“Multiverse lagi, multiverse lagi.”
Itulah kata-kata yang langsung muncul di pikiran saya sehabis menyaksikan The Flash. Sejujurnya, saya datang ke bioskop dengan ekspektasi tinggi. Pemikiran itu muncul setelah saya membaca beberapa ulasan tentang film tersebut di media sosial. Tak sedikit orang yang menyebut karya layar lebar arahan sutradara Andres Muschietti ini sebagai film superhero yang menghibur, enjoyable, memiliki jalan cerita yang menarik, dan mempunyai banyak nilai positif lainnya.
Akan tetapi, setelah saya menontonnya dengan mata-kepala sendiri, saya justru berpikir bahwa The Flash adalah sebuah film yang B aja. Menurut saya, The Flash adalah apa yang terjadi ketika topik multiverse sudah mencapai titik jenuhnya.
Daftar Isi
Titik jenuh multiverse di film superhero
Beberapa waktu terakhir, banyak sekali film pahlawan super yang mengangkat kisah mengenai multiverse. Selain The Flash, ada pula judul-judul lain seperti Spider-Man: No Way Home, Doctor Strange in the Multiverse of Madness, dan yang masih hangat, Spider-Man: Across the Spider-Verse. Kesemua judul tersebut mengandung tema yang serupa: membahas perihal adanya sebuah dunia alternatif di mana segala sesuatu berjalan berbeda dengan apa yang terjadi di dunia yang kita kenal selama ini. Pada mulanya, konsep tersebut terasa orisinil dan sukses menggugah hati saya. Namun, lama-kelamaan, ketertarikan saya itu mulai sirna dan menemui titik jenuh.
The Flash adalah sebuah film yang terjebak dalam masalah tersebut; ia menjadi sebuah pengulangan akan apa yang selalu ditawarkan dari sebuah karya sinema dengan topik multiverse. Baiklah, untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas, mungkin akan lebih baik jika saya sedikit memberikan sinopsisnya.
Jadi, Barry Allen (Ezra Miller), sang The Flash, dengan kecepatan kilatnya berlari menembus ruang waktu untuk kembali ke masa lalu. Ia ingin menyelamatkan ibunya yang terbunuh secara misterius saat ia masih belia. Dan apa yang Barry usahakan memang terbukti membuahkan hasil. Ibunya tidak jadi meninggal dunia. Ayahnya tidak jadi masuk penjara akibat dituduh membunuh sang ibu. Apakah semuanya berjalan semulus itu hingga credit title muncul? Tentu tidak, dong.
Pada intinya, tindakan Barry itu justru membawa kita ke sebuah multiverse; ke sebuah dunia alternatif. Nahasnya, multiverse di film ini sama sekali tidak menawarkan hal yang baru. Semuanya sudah saya temukan di film-film bertema serupa yang sebelumnya telah saya sebutkan. Deretan cameo dari tokoh-tokoh familier? Check. Penjelasan ribet tentang fenomena multiverse? Check. Penjahat besar yang muncul akibat ulah sang protagonis utama? Check. Jadi intinya, The Flash seperti hanya mengulang praktik penggunaan multiverse tanpa menambahkan bumbu-bumbu inovasi yang dapat menjadi penyegar. Maka dari itu, tak heran jika saya menyebutnya sebagai sesuatu yang menjenuhkan, bukan?
Tidak menawarkan banyak momen memorable
Faktor lainnya yang membuat saya kurang menyukai The Flash adalah bagi saya, film ini tidak menawarkan banyak momen memorable. Oke, opening scene-nya cukup seru untuk disimak. Setelah sekian lama, akhirnya para penonton kembali diberikan kesempatan untuk berjumpa kembali dengan “tokoh-tokoh itu”—mungkin untuk yang terakhir kalinya. Namun selebihnya, menurut saya tidak betul-betul ada scene yang membekas di ingatan saya; membuat saya terkesima dan seketika mengucapkan kata “wow” ketika menyaksikannya.
