Indonesia pun masih banyak daerah kumuh. Namun, ketika saya menonton The White Tiger, rasanya entah mengapa kemiskinan yang ada di India jauh lebih parah. Setidaknya sampai sejauh ini saya belum pernah melihat orang Indonesia yang berak berjamaah sembarangan di pinggir jalan, saking nggak ada toiletnya.

Balram adalah satu dari sekian banyak anak India yang sebenarnya memiliki peluang untuk mendapatkan beasiswa. Namun, karena miskin, ia harus tetap berada di kampung halamannya. Terlebih ketika ayah Balram meninggal, ia menjadi tumpuan keluarga bersama kakaknya. Balrm harus bekerja.

Singkat cerita, Balram pergi ke kota dan menjadi sopir pribadi “sang tuan tanah” kampung halamannya sendiri. Dari sini, konflik mulai muncul. Dari mulai kelicikan Balram untuk menggeser sopir utama yang ternyata seorang Muslim (sang tuan tanah tidak menyukai orang Muslim), majikan yang mabuk dan tidak sengaja menabrak anak kecil, sampai akhirnya Balram harus membunuh majikannya sendiri.

Sekilas, film ini memang mirip dengan Parasite (2019). Namun, menurut saya, latar belakang cerita dan alasan Balram melakukan hal-hal brutal demikian lebih logis ketimbang latar belakang keluarga miskin di Parasite. Dalam film The White Tiger, kemiskinan India tidak hanya digambarkan dengan rumah gubuk yang kumuh atau dengan banyaknya anggota keluarga yang menghuni satu rumah yang sempit. Atau hanya “karena alasan bau badan” harus membunuh majikannya sendiri.

Balram menggambarkan kemiskinan India—atau orang-orang yang seperti dirinya—lebih dari itu. Ia menggambarkan kemiskinan india sebagai ayam-ayam di dalam kurungan yang pasrah melihat ayam lainnya dipenggal di hadapan mereka. Satu-satunya jalan keluar dari kandang itu hanyalah menerima takdir untuk dipenggal. Orang India seperti Balram dan seperti sopir Muslim yang dipecat itu adalah ayam-ayam yang merasa hidup hanya untuk dipenggal. Belenggu kandang yang menjadi penggambaran “kasta” di India, membuat orang-orang miskin di sana hanya menerima keadannya.

Hal ini juga terlihat dari beberapa dialog dan perilaku Balram yang selalu menuruti majikannya. Bahkan ketika ia dipaksa harus mengakui sebagai penabrak anak kecil, Balram tertunduk patuh. Oleh karena kepatuhan ini, beberapa kali anak majikan Balram selalu menanyakan kenapa Balram begitu baik dengannya? Namun, Balram hanya menjawab karena majikannya itu sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.

Uniknya, film ini tidak berakhir dengan dipenjaranya Balram seperti film-film bertema drama sosial biasa atau film-film Hollywood yang bertema kejahatan. Justru di akhir film ini, Balram tidak memilih dipenggal, tapi ia memilih untuk “kabur dari kandang itu”. Ia menjadi seorang bos sopir yang kaya, bahkan ia menerapkan beberapa peraturan yang sangat “baik” terhadap karyawannya. Bisa dikatakan, Balram menjadi seorang yang cukup terpelajar dengan memaknai hidupnya yang terpaksa harus brutal karena sistem sosial di India itu.

Pada akhirnya film ini bukan bercerita tentang bagaimana menjadi orang jahat dan tidak memercayai orang-orang dengan kasta rendah, tapi film ini justru mengkritik kemiskinan struktural yang ada di India. Bagaimana suatu sistem budaya dan kasta yang dipegang teguh dengan alasan “mewarisi tradisi leluhur” ternyata justru yang membuat negara ini menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Dan menurut saya, film ini berhasil menampar itu dengan menghilangkan joget-joget khas Bollywood-nya lalu menggantinya dengan lanskap gambar yang ciamik dan sangat amat kontras antara si miskin dan si kaya.

Nah loh, apa jangan-jangan masalah fundamental di Indonesia juga berakar dari alibi mewarisi tradisi juga?

BACA JUGA Another Round’, Film tentang Alkohol dan Guru Sejarah Membosankan dan tulisan Ananda Bintang lainnya. 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version