The Medium: Film Horor Found Footage, tapi Kameramennya Bikin Bingung

The Medium: Film Horor Found Footage, tapi Kameramennya Bikin Bingung terminal mojok.co

The Medium: Film Horor Found Footage, tapi Kameramennya Bikin Bingung terminal mojok.co

Teknik found footage telah beberapa kali digunakan untuk mengemas film horor. Hasilnya, berbagai film masterpiece terlahir dengan kemasan teknis satu ini. Sebut saja seperti, The Blair Witch Project, Paranormal Activity, Rec, bahkan film horor lokal yang sering diakui seram bagi penonton Indonesia, Keramat.

Teknik ini memang terasa cukup ampuh memberikan rasa cekam untuk penonton. Found footage bisa menghasilkan sensasi nuansa horor di mana penonton seolah lebih masuk dan berada pada dunia yang ditontonnya, yaitu berada di posisi sudut pandang perekam atau kameramen. Oleh karena itu, jumpscare dalam film teknis seperti ini memiliki sensasi menyeramkan tersendiri karena sensasi yang terasa lebih nyata.

Found footage ini juga merupakan medium storytelling yang dipakai film The Medium, film horor terbaru kolaborasi antara Thailand dan Korea Selatan. Film ini disutradarai oleh Banjong Pisanthanakun, sosok di balik beberapa masterpiece horor Thailand seperti Shutter, Pee Mak, dan 4Bia.

Di kursi produser, ada nama Na Hong-Jin, sosok di balik salah satu film horor terbaik Korea Selatan, The Wailing. Mereka berkolaborasi membuat film yang terpilih sebagai best feature film di 25th Bucheon International Fantastic Film Festival.

The Medium dibuka dengan wawancara seorang dukun bernama Nim. Mereka membicarakan hal-hal seputar pekerjaannya sebagai dukun, fenomena dukun di Thailand, serta hal-hal yang dipercayainya. Awalnya, saya pikir ini adalah film dokumenter. Rupanya, saya baru memahami kalau film ini dikemas secara mokumenter, atau cerita fiksi yang dikemas ala dokumenter. Found footage memang memiliki beberapa teknik sinematik, bukan cuma first-person perspective, mokumenter juga termasuk.

Cerita kemudian bergulir memperlihatkan Nim yang harus berhadapan dengan keluarga Kakaknya, Noi. Ternyata, kejadian supranatural menimpa keluarga itu. Ming, keponakannya, mulai bersikap aneh di mana perilaku tidak wajar sering dilakukan olehnya. Nim selaku dukun, sudah merasa ada yang tidak beres dan berusaha menolong Ming.

The Medium memiliki jalinan narasi yang sabar nan perlahan dalam merajut cerita dan keseramannya. Film ini mengingatkan saya pada film The Wailing, padahal ini bukan film found footage. Adalah kesabarannya membangun aspek-aspek seperti cerita, keseraman, dan tensinya yang membuat kedua film ini terasa familiar. Belum lagi, kedua film ini sama-sama membahas dukun. Ini adalah aspek yang saya anggap positif karena film ini berhasil membangun keseraman melalui penguakan misteri, yang dalam kasus film ini adalah soal perilaku aneh Ming.

Kita akan menyaksikan transformasi perubahan perilaku Ming secara perlahan dan detail, dan rupanya hal inilah yang bagi saya terasa seram dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Sejujurnya, tidak disangka kalau saya berhasil merasa ketakutan lewat perilaku seseorang yang terasa aneh. Entah apa kata yang tepat, apa bisa disebut tidak manusiawi atau tidak bermoral?

Saya jadi kepikiran sesuatu, yang sebenarnya tidak berhubungan amat sama kandungan filmnya. Apakah perbuatan setan yang menyeramkan buat manusia itu mengenai perbuatan yang tidak pada tempatnya? Maksudnya, Ming seolah saya anggap menjadi representasi setan yang tingkahnya menyeramkan karena berperilaku tidak pada tempatnya, seperti melakukan permainan anak-anak sembari mengganggu anak kecil, berhubungan intim di tempat umum, hingga bertingkah seperti binatang.

Segala perilaku Ming yang tidak pada tempatnya itu berhasil memunculkan perasaan menakutkan dan tidak nyaman buat saya. Dan itu adalah perasaan menakutkan yang unik, yang bisa ditimbulkan oleh film horror.

Terlepas dari ceritanya yang menarik dan efek seram unik yang ditimbulkan, saya tetap tidak bisa merasa abai pada peran kameramen dalam film ini. Dalam film found footage yang pernah saya tonton, biasanya kameramen adalah bagian dari pemeran pendukung yang memiliki fungsi dalam cerita. Artinya, kameramen juga memiliki karakter, dan dengan karakter itu dia menjadi mata penonton.

Sayangnya, para kameramen di film ini tidak memiliki karakter. Dengan hal itu, kameramen ini jadi seolah-olah punya hak untuk dianggap invincible. Dan hal ini terasa mengganjal buat saya.

Found footage memiliki limitasi pada apa yang bisa kita lihat karena terbatas pada apa yang tertangkap kamera saja. Dan salah satu tantangan teknik ini adalah bagaimana membuat alasan untuk memaklumi kenapa ada kamera di sana. Hal ini lah yang cukup mengganggu saya.

Saya merasa ada ketidakkonsistenan dari bagaimana orang-orang yang direkam bersikap pada kameramen. Ada kalanya, orang-orang yang direkam ini terganggu dengan kehadiran kameramen, dan ini memberi dimensi nyata yang meyakinkan bahwa ada yang terganggu pada seseorang yang ke mana-mana membawa kamera.

Tapi di sisi lain, ada kalanya kameramen dianggap tak terlihat, tidak terasa mengganggu, bahkan kamera berhasil mengeksplorasi ruang-ruang yang terasa privat bagi orang yang direkam. Hal ini tidak bisa dihindari membuat pengalaman menonton saya agak sedikit tidak nyaman. Maka dari itu, saya merasa bingung pada tingkah kameramen ini.

Pada akhirnya, saya mencoba bersikap untuk mengabaikan persoalan kamera ini. Karena ketika otak saya mencoba mengabaikan hal mengganjal satu itu, saya bisa merasakan bagaimana film dengan teknik found footage ini berhasil menciptakan gambar-gambar yang memang terasa bagus, entah itu untuk menghasilkan efek mencekam atau untuk tujuan estetika.

Yah, film ini memang tidak sempurna. Selain masalah kamera yang mengganjal, film ini juga memiliki babak ketiga yang terlalu liar sehingga berakhir dengan perasaan tidak memuaskan buat saya. Tapi, menimbang aspek kelebihannya, sulit dimungkiri bahwa The Medium memiliki nuansa horor yang unik dengan gaya bercerita yang juga unik. Sehingga, The Medium bisa menjadi opsi menghibur untuk ditambahkan ke watchlist horor Anda di bulan Halloween ini.

Sumber Gambar: YouTube GVPictures

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version