Telkomsel Itu Bukan Tidak Humanis, tapi Realistis

Telkomsel Itu Bukan Tidak Humanis, tapi Hanya Mencoba Realistis

Hidup di masa sekarang, menuntun kita kepada tingginya kebutuhan informasi dan komunikasi. Kalau kata Arjun Appadurai (antropolog Amerika Serikat), kita sekarang berada pada fase kehidupan yang disebutnya dengan istilah technoscape. Intinya technoscape itu bisa diartikan sebagai fase yang menunjukkan masyarakat kita begitu candu menggunakan layanan internet dalam keseharian mereka, baik dalam ranah privasi atau publik.

Perilaku candu dengan internet tentu saja berimbas pada tingginya konsumsi kuota internet. Kondisi ini membuat para operator saling bersaing satu sama lain. Kompetisi antara operator ini bisa berupa kepastian akses jaringan internet, harga kuota internet yang terjangkau, sampai dengan tawaran bonus yang berlimpah.

Saya sendiri merupakan bagian dari masyarakat yang menjadi pecandu Internet, sehingga ketersedian stock kuota internet menjadi sebuah keharusan. Tanpa adanya kuota, serasa seperti hidup di hutan karena nggak bisa update tentang isu dan informasi terbaru. Lebih berbahaya lagi, tanpa adanya kuota, saya jadi tidak bisa cuci mata dengan melihat parade kecantikan para selebgram-selebgram yang makin hari makin uwuwuw saja.

Tingginya tingkat ketergantungan saya terhadap internet, membuat saya beberapa kali mencoba beberapa operator. Namun, dari beberapa operator yang saya coba, ada satu operator yang sampai sekarang masih tetap saya gunakan. Operator itu adalah Telkomsel.

Hubungan saya dengan Telkomsel bisa dibilang sudah berlangsung 13 tahun. Tepatnya pada tahun 2007 saat pertama kali saya diamanahkan sebuah HP. Ketika sms dan telpon masih jadi andalan, banyak tangapan yang saya dengar bahwa Telkomsel ini cukup merakyat. Tarif sms yang murah, dipadukan dengan bonus telpon dan sms yang berlimpah, membuatnya menjadi pilihan utama.

Bayangkan saja, tarif sms-nya cuma 100 rupiah ke sesama operator atau 150 ke operator lain, dan ketika sudah mencapai 10 sms, kita bisa dapat gratis ratusan sms ke semua operator.

Tapi ketika zaman sudah serba internet, kebutuhan pulsa mulai tersingkir dengan kebutuhan kuota. Sebagian orang mulai merasa nggak nyaman sama operator yang satu ini. Puncaknya ketika saya iseng bernostalgia berselancar di laman Facebook, saya menemukan postingan promosi dari Telkomsel yang isi komentarnya banyak yang menghujat dan marah-marah.

Beberapa ada yang berkomentar bahwa kuota Telkomsel semakin ke sini, semakin mahal. Kalkulasi kuota yang terpakai saat mengakses data internet sangat tinggi, sehingga kuota cepat habis, pulsa tiba-tiba tinggal nol rupiah padahal kuota internet masih ada. Produk layanan kuota internet yang dipecah-pecah seakan-akan seperti mengharuskan pelanggannya mengeluarkan biaya yang lebih banyak. Kemudian yang paling monohok adalah komentar bahwa Telkomsel ini makin mahal tapi kecepatan aksesnya lemot banget kek Gerry siputnya SpongeBob.

Semua komentar negatif itu, diperlengkap dengan komentar salah seorang natizen yang berkesimpulan bahwa Telkomsel ini operator yang tidak humanis, operator kapitalis yang orientasinya mengarah pada pragmatisme atas kondisi krisis pandemi seperti saat ini. Melihat ramainya komentar negatif yang dituduhkan pada Telkomsel, saya akhirnya berkontemplasi, apakah semua klaim negatif netizen itu benar?

Setelah mencoba merefleksikan semua klaim negatif tersebut dengan pengalaman yang saya alami selama menggunakan Telkomsel, saya pun sampai pada kesimpulan kalau semua tuduhan negatif itu memang benar adanya. Tapi tunggu dulu, alih-alih menganggap Telkomsel tidak humanis, saya malah menganggap bahwa semua perilaku Telkomsel yang ngeselin itu sebenarnya tindakan yang realistis, dan masuk akal.