Saya tidak terkejut ketika melihat Batman versi Michael Keaton muncul kembali di film ini. Toh, hal itu sudah ditampilkan di dalam media promosinya. Begitu pun ketika Kara Zor-El (Sasha Calle), sang Supergirl, beraksi dengan begitu gagahnya. Semuanya tidak memberikan efek kejut yang membuat saya jadi tercengang. Bahkan, ketika film ini memasuki babak final battle, saya juga tidak terlalu merasakan ketegangan apa-apa.
Itu bukan berarti adegan-adegan aksi di film ini tidak seru, tidak seperti itu. Scene-scene tersebut tidaklah buruk, tetapi tidak istimewa juga. Lagi-lagi, mungkin karena saya melihatnya sebagai sebuah pengulangan saja dari film-film superhero lainnya. Momen setiap kali The Flash berlari secepat kilat pun juga terasa biasa saja bagi saya. Entahlah, semuanya terasa menjemukan.
Dari segi cerita, The Flash juga tidak terasa superior dari film-film superhero lainnya. Lucunya, saya justru lebih tertarik dengan konflik-konflik humanisnya, seperti betapa Barry ingin bisa menyelamatkan ibunya, atau ketika ia ingin membebaskan ayahnya dari penjara, daripada perseturuan ala superhero-nya. Ketika layar bioskop menampilkan interaksi antara Barry dengan orang tuanya, saya seketika peduli dengan tokoh Barry Allen
Namun, ketika ia telah mengenakan kostum merah berlambang kilatnya, saya malah bodoh amat. Sebagai film superhero, tentu cukup menjadi ironi ketika aspek dramanya lebih menarik dibandingkan aspek kepahlawanannya. Sialnya, The Flash terjebak dalam permasalahan tersebut.
Ezra Miller patut diacungi jempol
Sedari tadi, saya terus membahas kekurangan-kekurangan dari film ini. Maka dari itu, di poin ini saya akan berbicara mengenai nilai positifnya, yaitu akting Ezra Miller yang patut diacungi jempol. Saya bukan pakar di dunia seni peran, tetapi saya berani menyebut bahwa aktor 30 tahun itu telah melaksanakan pekerjaannya dengan sangat baik di sini. Bukan hal yang mudah untuk memerankan dua versi Barry Allen yang memiliki perbedaan masing-masing dalam hal kepribadian. Namun, Ezra sukses menyuguhkan itu; membuat Barry versinya menjadi karakter yang mampu meraih simpati dan kepedulian penonton.
Selain Barry, aktor lainnya yang bagi saya cukup menonjol adalah Michael Keaton dan Sasha Calle. Mereka memerankan tokoh yang dapat dikatakan menjadi nilai jual terbesar dari film ini. Para penggemar tentu sangat menantikan comeback-nya Keaton sebagai Batman dan debut Supergirl di semesta DCEU. Meskipun waktu kemunculan mereka hanyalah di babak pertengahan hingga akhir film, tetapi mereka dapat memberikan performa yang baik; tidak buruk, walaupun sekali lagi, tidak begitu spesial juga. Akan tetapi, karena saya adalah fans berat DC Comics yang sangat menunggu kemunculan mereka, saya masih akan memberikan nilai plus bagi penampilan keduanya di The Flash.
Itulah ulasan singkat saya mengenai The Flash. Bagi saya, film ini adalah apa yang terjadi ketika topik mengenai multiverse di film superhero sudah mencapai titik jenuhnya. Tidak ada lagi hal-hal menyegarkan yang baru dan orisinil. Apa yang ditampilkan di sini bagi saya hanyalah repetisi dari film-film bertema serupa.
Maka dari itu, secara keseluruhan, The Flash gagal membayar ekspektasi saya yang memang sangatlah tinggi. Jika saya diminta untuk memberikan nilai, maka rating 7/10 rasanya pantas saya berikan kepada karya sinema berdurasi 2 jam 35 menit ini. Tidak buruk sampai saya ingin keluar ruangan di tengah pemutaran. Tetapi juga tidak istimewa lantas membuat saya bisa pulang ke rumah dengan senyum merekah.
Sumber gambar: Akun Instagram The Flash
Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA The Batman: Film Superhero kok Begini?