Masa sih orang Jepang religius?
Mungkin itulah pertama kali yang kita sangsikan saat mendengar pernyataan bahwa orang Jepang sangat religius. Banyak anak muda Jepang yang memilih untuk nggak percaya agama, lho. Mereka bahkan mencampur adukkan agama: saat natal ikut merayakan natal dengan makan ayam goreng, tahun baru pergi ke kuil Shinto atau kuil Buddha, dan saat upacara kematian diselenggarakan dalam agama Buddha.
Lantas, kenapa mereka disebut religius?
Kamisama, tasukete kudasai (Tuhan, tolong saya!)
Sebenarnya saya sangat jarang mendengar teman-teman saya menyebut “Kamisama” dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, pernah sekali saya mendengar seorang teman Jepang yang memohon supaya nggak turun hujan, “Kamisama, onegaishimasu.” (Tuhan, tolong!) sambil memasang teru teru bozu di kamarnya. Teru teru bozu, teru bozu, ashita tenki ini shite o-kure. Saya pikir itu hanyalah adegan dalam dorama Jepang, tapi saya menyaksikannya sendiri.
Malam hari menjelang piknik atau hari olahraga, biasanya murid sekolah membuat teru teru bozu dan menggantungkannya di depan jendela rumahnya. Tentu saja mereka berharap agar keesokan harinya cuaca cerah dan nggak hujan.
Anak saya juga pernah mendengar temannya bilang, “Kamisama, tasukete kudasai!” saat bertanding sepak bola dengan tim lain. Pernah dengar cerita anak teman juga sering mendengar kalimat itu saat menjelang ulangan di kelas. Jadi, sadar atau nggak sadar, sebenarnya anak kecil Jepang sudah mengenal Kamisama (Tuhan) sejak kecil.
Sebelum makan, mereka juga mengucapkan, “Itadakimasu,” yang artinya sangat erat dengan rasa berterima kasih dan bersyukur karena sudah diberi nikmat makanan. Selesai makan pun mereka mengucapkan, “Gochisousamadeshita,” untuk bersyukur atas makanannya.
Orang Jepang juga memanggil biksu untuk mendoakan mobil baru atau saat mereka akan membangun rumah baru. Bos tempat saya part time dulu juga memasang semacam jimat di atas pintu masuk toko. Mungkin dengan harapan agar dagangannya laris manis, ya. Sebagai karyawan sih saya tahunya ya berusaha menarik perhatian para wisatawan agar mau mampir ke toko oleh-oleh kami.
Ngomongin jimat (omamori), di kuil Shinto (jinja) maupun kuil Buddha (o-tera), banyak sekali dijual bermacam-macam jimat. Ada jimat enteng jodoh, jimat kesehatan, jimat lahiran lancar, jimat lulus ujian, dll. Orang Jepang juga membeli ini, kok. Selain omamori, ada juga ema dan omikuji tempat mereka menuliskan doa dan harapan mereka. Biasanya, ema dan omikuji digantung di kuil tempat mereka berdoa.
Selain omamori, ema, dan omikuji, orang Jepang juga memberikan sajen bunga (osonae) di kuil kecil pinggir jalan. Di dalam rumah, mereka memiliki tempat untuk melakukan ritual doa juga, kok, dan ini disebut butsudan.
Meski orang Jepang bilang nggak percaya Tuhan, kenyataannya mereka “selalu” berdoa kepada Tuhan mereka. Jadi, sebenarnya mereka percaya Tuhan versi mereka dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Itulah kenapa orang Jepang disebut religius.
Ritual keagamaan
Tahun baru di Jepang nggak diisi dengan ingar bingar meriahnya kembang api. Kalaupun ada, biasanya hanya dilakukan di kota besar seperti Tokyo, tetapi itupun jarang. Suasana tahun baru cenderung sepi dan sunyi karena semua anggota keluarga berkumpul di rumah. Orang Jepang menghabiskan malam tahun baru mereka di kuil, baik kuil Shinto maupun kuil Buddha.
