Terminal Batu, Tempat Penuh Kenangan yang Kini Kesunyiannya Memekakkan Telinga

Terminal Batu, Tempat Penuh Kenangan yang Kini Kesunyiannya Memekakkan Telinga

Terminal Batu, Tempat Penuh Kenangan yang Kini Kesunyiannya Memekakkan Telinga (Pixabay.com)

Terminal Batu adalah tempat penuh kenangan. Sayangnya, kini tempatnya berangsur sunyi

Kenangan terkadang lahir dan muncul dari tempat-tempat yang tak terduga. Dari kamar mandi, dari gang sempit sudut jalan, dari warung makan kumuh di pinggiran kota, dan di warung kopi sempit di tengah deretan gedung. Kenangan juga kerap lahir dan muncul dari sebuah terminal kecil yang perlahan sunyi. Terminal yang perlahan kehilangan fungsi sebenarnya, terminal yang seperti hidup segan mati tak mau.

Terminal, seperti halnya stasiun atau bandara, adalah tempat yang cukup sentimental bagi banyak orang. Terminal adalah tempat di mana orang datang dan pergi. Di terminal kita kerap menjumpai orang-orang yang sedang melepas kepergian, atau orang-orang yang sedang menanti kedatangan. Kenangan tentang datang dan pergi inilah yang membuat sentimental. Dan di terminal kecil yang hidup segan mati tak mau inilah tersimpan kenangan-kenangan itu.

Iya, saya sedang berbicara tentang Terminal Batu, terminal satu-satunya yang ada di kota tempat saya tinggal, Kota Batu. Terminal Batu adalah terminal kecil, terminal yang perlahan sunyi, terminal yang sepertinya perlahan kehilangan fungsinya. Mengapa saya bilang terminal ini perlahan sunyi dan kehilangan fungsinya, ya karena mulai minimnya angkutan umum (entah itu angkot atau bus dalam dan luar kota) yang beroperasi di Kota Batu.

Era kejayaan Terminal Batu

Dulu, di era kejayaan angkutan umum, terminal ini nyaris tak pernah sepi. Setiap hari, terutama di jam-jam sibuk (jam pulang sekolah atau kerja), Terminal Batu nyaris penuh oleh angkot berbagai macam warna dan jalur yang siap mengantar siapa pun untuk pergi/pulang. Terlebih lokasinya yang berada di depan pasar besar Kota Batu, yang membuat riuh rendah terminal ini ini selalu ada. Meski kecil, tapi nyaris tak pernah sepi saat itu.

Kini, setelah era kejayaan angkutan umum mulai redup, riuh rendah Terminal Batu seperti kehilangan nyawanya. Riuh rendah dan kesibukan yang pernah terlihat perlahan sirna. Sudah tak banyak angkutan umum yang bersarang, yang menunggu orang pulang dari pasar atau anak yang pulang dari sekolah. Orang-orang lebih memilih untuk naik kendaraan pribadi atau ojek online yang lebih praktis. Terminal Batu perlahan menjadi tempat yang sunyi.

Meskipun kini perlahan sunyi dan kehilangan fungsinya, kenangan di Terminal Batu tak ikut hilang. Bagi saya dan beberapa orang, terminal ini menyimpan kenangan yang bermacam-macam. Kenangan yang tak sekadar soal mengantar orang pergi atau menanti orang datang, melainkan kenangan tentang kenakalan anak-anak remaja. Dan Terminal Batu menjadi salah satu saksi bisunya.

Di Terminal Batu, saya tidak punya kenangan terkait hal-hal sentimental seperti mengantar kepergian atau menunggu kedatangan seseorang. Tapi, saya punya kenangan tentang bagaimana kenakalan kecil yang pernah saya lakukan. Saya masih ingat sekitar lima tahun lalu, ketika saya masih kuliah, di mana saya sering sekali pergi ke Terminal Batu ketika bulan puasa.

Baca halaman selanjutnya

Warung “pojok”, warung sejuta cerita…

Warung “pojok”, warung sejuta cerita

Jadi, di Terminal Batu ada sebuah warung kopi kecil. Saya dan orang-orang lain menyebutnya sebagai “pojok”, sesuai dengan letaknya yang berada di sudut barat area terminal. Letaknya persis di depan warung makan bernama Warung Anda (fyi, itu warung masakannya enak, tapi tidak sering makan di sana). Di sanalah saya sering menghabiskan waktu ketika siang hari di bulan puasa.

Letaknya yang ada di sudut area terminal, membuat “pojok” ini jadi tempat yang pas untuk menghabiskan waktu di siang hari bulan puasa. Tempatnya agak tertutup, dan tidak terlalu kelihatan dari luar, apalagi dari jalan raya. Iya, kalian pasti sudah menebaknya. “Pojok” jadi tempat saya untuk mokel (mokah, atau membatalkan puasa di siang hari). Di tahun-tahun itu, nyaris setiap ingin batal puasa, saya pasti pergi ke sana, dan pasti akan ketemu sama teman-teman lain.

Mengapa tempat itu jadi favorit saya waktu itu? Ya selain letaknya “strategis”, di sana juga murah. Apalagi kalau kebutuhannya hanya untuk mokel. Tinggal beli kopi atau es teh segelas dengan harga maksimal 5 ribu, dan makan mi instan yang harganya 5-7 ribu, kebutuhan untuk mokel sudah tercukupi. Selain itu, banyak teman-teman saya yang kesana juga untuk mokel. Jadi, kegiatan mokel saya tidak sepi-sepi amat. Ada temannya, lah.

Meeting point anak sekolah

Dan tidak hanya itu. Pada masanya, Terminal Batu menjadi semacam meeting point bagi anak-anak sekolah di zaman saya. Masa itu banyak sekali anak-anak dari berbagai macam sekolah yang ngumpul di terminal. Saat itu saya memang bukan bagian dari mereka, masih sangat jarang nongkrong di terminal. Saya tahu ini dari cerita teman-teman saya, mereka kerap sekali nongkrong di terminal sepulang sekolah.

Tujuannya macam-macam. Ada yang sekadar nongkrong sambil menunggu angkot yang akan mengantar mereka pulang. Ada juga yang nongkrong sembari merokok secara sembunyi-sembunyi di warung “pojok”. Ada yang mabuk secara sembunyi-sembunyi. Ada juga yang menjadikan terminal sebagai tempat berkumpul, konsolidasi, sebelum melakukan “pertarungan” dengan anak-anak dari sekolah lain.

Yang tersisa dari kesunyian Terminal Batu

Dan inilah kenangan yang masih tersisa dari sunyinya Terminal Batu. Kenangan masih melekat dalam benak saya dan benak banyak teman saya. Kenangan yang rasanya sulit sekali dilupakan. Sebab bagaimanapun, tiap sudut terminal, termasuk warung “pojok” akan jadi bagian dari proses kedewasaan saya, dan juga banyak teman saya.

Kenangan sepertinya hanya akan jadi kenangan. Warung “pojok” sekarang  sudah tidak ada, bergeser sedikit ke timur, menempati ruko yang masih ada di dalam area terminal. Sekarang juga jarang sekali saya jumpai anak-anak sekolah yang nongkrong dan menjadikan Terminal Batu sebagai meeting point.  Saya pun juga sudah tidak pernah lagi nongkrong di sana.

Eranya memang sudah berbeda, tapi kenangan itu masih ada, dan masih bisa dirajut kembali.

Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kota Batu Adalah Sebaik-baiknya Kota untuk Menetap walau Banyak Masalahnya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version