Tentang Pamali dan Nilai Filosofisnya

pamali

pamali

Orang tua pada dulu memberi semacam larangan tertentu kepada kita untuk melakukan. Atau sebaliknya memberi kita anjuran atau saran untuk melakukan sesuatu. Larangan dan anjuran ini berkembang bahkan sampai sekarang ini. Untuk larangan sendiri, kita—kami di Indonesia Timur—mengenal istilah Pamali. Sebuah padanan kata bahwa melakukan larangan tersebut akan apes alias kualat.

Ada hal-hal diluar nalar kita yang berusaha dibiarkan tersembunyi oleh para orang tua. Semacam kitab suci yang memang sengaja dibiarkan untuk bisa kita baca namun untuk memahaminya, kita butuh seorang yang paham dan tidak hanya bisa mengartikannya.

Di dalam larangan atau anjuran dari orang tua kita, terdapat beberapa nilai filosofis bahkan magis yang entah bagaimana ceritanya bahkan tidak bisa dijelaskan secara logis. Di kampung saya sendiri, ada larangan untuk sopan ketika melaut di daerah tertentu. Sebut saja misalnya di Karang Pasi Fafo. Di karang ini, kita dilarang untuk berbicara kotor, berteriak, buang air sembarangan bahkan menyetel music saja dilarang.

Macam-macam dengan larangan di Karang Pasi Fafo? Siap-siap saja dengan segala konsekuensinya. Dari hal yang “sedikit” membuat bulu kuduk berdiri sampai dengan hal yang dapat membahayakan keselamatan. Hal yang paling dianggap biasa ketika larangan di Karang Pasi Fafo ini dilanggar adalah tidak adanya hasil tangkapan ikan bahkan seekor sekalipun. Dan siap-siap untuk hal yang lebih fatal sebagai akibat melanggar “aturan tidak tertulis” di karang ini. Ada desas desus yang berkembang, dengan melakukan pelanggaran yang dianggap fatal, sekelompok nelayan tidak pernah pulang sampai sekarang. Entah tenggelam atau terdampar namun banyak orang meyakini mereka masuk ke dunia para “pemilik” Karang Pasi Fafo.

Di berbagai daerah dikenal banyak sekali bentuk pamali ini. Bahkan ada beberapa bentuk pamali yang di satu daerah tertentu sama dengan daerah lainnya hanya beda istilah aja. Misalkan saja, pamali untuk anak-anak keluar keluar rumah saat matahari sudah terbenam. Dengan alasan bahwa akan ditangkap Wewe Gombel dan akan dijadikan anaknya, anak-anak di Jawa sudah langung percaya dan meyakini hal tersebut. Di daerah Sulawesi, dan mungkin daerah lain di Indonesia, juga dikenal hal yang sama. Anak-anak dilarang untuk keluar setelah matahari tenggelam karena akan diambil jin untuk dijadikan makanan—Wakatobi.

Atau pamali menyapu saat malam hari karena akan menyebabkan rejeki terbuang yang di hampir semua daerah ada dan dikenal. Sesimpel itu larangannya dan itu membuat kita semua mengikuti. Bayangkan, dilarang untuk menyapu saat malam hari. Itu doang? Nggak kebayang, saat ada acara di rumah kita semua lantas banyak sampah ditinggalkan. Misal saja sampah itu juga bau, dan kita harus menunggu sampai besoknya untuk membersihkannya. Bayangkan itu—bayangkan!

Atau pamali-pamali lainnya yang membuat kita hanya bisa melongo sampai bola mata hampir keluar dan mulut di-“hah”-kan sampai terlihat jigong. Walau banyak juga pamali yang bisa kita nalar secara logis, bukankah banyak pamali benar-benar lumayan sulit untuk bisa dinalar secara logika? Dan kita disuruh untuk percaya, entah logis atau tidak terhadap pamali-pamali ini?

Dibalik logis atau tidaknya sebuah pamali, orang-orang banyak yang percaya karena pamali-pamali ini berasal dari sebuah inti pemikiran yang menggabungkan gaya filosofis dan sedikit nalar. Dan akhirnya banyak orang beranggapan bahwa mengartikan sebuah pamali yang berkembang di masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan satu ilmu saja.

Salah satu contoh paling simpel yang mungkin bisa kita pahami bersama adalah pamali untuk tidak menyapu saat malam hari. Dalam penjelasan secara logis, bahwa orang-orang pada zaman dahulu menggunakan lampu penerangan yang kurang terang sehingga wajar jika akhirnya muncul larangan tersebut. yang ditakutkan oleh orang-orang dulu bahwa, selain sampah aka nada barang berharga yang ikutan(saat malam hari). Kita tidak pernah tahu, apalagi dalam kondisi yang bisa dibilang remang (pada zaman itu).

Dan ketika secara logika kita sudah bisa menerima, nilai filosofis dari pamali menyapu saat malam tidak terlalu diperhitungkan lagi. Sayangnya, filosofis dari pamali ini bahkan bisa lebih dari apa yang bisa kita tangkap secara nalar. Bayangkan jika orang yang mem-viralkan pamali ini justru berkeinginan lain. Bahwa agar kita tidak menyapu lagi saat hari sudah malam justru berarti bahwa seharusnya tidak ada lagi kegiatan saat hari sudah malam—bahwa malam hari adalah waktunya untuk kita istirahat sehingga menyapu menjadi pamali karena kegiatan menyapu adalah bentuk bekerja.

Pada akhirnya, ketika kita menyikapi suatu bentuk larangan pamali, kita diuntut untuk berlogika sekaligus berfilsafat. Tidak heran, orang-orang dulu atau bahkan orang tua kita pada zaman sekarang yang tidak pernah bersekolah di filsafat itu memiliki intuisi yang tajam untuk berfilsafat.

Exit mobile version