Seperti persoalan harga paketan kuotanya yang terasa mahal. Itu adalah sebuah simbol ke-elite-an yang melekat pada Telkomsel. Saya sering dianggap kaum elite dan kaya karena menggunakan Telkomsel, tentu saja anggapan itu karena saya disangka mampu membeli paket kuotanya yang memang mahal. Selain itu, ketika dianggap elite dan dibilang kaya, patut dipahami secara tersirat bahwa itu merupakan sebuah doa yang perlu di-Aamiinkan. “Aamiin…”

“Waah orang kaya, kartunya Telkomsel, weleeh duitnya banyak ini, nge-YouTube pakai Telkomsel”. Meskipun pada kenyataannya dalam hati meringis miris karena nasib yang serba kekurangan. Padahal, alasan saya pake Telkomsel ya hanya karena orang tua saya tinggal di daerah pelosok yang aksesnya cuma Telkomsel. Tujuannya, biar saat saya menelpon mereka nggak mahal-mahal amat karena sesama operator.

Harga-harga paket kuota yang mahal, adalah upaya Telkomsel untuk memberikan kesetaraan kepada sesama pelanggannya. Memangnya hanya Tuhan saja yang menganggap kita semua sama? Telkomsel juga demikian. Di hadapan Telkomsel, kita semua ini sama. Mau kaya atau kere, kita ini sama-sama sasaran marketing mereka untuk meraih keuntungan.

Kemudian soal pulsa yang tiba-tiba sisa 0 rupiah padahal kuota internet masih ada, Telkomsel mencoba memanfaatkan dana yang menganggur biar nggak mubazir. Coba bayangkan ketika pulsa masih sisa banyak, tapi tanpa sadar nomor kita sudah masa tenggang, kan jadi nggak bisa dipake. Ini juga merupakan upaya agar pelanggannya tetap setia, karena kalau pulsa habis, otomatis kan kita nanti beli lagi.

Selain itu, perilaku seperti ini barangkali mirip representasi dari perilaku pejabat kita yang sering ambil uang rakyat tanpa izin. Lagian aneh juga, ngapain kita isi pulsa banyak-banyak, nimbun pulsa sampai puluhan ribu, dikira bakal dapat return bunga kayak deposito bank? Kan nggak broo!

Selanjutnya adalah masalah produk kuota Telkomsel yang dipecah-pecah. Kuota combo sakti lah, ada kuota ketenangan lah, ada kuota OMG lah dan masih banyak lagi yang nggak mungkin saya sebutin semua di sini karena nanti dikira promosi pula. Bahkan produk kuota itu juga masih dipecah lagi menjadi beberapa jenis, misal kuota lokal, kuota utama, dan kuota videoMax. Ini adalah pembuktian bahwa Telkomsel ini operator besar.

Ibarat toko, Telkomsel ini seperti toko selevel Indomaret atau Alfamart yang berisi banyak sekali produk yang dijual. Tentunya ini berbeda dengan operator lain yang produk kuotanya hanya itu-itu aja, kayak toko kelontong kecil-kecilan yang jualannya itu-itu aja.

Lebih lanjut, terkait dengan kecepatan akses data yang kadang super lemot dari Telkomsel itu tidak serta-merta salah Telkomsel, loh. Telkomsel sudah berupaya menyediakan infrastruktur ketersediaan jaringan sampai pelosok-pelosok daerah. Bahkan sampai memonopoli pangsa pasar jaringan komunikasi di beberapa daerah. Masalah kecepatannya masih lemot kan kembali pada peran pemerintah to yah. Lah gimana mau cepat akses internetnya, wong menteri Kominfo aja backgroundnya politisi. Kira-kira blio paham ndak ya soal jaringan internet? Jangan-jangan hanya paham soal lobi-lobi proyek.

Semua itu juga disokong fakta bahwa Telkomsel ini kan koorporasi. Dia adalah perusahaan jasa komersial yang bergerak di bidang telekomunikasi. Jadi nggak perlu heran kalau semua pergerakan dan produknya orientasinya biar bisa dapat untung. Laba mereka ini penyumbang 70% loh dari komposisi keuntungannya Telkom. Telkom sendiri kan BUMN. Jadi wajarlah kalau mereka nggak boleh rugi.

Jadi patut kita maklumi bersama perilaku Telkomsel yang kadang nyebelin. Mereka hanya berprilaku realistis sebagai pebisnis. Kalau memang tidak kuat jadi pelanggannya, ya sudah ganti operator sana. Gitu aja kok repot.

BACA JUGA Indosat Cocok Untuk Mahasiswa, Telkomsel Untuk Pekerja: Apakah Benar Anggapan Para Pengguna Provider Ini? dan tulisan Muhamad Iqbal Haqiqi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version