“Sebentar, tho, jangan ke sana dulu. Ini kan perdebatan rutin hampir tiap tahun. Coba kamu ceritain dulu, yang sekarang ini pemicu debatnya apa?” Potong Cak Narto kalem, setelah menjejerkan ceret teh manis, gorengan dan beberapa batang kretek di gelas kaca ke hadapan Solikin.
Meski tahu bahwa mengerjakan skripsi hanyalah alasan Solikin untuk menumpang Wi-Fi di teras rumahnya, Cak Narto tetap meladeni pertanyaan-pertanyaan Solikin. Dan seperti tak bisa ditahan, sejak lepas Isya’ tadi Solikin nyerocos tentang keramaian debat usang tentang rokok di media sosial.
“Kalau sejauh pantauanku, sih, karena Pemprov DKI Jakarta membuat aturan yang melarang toko-toko memajang reklame produk rokok, Cak. Dari sana muncul kontroversi, pro dan kontra, yang akhirnya merembet ke mana-mana. Termasuk ke Historia, media tentang sejarah favoritku itu. Ia dituding tidak kredibel karena sebagian pemodalnya adalah perusahaan rokok, Cak.” Terang Solikin diiringi seruputan teh manis.
“Ooo…Terus, di debat ini, posisimu ada di mana?”
“Sebagai seorang terdidik, aku setuju beberapa pandangan kaum antirokok, Cak. Penjelasan akademis mereka klir dan berdasarkan data-data. Tapi sebagai perokok, aku juga kurang setuju dengan sikap lebay mereka, kaum antirokok ini.” Ia menggeleng lemas.
“Lho, lha itu kamu sudah ngerti gitu kok, kalau mereka lebay. Itu sudah bagus sebagai permulaan, Kin.” Balas Cak Narto menggoda.
Hening menyela perbincangan. Angin kemarau dari arah persawahan yang memasuki musim panen tembakau menampar-nampar.
“Coba kamu lanjutin, Kin, alasanmu setuju itu tadi. Sebagai orang sekolahan yang terdidik, seperti katamu tadi itu. Dari segi apa saja, gitu.” Tanya Cak Narto memecah hening.
“Ha jelas tho, Cak. Dari segi kesehatan dan ekonomi, kita sama-sama sepakat, bahwa sebenernya mudharat rokok lebih banyak ketimbang manfaatnya.” Seperti ingin menguatkan argumen, buru-buru Solikin meletakkan kembali batang kretek yang baru saja ia comot dari gelas di hadapannya.
Menutupi canggung, Solikin meraih gorengan dan memamahnya cepat.
“Ooo ya sebentar dulu. Kok tahu-tahu kita sepakat. Wong aku belum bilang apa-apa kok, perihal logika kesehatan dan ekonomi terkait ini.” Asap dari mulut Cak Narto sengaja ditiupkan ke muka Solikin.
“Apa maksud Sampean rokok nggak bikin sakit, Cak? Rokok menyehatkan, gitu?” Gerutu Solikin.
“Lha kamu pikir gorengan yang sedang kamu kunyah itu menyehatkan, Kin? Nggak bisa bikin sakit, gitu?” Cak Narto balas bertanya.
“Lho ya beda tho, Cak. Kalau ini kan jelas manfaatnya, minimal bikin kenyang. Paling kalau kebanyakan, kolesterol jadi tinggi. Hehehe. Ha kalau rokok, emang bikin kenyang?” Diraihnya sepotong lagi gorengan di piring logam itu.
“Nah di situ kuncinya, Kin. Di dunia ini tidak semua orang mencari kenyangnya perut. Ada bentuk ‘kenyang’ lain yang bisa didapatkan seseorang dari tembakau. Maka, rokok ini masalah preferensi saja. Pakem dunia kesehatan belum bisa menjawab fenomena itu.”
“Mbok nggak usah bersufi-sufi dulu. Aku juga ngerokok, Cak, tapi aku tetap nggak setuju kalau rokok mengenyangkan. Dan, yang Sampean maksud fenomena itu tadi apa?” Kejar Solikin.
“Itu karena kamu tidak memaknai filosofi dan manfaat ciptaan Tuhan yang satu ini, Kin.” Seolah malas berdebat, asap dari mulutnya ditembakkan ke arah langit-langit.
“Woi, Cak, fenomena apaaa?” Solikin merasa tak terima diabaikan.
“Ya fenomena tentang orang yang merasa lebih sehat dengan merokok itu, Kin.”
“Alah mbel, Cak, mana ada orang yang lebih sehat karena merokok. Kalaupun ada itu mungkin sugesti aja, Cak. Plasebo itu.” Ironis, Solikin mengatakan itu diiringi gemeretak bunyi tembakau dan cengkeh yang terbakar di ujung bibirnya.
