The Queen’s Gambit adalah salah satu miniseries Netflix yang paling saya tunggu-tunggu sejak akhir September. Trailer memikat yang menyajikan perempuan muda bermain catur itu bikin saya penasaran tingkat akut.
Setelah kemunculannya di Netflix, nggak pake ba-bi-bu saya pun langsung nonton. Miniseries ini terdiri dari tujuh episode yang tiap episodenya berkisar kurang lebih satu jam. The Queen’s Gambit diangkat dari novel karya Walter Tevis pada 1983 berjudul sama.
Baru aja saya selesai nonton miniseries ini. Ada gejolak tak terbantahkan yang bikin saya bersemangat membagikan apa yang saya rasakan. Singkatnya, semua orang harus tahu betapa gregetnya karya sinema dari sutradara Scott Frank ini.
The Queen’s Gambit punya opening scene yang intens. Saya pribadi sih suka banget. Seorang perempuan muda bernama Elizabeth Harmon (Beth) yang diperankan oleh Anya Taylor Joy terbangun di bathtub kamar hotel Paris setelah pintu kamarnya diketuk nggak sabaran sama petugas hotel. Beth pun terbirit-birit mempersiapkan diri. Ia lari ke lift dengan sepatu yang belum dipakai dengan benar. Lalu ia membuka pintu ruangan di dalam hotel dan voila… jepretan puluhan kamera menyambut wajahnya. Ia pun duduk dengan papan catur di hadapannya. Seorang lelaki paruh baya yang jadi lawan mainnya menatap Beth serius.
Tulisan saya selanjutnya bakal mengandung spoiler, jadi buat yang belum nonton, monggo nonton dulu kalau nggak mau kena spoiler.
Lanjut ya, scene pun flashback ke masa kecil Beth. Beth kecil selamat dari kecelakaan mobil yang menewaskan ibunya. Setelahnya, gadis sembilan tahun itu pun dibawa ke panti asuhan Methuen. Di panti asuhan inilah ada tiga hal krusial yang terjadi pada Beth. Pertama, perkenalan pertamanya dengan “pil hijau” yang sebenarnya adalah obat penenang. Kedua, awal persahabatannya dengan Jolene, anak panti berkulit hitam yang sudah duluan di situ. Ketiga dan yang terpenting, pertemuannya dengan Mr. Shaibel, penjaga sekolah yang mengenalkannya pada permainan catur.
Mr. Shaibel punya peranan yang besar bagi perkembangan bakat Beth. Selain melatih Beth, ia juga mengenalkannya pada Mr. Ganz, pemimpin klub catur di SMA setempat. Setelah berhasil mengalahkan Mr. Shaibel dan Mr. Ganz, Beth pun menyanggupi tawaran bermain catur melawan klub catur SMA secara simultan. Artinya, Beth harus secara berurutan melawan beberapa anak sekaligus. Tentu kemudian doi menang. Indeed, she is super genius!
Beth kemudian diadopsi oleh pasangan suami istri Wheatley. Domestic drama mulai tercium saat Beth tinggal di rumah keluarga Wheatley yang ternyata tidak harmonis. Sehari setelah diadopsi, Mr. Wheatley pergi yang katanya buat urusan bisnis.
Beth pun makin memperdalam ilmu catur hingga mengikuti turnamen demi turnamen. Semakin banyak orang yang ia kalahkan, ia pun naik peringkat. Di salah satu turnamen, ia melawan pecatur bernama Townes yang kemudian menjadi cinta pertamanya. Sementara itu, pencapaian terbesar Beth di turnamen lokal adalah kemenangannya melawan pecatur Harry Beltik.
