Terminal Mojok Mengubah Pandangan Saya tentang Jogja

ha milik tanah klitih tingkat kemiskinan jogja klitih warga jogja lagu tentang jogja sesuatu di jogja yogyakarta kla project nostalgia perusak jogja terminal mojok

warga jogja lagu tentang jogja sesuatu di jogja yogyakarta kla project nostalgia perusak jogja terminal mojok

Beberapa minggu ini, saya jadi orang yang sibuk. Bukan bermaksud sombong, tapi memang ada beberapa tugas di sekolah yang datangnya keroyokan kayak anak STM. Ndilalah, deadline-nya mepet-mepet. Hidup udah berasa kata robot aja. Nggak asik blas. Suami pun sama. Sungguh minggu-minggu ini adalah minggu yang melelahkan bagi kami berdua. Bikin saya jadi nggak sempet nulis di Terminal Mojok.

Tapi, meskipun sibuk kami tidak pernah kehilangan waktu untuk duduk bareng dan ngobrol tentang apa saja. Nah, di salah satu obrolan kami, tiba-tiba suami bilang dia kangen Jogja. Dia menyarankan bagaimana kalau nanti, saat pekerjaan sudah mulai longgar, sekeluarga  jalan-jalan ke Jogja? Itung-itung refreshing. Botak juga kali terus-terusan uplek pekerjaan.

Saya meringis. Dari sekian banyak tempat, kenapa harus Jogja? Padahal terhitung sudah berkali-kali kami sekeluarga ke Jogja. Ternyata, ide jalan-jalan ke Jogja itu berawal dari Indomaret. Jadi, pas beli jajan buat anak-anak di Indomaret, ada lagu tentang Jogja yang kebetulan sedang diputar. Lagu itu begitu membekas dan terngiang-ngiang meski sudah sampai rumah. Saking penasarannya, suami sampai cari tahu di google lagu apa yang tadi dia dengar di Indomaret.

Thanks to Google, akhirnya terjawab sudah rasa penasaran itu. Ternyata, lagu yang suami saya dengar adalah lagu berjudul “Sesuatu di Jogja” yang dinyanyikan oleh Adhitia Sofyan. Bukan lagu baru, memang. Tapi itu adalah kali pertama lagunya nyangkut di telinga sampai kebawa ke hati.

“Jogja itu penuh kenangan. Bikin kangen.” Begitu suami saya berujar.

Mendengarnya, saya jadi pengen ketawa. Secara ajaib kalimat itu mengingatkan saya dengan banyaknya tulisan-tulisan tentang Jogja yang pernah dimuat di Terminal Mojok. Dan ndilalah tulisan-tulisan yang saya ingat adalah tulisan tentang Jogja yang nadanya ngeledek.

“Jogja aslinya nggak begitu kok, Yah.” Kata saya.

Saya sendiri heran kenapa sampai harus keluar kalimat seperti itu. Lha wong aslinya kan kepenak. Saya tinggal ‘yain aja ajakan suami buat berlibur ke Jogja. Ini kok malah adu argumen. Tapi, sudah terlambat untuk menyesal. Kata sudah telanjur terucap. Tidak ada pilihan lain selain melanjutkan apa yang sudah saya mulai.

Maka, mulailah saya bercerita tentang Jogja versi penulis-penulis Terminal Mojok. Maklum, suami saya memang bukan pembaca Mojok dan Terminal Mojok. Lebih tepatnya, tidak suka membaca. Lha wong tulisan-tulisan saya saja baru kemarin-kemarin dia baca. Itu pun setelah saya ledek, ada tulisan istri dimuat kok nggak pernah dibaca? Hehehe…

Saya mengawali cerita dengan menyebutkan bahwa tiap sudut di Jogja bukanlah kenangan tapi penginapan. Bahwa UMR Jogja itu rendah sampai-sampai cara terbaik untuk punya rumah di Jogja adalah dengan menang undian di mal terbesar di Jogja dulu, bahwa Jogja adalah hasil romantisasi para musisi, dan lain-lain. Intinya, saya sampaikan apapun tentang Jogja yang saya ingat pernah saya baca di Terminal Mojok. Tapi maaf, untuk siapa penulisnya, saya lupa.

“Tapi suasana di sana memang bikin kangen, kok!” kata suami setelah mendengar argumen saya.

Saya meringis. Diam-diam mengakui juga apa yang baru saja suami katakan. Memang, dari beberapa kota yang pernah kami singgahi, Jogja jadi destinasi yang rasanya membuat kami selalu ingin kembali lagi dan lagi. Nggak tau kenapa.

Mungkin ini ada kaitannya dengan pepatah Jawa yang menyebutkan “Adoh mambu wangi, perek mambu tai”. Pepatah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan dua saudara yang berbeda perlakuan karena yang satu jauh dari orang tua, yang satu dekat atau tinggal bersama. Nah, yang tinggal jauh ini, mambu wangi, bau harum. Begitu datang langsung dielu-elukan. Tapi, yang tinggal bareng, mambu tai alias bau kotoran. Tidak dihargai padahal merekalah yang mengurus semua kebutuhan tiap harinya.

Barangkali, pepatah itu cocok pula untuk Jogja. Bagi warga Jogja, Jogja mungkin tidak seromantis itu. Tapi, bagi orang di luar Jogja, Jogja itu “mambu wangi”. Jadi wajar rasanya bila kemudian muncul perasaan ingin kembali lagi dan lagi ke Jogja.

Pada akhirnya, jika Jogja adalah agama, untukmu agamamu dan untukku agamaku. Yang mau bilang Jogja adalah hasil dari romantisasi ya monggo, yang mau keukeuh menyebut tiap sudut di Jogja adalah kenangan seperti suami saya ya silakan.

BACA JUGA 6 Celetukan yang Sering Keluar Saat Nonton Film Horor atau artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version