Terminal Janti: Gerbang untuk Pulang, Rindu, dan Patah Hati

 Terminal Janti: Gerbang untuk Pulang, Rindu, dan Patah Hati di jogja

 Terminal Janti: Gerbang untuk Pulang, Rindu, dan Patah Hati (RizkyJogja via Wikimedia Commons)

Jogja punya dua terminal bus utama: Giwangan dan Jombor. Meskipun ada beberapa lokasi terminal lain, namun dua terminal ini lebih terkenal. Tapi ada satu lokasi “terminal” lain yang sama-sama terkenal. Yaitu “Terminal” Janti. Dan bagi saya, “Terminal” Janti lebih romantis dari dua terminal sebelumnya.

“Terminal” ini lebih erat dengan kata pulang dan rindu . Menjadi gerbang yang menyambut sekaligus melepas cinta seseorang pada Jogja. Sekaligus menghubungkan dua kerajaan penerus Mataram

Sayang sekali, Terminal Janti terlewat dari daftar inspirasi lagu Almarhum Didi Kempot, juga tidak diabadikan oleh NDX AKA. Padahal ada cinta yang patah, rasa yang tumbuh, dan rindu yang besar di terminal ini. Mungkin ada musisi yang mau menangkap romantisnya Janti? Gapapa, biar ada alternatif selain romantisasi keistimewaan yang embuh itu.

Terminal Janti yang bukan terminal, penyambung dua monarki

Mengapa saya tadi menulis Terminal Janti dalam tanda kutip? Karena tidak ada terminal bus di daerah Janti. Terminal Janti sejatinya hanya bagian dari jalur utama keluar masuk Jogja. Tapi, banyak bus yang biasa ngetem alias menunggu penumpang di jalur tersebut. Maka sepotong jalan ini menjadi terminal tidak resmi.

Meskipun tidak resmi, Terminal Janti tetap bernuansa terminal. Ia dipenuhi deretan kios penjual tiket, warung nasi rames, penginapan, dan penitipan kendaraan bermotor. Menilik dari bangunan di sekitarnya, Terminal Janti mungkin sudah berumur puluhan tahun. Saya sendiri sulit mencari literatur kapan area Janti mulai jadi terminal. Tapi kalau ibu saya bilang terminal tersebut sudah ada sejak ia kecil, pasti sudah puluhan tahun.

Terminal ini juga seperti penghubung dua monarki warisan Kerajaan Mataram: Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Maklum, lokasinya ada di ruas jalan Jogja-Solo. Banyak warga Jogja yang berangkat ke Solo akan naik bus dari Janti. Sedangkan warga Solo banyak yang memilih turun bus di Janti juga. Pergerakan manusia dari dua monarki ini disaksikan oleh pilar-pilar penyangga flyover Janti. Namun bukan ini alasan Janti jadi romantis.

Romantis karena mahasiswa

Alasan utama Janti jadi romantis adalah mahasiswa. Maklum, lokasinya cukup dekat dengan wilayah tempat para mahasiswa tinggal dan menggali ilmu. Paling dekat ada Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Utara sedikit ada YKPN. Nanti kalau lurus mengikuti Jalan Jogja-Solo akan ketemu UIN Sunan Kalijaga. Dan ke barat sedikit lagi akan ketemu Universitas Sanata Dharma, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Gadjah Mada. Dan masih banyak kampus lain yang dekat dengan Janti.

Mahasiswa dari wilayah timur Jogja pasti akrab dengan Terminal Janti. Mungkin terminal ini juga yang menyambut kedatangan mereka saat tes maupun menjadi maba. Terutama bagi mahasiswa yang tidak memiliki alternatif transportasi lain. Entah daerahnya tidak dilalui jalur kereta, atau tidak ada mobil dinas pinjaman negara. Bagi mahasiswa ini, masih lebih masuk akal untuk turun atau naik bus dari Janti daripada terminal resmi lain yang lebih jauh. Apalagi kalau mereka berharap pada tumpangan teman.

Mereka yang datang pertama kali tentu membawa sejuta harapan. Dan yang pergi meninggalkan sejuta kenangan. Saya berkali-kali mengantar kawan yang harus hengkang dari Jogja ke Terminal Janti. Berpisah hingga entah kapan bisa bertemu lagi. “Aku bakal kangen Jogja” menjadi kalimat yang selalu saya dengar. Dan sudah pasti tiang penyangga Flyover Janti mendengar lebih banyak kalimat ini.

Pastinya, Flyover Janti merasakan banyak cinta, mendengar banyak doa, dan melihat banyak tangis yang terpanjat. Cinta, doa, dan tangis, itu selalu diawali oleh dua hal ini: pertemuan dan perpisahan.

Baca halaman selanjutnya

Pelukan dari hatimu, terakhir kali…

Monumen patah hati dan muak

Banyak juga yang harus patah hati di Janti. Harus berpisah dengan kekasih entah untuk sementara atau selamanya. Sahabat saya, sebut saja Mas Kris, menjadi korban patah hati di Terminal Janti. Ia mengantar kekasih yang sudah 5 tahun pacaran. Karena sang kekasih lulus lebih dulu dan harus pulang ke kampung halaman di Sukoharjo. Sebenarnya tidak jauh-jauh amat. Tapi, momen perpisahan di Janti menjadi momen perpisahan selamanya. Hubungan mereka kandas karena sang kekasih terlanjur dilamar di kampung halaman.

Saya yakin Mas Kris tidak sendiri. Saya sering melihat sepasang kekasih berpisah di samping bus Patas yang singgah di Terminal Janti. Kadang ada isak tangis, kadang ada peluk erat. Semoga tidak semua dari mereka kandas. Tapi entah berapa banyak yang senasib seperti Mas Kris.

Tapi patah hati bukan satu-satunya duka di Janti. Ada muak dan amarah. Ada yang minggat dari rumah melalui Terminal Janti. Ada juga yang marah pada kahanan urip dan kabur melalui terminal tak resmi ini. Bagi mereka yang ingin mencoba peruntungan tapi enggan ke barat Jogja, pasti akan berangkat melalui Janti.

Sekali lagi, saya jadi saksi di Janti. Saat salah satu kawan memutuskan melancong ke Jawa Timur. Sepanjang perjalanan kami merangkum pertemanan yang sudah belasan tahun ini. Dan ditutup kemuakan yang sederhana. Jogja dienteni ra sugih-sugih, ujar kawan saya sambil pelukan di depan pintu bus Jogja-Surabaya.

Tentu saja, teman saya benar. Saya yang warga lokal hanya bisa bilang taek dalam hati.

Terminal Janti adalah saksi duka lara hati

Mungkin dua terminal lain di Jogja mengalami hal serupa. Tapi bagi saya, Janti lebih sering jadi saksi duka lara ini. Karena Terminal Janti memang lahir dari kebutuhan rakyat, dan bukan skema pembangunan. Lahir demi kemudahan rakyat, dan bukan proyek mercusuar. Akhirnya, Janti lebih dekat dengan rakyat. Termasuk dekat dengan keluh kesahnya.

Memang, Terminal Janti tidak punya lagu yang mengabadikan kisahnya. Mungkin tidak akan pernah, karena ia juga bukan terminal sesungguhnya. Tapi jika ditanya apa lagu yang menggambarkan Janti, tentu lagu ini cocok:

Aku lilo adoh omah adoh wong tuwo. Demi kowe ben supaya tetep mulyo

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mati Tua di Jalanan Yogyakarta

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version