Nama Beth pun semakin dikenal. Semakin banyak turnamen ia ikuti. Semakin banyak hadiah uang ia dapatkan. Beth bersama Mrs. Wheatley pergi dari satu turnamen ke turnamen lain, sebut saja Kentucky, Cincinnati, Mexico, Paris, hingga Rusia. Dari seluruh lawan main Beth, seingat saya hanya 2 orang yang berhasil mengalahkan Beth. Yang pertama adalah Benny Watts yang diperankan oleh Thomas Brodie Sangster. Yang kedua adalah Borgov, juara dunia catur dari Rusia, satu-satunya lawan yang ditakuti Beth.
The Queen’s Gambit punya storyline yang padat dan mumpuni. Tiap episode memberi perkembangan karakter Beth serupa coming-of-age drama. Nggak melulu berkutat tentang catur, miniseries ini juga menyinggung sisi psikologis Beth, trauma broken home yang terjadi dua kali, ambisi dan obsesinya pada catur, adiksinya pada alkohol dan obat penenang, hubungannya dengan lelaki, serta gaya hidup glamour yang ia jalani sebagai pecatur dunia.
Tim desain produksi juga perlu diapresiasi. Suasana Amerika dan kota-kota lain pada 1960-an sangat kental terasa. Interior rumah, interior hotel, dan fashion Beth sendiri tak kalah menarik. Turnamen catur dibuat begitu serius dan glamor. Seolah-olah menekankan kalau pada masa itu, catur adalah kompetisi yang worth to die for. Tak hanya itu, scoring opera dari Carlos Rivera juga menambah nyawa pada series ini. Dengan pace yang cukup, sinematografi series ini juga sama sekali nggak membosankan.
Untuk sebuah cerita yang female-centric, saya nggak bisa menyangkal kalau The Queen’s Gambit mengangkat isu feminisme yang sangat kentara. Mr. Shaibel pernah bilang pada Beth bahwa, “Girls do not play chess”. Tapi Beth tetep keukeuh hidup di dunia percaturan. Memenangi dunia yang dikuasai para lelaki.
The Queen’s Gambit juga sempat menyinggung isu rasisme. Seperti pada saat Jolene dan Beth melihat seorang anak panti diadopsi lebih dulu, Jolene berkata, “Nobody’s gonna come for us now. We’re too old. Or too black.” Atau saat Mrs. Wheatley menanggapi Beth yang ingin bekerja part time untuk membeli papan catur, “The only girls of your age who work are colored”.
Mengulik dari sisi romance cerita Beth, dari hubungannya dengan Townes, Beltik, dan Watts, saya paling tertarik pada sikap soft nan perhatiannya Beltik. Scene keduanya yang memukau saya adalah ketika Beltik pamit dari rumah Beth. Beltik nggak sengaja tahu kalau Beth mengonsumsi obat penenang. Saat berpamitan, Beltik memberikan buku tentang pecatur Paul Morphy. Morphy dikenal terbiasa begadang sebelum pertandingan, minum di kafe, dan mengobrol dengan orang asing. Lalu keesokan harinya, Morphy bertanding seperti hiu (dalam arti menyerang tanpa ampun).
Namun, kemudian ia pensiun di usia 22 tahun dan mengidap paranoia, hingga dijuluki “the pride and sorrow of chess”. Beth pun bertanya apakah Beltik berpikir Beth akan seperti Morphy. Jawaban Beltik begitu menohok, “I think maybe it’s always been you.” sambil menunjukkan botol pil Beth, Beltik berpesan, “Be careful, Beth”.
Judul The Queen’s Gambit diambil dari salah satu opening move permainan catur. Taktik ini punya kesan menyerang lawan, sama seperti Beth yang punya segumpal lecutan dalam dirinya yang membuatnya menjadi penyerang handal. Suka atau tidak suka catur, bisa atau tidak bisa, saya sarankan kalian menonton series yang satu ini. Perjalanan cerita dan aftertaste-nya tiada dua!
Sumber gambar: Netflix
BACA JUGA Seharusnya, Standar Penegak Hukum Itu kayak Nicholas Angel dan tulisan Maria Monasias Nataliani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.