Taylor Swift dan Narasi yang Usang

Taylor Swift narasi usang misoginis mojok

Taylor Swift narasi usang misoginis mojok

Golden Globe Awards ke-79 rampung digelar secara virtual pada Senin (1/3) waktu Indonesia. Alih-alih merayakan kemenangan Josh O’Connor, Emma Corrin, Rosamund Pike, dan Anna Taylor-Joy, perhatian pengguna linimasa Twitter teralihkan oleh trending topic pagi itu. Taylor Swift kembali menjadi perbincangan hangat di aplikasi burung tersebut.

Kali ini keyword “RESPECT TAYLOR SWIFT” bertengger di trending topic selama beberapa jam lamanya. Pemilik album Evermore itu menjadi perbincangan netizen setelah dua film produksi Netflix menyematkan lelucon tak pantas kepada Swift yang sukses menyulut kemarahan Swifties.

Pada episode terakhir musim pertama series Ginny and Georgia, salah satu tokoh utama bernama Ginny Miller, menyeletuk, “What do you care? You go through man faster than Taylor Swift.” Swifties mengutuk penulis script tersebut karena telah menggunakan tired trope yang selama ini selalu digunakan untuk menyerang idola mereka. Netizen juga menyayangkan karena tokoh Ginny Miller yang diperankan oleh Antonia Gentry digambarkan sebagai tokoh remaja feminist sejak awal episode series tersebut muncul.

Tidak hanya Ginny and Georgia, guyonan yang sama dan membosankan tersebut ditemukan pada series Degrassi: Next Class. Salah satu karakter menyebutkan bahwa “Taylor Swift made an entire career off her exes”. Hal ini semakin menyulut kemarahan Swifties dan warganet terhadap aplikasi layanan streaming paling terkenal tersebut.

Beberapa jam setelah menjadi perbincangan publik, Swift akhirnya berbicara pada public. “Hey Ginny and Georgia, 2010 called and it wants its lazy, deeply sexist joke back. How about we stop degrading hard working women by defining this horse shit as FuNny. Also, @netflix after Miss Americana this outfit doesn’t look cute on you Happy Women’s History Month I guess.” Hal ini menegaskan bahwa Taylor Swift telah lelah dengan candaan seksis dan menyampaikan kekecewaannya terhadap Netflix yang pernah bekerja sama dengannya pada proyek film dokumenter.

Para penggemar menuduh Netflix menggunakan isu misoginis dan guyonan seksis untuk menaikkan rating kedua serial produksi Netflix. Tapi, apakah guyonan semacam ini adalah hal baru, atau ini hanyalah narasi usang yang direproduksi tanpa henti?

Apabila anda seorang fan, atau bahkan seorang hater, kalian paham akan hal ini. Selain album-albumnya yang memukau, Swift menarik perhatian karena label gonta-ganti cowok yang disematkan padanya sejak 2010. Label yang diberikan hanya karena ia berkencan dengan pria beberapa kali, lalu putus. Normal bukan?

“Wait, tapi kan ia mengubah cerita patah hatinya menjadi world hits dan mendapatkan profit dari itu.”

Di situlah permasalahannya. Ketika seorang penyanyi perempuan memperoleh keuntungan besar dari menulis breakup songs  yang kemudian menjadi hits, penerima sepuluh piala Grammy Awards, membuat tur dunia, dan menjadi selebriti dengan bayaran termahal di dunia, orang akan memberi banyak hujatan untuk sebuah hubungan percintaan. Hujatan yang akhirnya digunakan berkali-kali untuk menyerang seorang perempuan dengan alasan humor.

Taylor Swift selama ini menulis lagu tentang hubungan cintanya yang kandas dengan beberapa pria, misal, Joe Jonas, Harry Styles, John Mayer, Taylor Lautner, dan Cory Monteith. Hits “Out of Woods” pada album 1989 ditulis berdasarkan hubungan percintaannya dengan Harry Styles pada akhir 2012.

