Tato Bukan Ukuran Seseorang Jahat atau Tidak

tato

Menggelar Acara Makan Gratis Memupuskan Stigma Negatif Saya pada Preman Pasar terminal mojok.co

Sejak 2015, saya sudah punya keinginan bikin tato di tangan. Semula, keinginan itu muncul kerena beberapa teman punya tato. Kebanyakan dari mereka punya gambar—desain—yang menurut saya pribadi sangat keren dan artistik. Apalagi dulu saya kuliah di ISI. Jadi sehari-hari, saya biasa melihat pemandangan orang-orang bertato.

Alasan mereka bikin tato beragam. Misalnya, motivasi diri, nazar, momen—kelahiran anak, karya, alarm—pengingat diri, tradisi turun temurun, gaya atau hanya sekedar ikut-ikutan. Tapi secara umum, mereka punya alasan yang menarik.

Dari video-video yang pernah saya tonton—pemain bola, musisi, artis, bahkan selebritis—kebanyakan juga begitu. Joko Anwar bikin tato dengan judul film—Punch-Drunk Love—yang sudah mengispirasi dan membuatnya percaya kembali dengan cinta. Erix Soekamti misalnya bikin tato I’MPOSSIBLE sebagai pengingat di kala sedang terpuruk, tidak semangat atau banyak masalah.

Dari kisah-kisah tersebut, saya pun tertarik bikin tato. Tapi saya masih bingung mau bikin apa. Kelak saya ingin bikin tato dari salah satu karya atau satu momen yang benar-benar spesial dari perjalanan hidup saya. Untuk saat ini, saya harus menundanya dulu sembari memikirkan konsep serta letak tato yang akan saya pahatkan.

Walau begitu, ketika saya menceritakan keinginan itu kepada orang tua, saya langsung ditegur. Ibu dengan tegas tidak setuju. Katanya saya akan tampak seperti preman, anak jalanan dan tidak berpendidikan. Singkatnya, ibu sangat malu kalau anaknya bertato. “Apa kata orang-orang kalau kamu bikin tato? Malu nanti ibu.” Hal serupa pernah saya ceritakan ke pacar saya—mantan maksud saya hehe. Dia keberatan dan tidak suka. Jawabannya hampir sama dengan ibu.

Mendengar penolakan itu, saya tidak terlalu sedih atau kecewa. Saya tidak terkejut. Jangankan tato, urusan rambut juga begitu. Suatu hari saya pulang kampung dengan rambut gondrong. Saat ibu melihat saya, dia pusing dan tak berhenti mengomel. Katanya saya sudah serupa orang-orang pasar—terminal. Ibu sampai lelah meminta saya potong rambut. Akhirnya saya pun tidak tega lalu menuruti mau ibu saat itu. Kemudian saya menyesal telah memotongnya sesudah kembali ke Jogja.

Dari pengalaman itu, saya akhirnya sadar betapa orang-orang masih mudah menilai seseorang hanya sebatas penampilan fisik. Kalau perempuan memakai pakaian mini—sexy—pasti hidupnya dianggap sudah tidak beres—bukan perempuan baik-baik. Kalau perempuan merokok dan minum alkohol, perempuan itu dianggap sudah rusak dan tak bermoral. Kalau perempuan menggunakan cadar akan dicurigai garis keras—jangan-jangan malah teroris.

Coba deh kita pikirkan. Apakah benar kalau laki-laki berambut gondrong sudah pasti tidak benar—tidak berpendidikan? Kalau tubuhnya dipenuhi tato berarti orang itu preman, bandar narkoba—orang jahat? Apa sudah terjamin, laki-laki yang terlihat santun dan rajin ibadah mempunya hati lurus dan bersih? Apa penampilan—tato—dan rambut sudah cukup menggambarkan kepribadian seseorang? Sampul buku yang ciamik belum tentu punya isi yang bagus. Sampul yang biasa-biasa saja belum tentu isinya tidak bermutu.

Kembali ke soal tato. Saat saya sudah punya tato tidak berarti saya serta merta menjadi penjahat. Dari mana anda yakin saya tanpa tato lebih baik? Lalu, bagaimana kita harus memandang budaya mereka yang punya tradisi tato seperti saudara-saudara kita, misalnya Dayak Kenyah Kalimantan? Apakah saya salah mengikuti—menghidupi—budaya orang lain yang saya anggap menarik—indah?

Banyak teman-teman yang sudah bertato dan masih berniat bikin tato mengalami hal serupa—penolakan.  Mereka dipandang anak berandal dan tidak jelas. Sering kali lingkungan sekitarnya memberikan penilaian yang negatif tentang diri mereka. Tak jarang calon mertua memandang dengan mata sebelah atau bahkan melarang anaknya dekat-dekat dengan lelaki bertato.

Menurut saya pribadi—saya juga menghidupinya, baik atau tidak seseorang sama seperti sebuah buku. Kita tidak bisa hanya melihat sampulnya semata.  Lalu dengan enteng berkata: “Buku itu bagus! Buku itu jelek!” Kita harus membaca isinya untuk menemukan jawaban. Namun kalau anda tetap kekeh berpandangan bahwa rambut gondrong dan bertato itu jelek—jahat, cobalah sejenak berkaca ke sekitar. Bagaimana menurut anda koruptor yang sangat rapi dan tidak bertato itu?

Seperti pepatah, tak kenal maka tak sayang. Jadi kelak ketika saya punya tato,jangan buru-buru menilai saya. Mari kita berkenalan dari hati ke hati lebih dulu. Siapa tahu jodoh kan? hehe

Exit mobile version