“Lha itu Mbah Radjiman, umur 80 tahun masih nyangkul sawahnya tiap hari, dari pagi sampai sore. Orang-orang terpelajar itu, mengabaikan sosok seperti Mbah Radjiman, Kin. Atau itu, Partono, yang kuat ngaduk adonan semen, ngangkat berember-ember, naik turun tangga, sambil ngemut kretek. Memangnya itu nggak fenomenal di matamu, Kin?”
Solikin bergeming.
“Pakem dunia kesehatan memang selalu dinamis, Kin. Kebanyakan orang lupa, bahwa di awal kemunculannya, rokok itu ya dikonsumsi hampir semua kalangan. Dari dokter, atlet, politisi sampai kaum sudra seperti kita. Sekarang aja, gara-gara perang industri nikotin, dikampanyekan rokok menyebabkan penyakit ini dan itu.” Nada Cak Narto tersengar kesal.
“Di negara ini, kita para perokok didiskreditkan setengah mati. Dikasih stempel macem-macem: yang nggak peduli kesehatan lah, nggak peduli pendidikan dan kecukupan gizi keluarga lah, yang tidak tahu norma sosial lah, penyumbang polusi lah.”
“Padahal, di tengah banyak sektor ekonomi yang morat-marit akibat korona, penerimaan cukai dari rokok tetap tercapai, bahkan melebihi target. Tapi, lihat kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah: tarif cukai dinaikkan, iklan rokok dipersulit, ruangan merokok di tempat-tempat umum yang nggak manusiawi itu. Haisshhh.”
“Belum lagi tudingan perokok mencemari lingkungan. Itu apa nggak konyol namanya, ketika industri otomotif yang nyumbang polusi karbon justru di kasih karpet merah oleh pemerintah.”
Solikin ingin membalas bahwa argumen Cak Narto naif belaka karena ia seorang perokok, tapi ia urungkan kalimat itu.
“Terus, tudingan bahwa kita nggak peduli dengan ekonomi dan kecukupan gizi anggota keluarga dari para peneliti itu, yang katamu berdasarkan data-data, itu kan sinisme yang kelewat lebay, Kin.”
“Data nggak pernah bohong, Cak. Memang seperti itu. Faktanya, Cak, di sebagian besar keluarga kaum perokok, yang notabene orang miskin itu, biaya bulanan untuk rokok memang lebih besar dibanding biaya untuk beli makanan bergizi atau untuk pendidikan anak, Cak. Data lho yang bilang, bukan aku.” Tegas Solikin.
Seperti tak terima Cak Narto memajukan badannya, “Almarhum bapakmu perokok, to? Apa pernah beliau nggak bayar SPP-mu dengan alasan uangnya mau dipake buat beli rokok? Atau pernah kamu berangkat sekolah nggak sarapan karena uang bapakmu habis dipakai beli rokok?” Solikin menggeleng, kemudian bergeming.
“Nah itu, di Indonesia ini ada banyak perokok seperti almarhum bapakmu itu. Secara hitungan ekonomi biaya rokoknya memang terlihat besar, tapi nyatanya toh anak-anak mereka pada berangkat kuliah. Perut-perut mereka kenyang. Di bagian mana mereka ini abai terhadap pendidikan dan kesehatan keluarga?”
“Masalah lebih bergizi mana daging atau tempe, itu preferensi lidah dan faktor budaya saja, Kin. Itu bisa diperdebatkan lagi. Masalah seorang anak perokok kuliahnya di kampus negeri atau swasta, bergengsi atau ecek-ecek, itu juga hal lain lagi.” Cak Narto kembali menyandarkan punggungnya.
“Menanam padi, sudah pupuknya mahal dan kerap langka, begitu musim panen ya harganya anjlok. Nanam cabe begitu panen malah dibanjiri produk impor. Nanam tomat dan sayur mayur ya harga jualnya kelewat murah karena katanya over supply. Sekarang nanam tembakau pun mau dipermasalahkan dengan alasan-alasan lebay semacam itu?” Gurat kesal bertumpuk di jidat Cak Narto.
Solikin tercekat. Di hadapannya berkelebat sosok mendiang ayahnya, seorang perokok berat yang sangat gigih berjuang demi pendidikannya.
***
Musim panen tembakau selalu dinantikan seantero desa. Darinya, dapur-dapur mengepulkan asapnya dan anak-anak berangkat ke kota untuk bersekolah.
Dari seberang sungai, kerlip lampu yang menerangi tempat perajangan daun tembakau tampak redup. Lamat suara tembang “Langen Tayub” dan cengkerama para ibu yang menata rajangan daun tembakau untuk dijemur esok hari bersahutan ritmis.
Dari arah entah sebelah mana burung hantu berbalas puisi dalam gulita. Mereka seolah merangkai bait-bait tentang betapa tidak adilnya cara berfikir orang kota tentang tembakau dan tentang apa itu bahagia.