Namun, hanya karena seorang perempuan menulis lagu-lagu dari kisah romansanya yang kandas dan “kerap” berkencan dengan pria, lantas apakah perempuan tersebut berhak dicemooh selama bertahun-tahun? Tentu saja tidak.

Hal ini hanya membuktikan betapa seksis dan misoginisnya industri musik. Bagaimana orang-orang datang kepada seorang perempuan hanya karena menulis lagu-lagu sedih dan menjadi terkenal karena itu. In fact, Swift adalah salah satu penyanyi dengan bakat menulis yang luar biasa dan mampu menguasai banyak genre musik.

Candaan misoginis kepada penyanyi perempuan hanya akan melanggengkan praktik budaya misoginis pada industri musik. Slut-shaming adalah hal yang menjengkelkan namun bertumbuh subur di Hollywood. Seorang publik figur perempuan akan selalu dinilai salah karena menulis lagu tentang mantan-mantannya dan akan terkekang oleh olok-olokan seksis bahwa perempuan tersebut adalah slut.

Tapi, ketika yang menjadi pelakunya adalah seorang pria, semua tiba-tiba buta. Ketika Justin Bieber merilis album Purpose, dengan penuh keberanian ia mengatakan bahwa mantan-mantannya menginspirasi  pembuatan Purpose. Namun, apakah Justin Bieber menerima slut-shaming? Apakah Shawn Mendes menerima olok-olok karena menulis lagu tentang Hailey Baldwin? Apakah Ed Sheeran dibully karena menjadikan Ellie Goulding inspirasinya untuk menulis “Don’t”? Then, let’s slut-shame men too.

Jika Taylor Swift adalah seorang penyanyi laki-laki, hal murahan semacam ini tidak akan menjadi sebuah isu. Alih-alih di-bully karena menulis lagu untuk mantan kekasih, seorang pria akan memperoleh komemorasi karena memiliki mantan-mantan kekasih dan dipuja karena maskulin.

Pada 2016, akun twitter bernama @southern_mayers membuat candaan tidak pantas yang membandingkan vagina anak perempuannya dengan vagina Taylor Swift. Vagina Swift digambarkan sebagai ham sandwich yang terbuka dan bergelambir. Seolah-olah ia adalah perempuan gampangan dan berdosa karena telah mengencani banyak pria.

TheTalko pada awal 2017 menulis sebuah artikel dengan judul yang sangat seksis, “15 Reasons Why It’s Dangerous to Date Taylor Swift”. Judul tersebut seolah-olah menempatkan Swift sebagai perempuan berbahaya yang tidak pantas untuk dipacari karena kau akan hanya berakhir menjadi sebuah lagu hits apabila mengencani Taylor Swift.

FYI, pemilik nama lengkap Taylor Alison Swift tersebut telah lama berjuang memerangi narasi membosankan ini bahwa ia lebih dari seorang-penyanyi-yang-mendapat-profit-dari-mantan. Puncaknya saat ia merilis film dokumenter Miss Americana pada akhir Januari 2020.

Pada 2015, Swift mengatakan kepada Maxim, “Misoginis telah mendarah daging pada orang-orang sejak mereka lahir, jadi bagiku, feminism adalah gerakan paling penting bisa kau peluk. Seorang laki-laki menuliskan perasaannya dari kondisi yang rentan dalah sebuah keberanian; seorang perempuan menuliskan perasaannya dari kondisi yang rentan adalah oversharing dan mengeluh.” Swift meyakini bahwa perempuan tidak diperbolehkan menginginkan sesuatu seperti seorang pria diperbolehkan menginginkan hal tersebut.

Pada akhirnya, Taylor Swift memiliki hak untuk menulis tentang mantan kekasihnya dan pengalaman romansanya. It’s her experience. Leave her alone.

Sumber gambar: YouTube Taylor Swift-Topic

BACA JUGA Menggoreng Isu Pelakor Lewat Album Baru Taylor Swift, ‘Folklore’

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version