Menjelang detik-detik tahun berganti, biasanya dimulai sejak 11 malam, mereka pergi ke kuil terdekat untuk berdoa. Budaya ini dikenal dengan hatsumode alias pergi mengunjungi kuil pertama pada awal tahun baru dengan harapan tahun ini diberi keberkahan dan kebaikan. Lonceng akan dibunyikan oleh pemuka agama sebanyak 108 kali. Sebenarnya hatsumode nggak harus selalu dilakukan pada malam hari menjelang tahun baru, sih. Pada hari ke-2 dan ke-3 tahun baru juga masih penuh dengan antrean orang yang berdoa di kuil.
Saya pernah dengan sengaja berkunjung ke kuil pada malam tahun baru ini karena sangat penasaran dengan ritual keagamaan orang Jepang. Sebenarnya alasan utamanya juga karena kuil dibuka gratis—biasanya bayar 500 yen—untuk umum dari jam 00.01 sampai 06.00 tanggal 1 Januari. Sekitar jam 4 pagi, saya nekat bersepeda di tengah dinginnya dini hari kala itu.
Ternyata memang benar antrean sangat mengular, baik di kuil Buddha maupun kuil Shinto dekat tempat tinggal saya. Saya terharu melihat mereka melempar koin dan khusyuk berdoa. Saya juga sempat bertemu dengan seorang teman Jepang yang ikut antre dan saat bertemu dengannya di tempat kerja, dia menceritakan hatsumode-nya.
Selain ritual tahun baru yang penuh dengan doa dan harapan, orang Jepang juga melakukan ritual keagamaan di kuil Shinto seperti upacara kelahiran pada sebulan setelah bayi lahir dan pada saat anak berusia 3, 5, 7 tahun. Semua ritual tersebut untuk mendoakan kesehatan dan keselamatan anak. Upacara kematian biasanya diadakan dalam agama Buddha dengan mengundang biksu dan memasang altar Buddha di makam mereka.
Saat obon, mereka juga pulang ke kampung halaman untuk mendoakan arwah nenek moyang mereka. Mereka berdoa di pemakaman dengan mengundang pemuka agama untuk memimpin doa mereka. Ritual doa setelah 49 minggu, 1, 3, 5, dan 10 tahun juga mereka lakukan.
Memilih untuk “tidak percaya = tidak mau ribet”
Saat ditanya apakah orang Jepang percaya Tuhan, mereka biasanya memilih untuk menjawab nggak percaya. Alasan utamanya karena mereka nggak mau ribet. Mengundang pemuka agama untuk mendoakan tentu harus merogoh kocek dalam-dalam. Bahkan saat sibuk, mereka juga harus booking pemuka agama ini. Tarif pemuka agama untuk upacara tertentu juga sudah ditentukan, lho.
Di Jepang, urusan agama ini nggak diatur dalam undang-undang. Agamamu apa, nggak bakal ditulis di dalam KTP juga. Nikah saja yang penting sah dengan selembar surat. Urusan “ritual” ya boleh saja di gereja, kuil Shinto, maupun kuil Buddha.
Orang Jepang juga nggak fanatik terhadap agama dan kepercayaan yang mereka anut. Urusan agama nggak boleh mengganggu profesionalisme. Kerja ya kerja, mau salat ya hanya saat jam istirahat. Begitu yang saya rasakan dulu.
Agama menjadi urusan pribadi, bukan sesuatu yang harus digembor-gemborkan. Meski mereka memilih untuk bilang nggak percaya Tuhan, kenyataannya akhlak mereka terkadang melebihi kita yang mengatakan dengan bangganya bahwa saya adalah penganut agama ini itu. Mungkin karena tak mau ribet.
Kamisama memang berarti Tuhan, tetapi Tuhan-nya orang Jepang itu ada banyak. Di mana-mana ada Kamisama. Pengertian Tuhan ini mungkin kacau antara Tuhan yang Maha Tunggal dan dewa-dewi yang banyak atau apa pun yang dianggap hebat.
Jadi, bisa disimpulkan kalau orang Jepang itu sebenarnya justru ber-Tuhan banyak alias politeisme, bukan ateisme (nggak percaya Tuhan=nggak beragama). Pokoknya Tuhan mana saja hayuk, asal doa dan harapannya dikabulkan.
Sumber Gambar: Unsplash